Rasyid Rizani, S.HI., M.HI. Diberdayakan oleh Blogger.

Entri Populer

Mi perfil

RSS

Menghitung Perbedaan Waktu antar Tempat

PERBEDAAN WAKTU ANTAR TEMPAT

Rumus :

Wa      = Wb + ( Ba – Bb ) : 15
                                                                              
Keterangan :
W        = Waktu setempat
B         = Bujur Tempat
a          = Kota yang akan dicari waktunya
b          = Kota yang diketahui waktunya

P    Lintang     : Jarak suatu tempat di ukur dari Khatulistiwa. Max 90derajat
l        Bujur         : Jarak suatu tempat di ukur dari Greenwich. Max 180derajat

Waktu   terbagi 3:
  1. Waktu setempat ( Bujur tempat masing-masing kota).  
  2. Waktu daerah ( WIB, WITA, WIT ) Bujur Standar Zona
  3. GMT ( Bujur 00  )

Bujur standar :
 WIB    : 105
WITA  : 120
WIT     : 135

Contoh  :
Banjarmasin jam 10.00 WITA. Jam berapakah di kota Mekkah ?

Diketahui        :
Banjarmasin    :
P    =  -3 22’    
l        = 114 40’ BT
Mekkah           :
P   = 21 25’ 
l        =  39 50’ BT

Rumus :
Wa       = Wb + ( Ba – Bb ) : 15
            = 10.00 + ( 390 50’ – 1140 40’ ) : 15
            = 10.00 + ( -740 50’ ) : 15
            = 10.00 + ( -4 J 59 M 20 D )
            = 5 J 0 M 40 D Waktu Mekkah ( 05.00.40 )

Catatan : daerah di sebelah Timur lebih dahulu siang

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cara menentukan waktu Ijtima' secara manual


Mencari waktu ijtima' untuk menentukan awal bulan Ramadhan 1433 H

1.      Menghitung perkiraan ( hisab urfi ) akhir Sya’ban 1433 H
Tanggal 29 Sya’ban 1433 H
Waktu yang telah dilalui sebanyak 1432 tahun, lebih 7 bulan, lebih 29 hari.
1432 tahun : 30 tahun = 47 daur lebih 22 tahun 7 bulan 29 hari
47 daur     = 47 x 10.631 hari                               = 499.657 hari
22 tahun   = 22 x 354 + 8 hari*                              =     7.796 hari
7 bulan     = (30 x 4) + (29 x 3)                            =        207 hari
29 hari                                                                  =          29 hari +
Jumlah                                                                  = 507.689 hari
Selisih kalender Masehi – Hijriyah                      = 227.016 hari
Anggaran baru Gregorius                                     =          13 hari +
JUMLAH                                                             = 734.718 hari
507.689 : 7 = 72.527, sisa 0 =  Kamis ( dihitung mulai hari Jum’at )**
507.689 : 5 = 101.537, sisa 4 = Wage ( dihitung mulai Legi )***
734.718 : 1.461    = 502 siklus lebih 1296 hari
502 siklus             = 502 x 4 tahun                       = 2008 tahun
1296 hari              = 1296 : 365                            = 3 tahun lebih 201 hari
201 hari                = 201: 30****                         = 6 bulan lebih 19 hari
Waktu yang dilewati = 2008 tahun + 3 tahun + 6 bulan + 19 hari atau 2011 tahun 6 bulan 19 hari. Waktu yang berjalan 19 hari 7 bulan 2012 tahun. Jadi 29 Sya’ban 1433 H bertepatan dengan tanggal 19 Juli 2012 M (Kamis Wage)

2.      Menghitung saat Ijtima’ akhir sya’ban 1433 H (19 Juli 2012 M)
a.         FIB terkecil pada tanggal 19 Juli 2012 adalah 0,00127 pada pukul 04.00 GMT.
b.         ELM ( Thul al- Syamsi) pada pukul 4 GMT =  116o 53’ 46’’
c.         ALB ( Thul al- Qamar) pada pukul 4 GMT             =  116o 41’ 19’’
d.        Sabaq Matahari per jam :
ELM pada pukul 04.00 GMT                          =  116o 53’ 46’’
ELM pada pukul 05.00 GMT                          =  116o 56’ 09’’  -
Sabaq Matahari (SM)                                       =      0o 02’ 23’’
e.         Sabaq Bulan perjam  :
ALB pada  pukul 04.00 GMT                          =  116o 41’ 19’’
ALB pada pukul 05.00 GMT                           =  117o 13’ 06’’  -
Sabaq Bulan (SB)                                             =      0o 31’ 47’’
f.          Mencari saat Ijtima’ dengan rumus :
Jam FIB (GMT) + ELM – ALB + 08:00 (WITA)
                                             SB – SM
04.00 + 116o 53’ 46’’ - 116o 41’ 19’’ + 08:00 (WITA)
              0o 31’ 47’’ - 0o 02’ 23’’

04.00 + (0o 12’ 27”) + 08:00 (WITA)
               0o 29’ 24’’
04.00 + 0o 25’ 24,49’’ + 08:00 (WITA) =  12: 25 : 24,49 WITA ( 19 Juli 2012)

Jadi, saat Ijtima’ tanggal 19 Juli 2012 pada pukul  12:25:24,49 WITA

*) Tahun kabisat ini terdapat pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan ke 29 dari keseluruhan siklus kabisat selama 30 tahun
**) 1= Jum'at, 2= Sabtu, 3= Minggu, 4= Senin, 5= Selasa, 6= Rabu, 7= Kamis, 0= Kamis
***) 1= Legi, 2= Pahing, 3= Pon, 4= Wage
****) seharusnya sisanya adalah 21 hari, namun dalam enam bulan pd tahun 2012 ini terdapat: Januari, Maret, Mei, masing-masing berjumlah 31 hari= 31x3= 93. Februari= 29, April dan Juni = 30x2= 60. jumlahnya 93+29+60= 182..jadi, 201-182= 19 hari.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hisab dalam Ilmu Falak...disalin dari www.falakiyah.wordpress.com

Terdapat banyak metode hisab (sistem hisab) untuk menentukan posisi bulan, matahari dan benda langit lain dalam ilmu Falak. Sistem hisab ini dibedakan berdasarkan metode yang digunakan berkaitan dengan tingkat ketelitian atau hasil perhitungan yang dihasilkan.

a. Hisab Urfi (`urf = kebiasaan atau tradisi) adalah hisab yang melandasi perhitungannya dengan kaidah-kaidah sederhana. Pada sistem hisab ini perhitungan bulan komariyah ditentukan berdasarkan umur rata-rata bulan sehingga dalam setahun komariyah umur dibuat bervariasi 29 dan 30 hari. Bulan bernomor ganjil yaitu mulai Muharram berjumlah 30 hari dan bulan bernomor genap yaitu mulai Shafar berumur 29 hari. Tetapi khusus bulan Zulhijjah (bulan 12) pada tahun kabisat komariyah berumur 30 hari. Tahun kabisat komariyah memiliki siklus 30 tahun dimana didalamnya terdapat 11 tahun yang disebut tahun kabisat (panjang) memiliki 355 hari, dan 19 tahun yang disebut basithah (pendek) memiliki 354 hari. Tahun kabisat ini terdapat pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan ke 29 dari keseluruhan siklus kabisat selama 30 tahun. Dengan demikian kalau dirata-rata maka periode umur bulan (bulan sinodis / lunasi) menurut Hisab Urfi adalah (11 x 355 hari) + (19 x 354 hari) : (12 x 30 tahun) = 29 hari 12 jam 44 menit ( menurut hitungan astronomis: 29 hari 12 jam 44 menit 2,88 detik ). Walau terlihat sudah cukup teliti namun yang jadi masalah adalah aturan 29 dan 30 serta aturan kabisat tidak menujukkan posisi bulan yang sebenarnya dan hanya pendekatan. Oleh sebab itulah maka hisab ini tidak bisa dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan yang berkaitan dengan ibadah misalnya Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah.
b. Hisab Taqribi ( taqrobu = pendekatan, aproksimasi ) adalah sistem hisab yang sudah menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematik namun masih menggunakan rumus-rumus sederhana sehingga hasilnya kurang teliti. Sistem hisab ini merupakan warisan para ilmuwan falak Islam masa lalu dan hingga sekarang masih menjadi acuan hisab di banyak pesantren di Indonesia. hasil hisab taqribi akan sangat mudah dikenali saat penentuan ijtimak dan tinggi hilal menjelang 1 Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah yaitu terlihatnya selisih yang cukup besar terhadap hitungan astronomis modern. Beberapa kitab falak yang berkembang di Indonesia yang masuk dalam kategori Hisab Taqribi misalnya; Sullam al Nayyirain, Ittifaq Dzatil Bainy, Fat al Rauf al Manan, Al Qawaid al Falakiyah dsb
c. Hisab Haqiqi ( haqiqah = realitas atau yang sebenarnya ) menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematik menggunakan rumus-rumus terbaru dilengkapi dengan data-data astronomis terbaru sehingga memiliki tingkat ketelitian yang tinggi. Sedikit kelemahan dari sistem hisab ini adalah penggunaan kalkulator yang mengakibatkan hasil hisab kurang sempurna atau teliti karena banyak bilangan yang terpotong akibat digit kalkulator yang terbatas. Beberapa sistem hisab haqiqi yang berkembang di Indonesia diantaranya: Hisab Hakiki, Tadzkirah al Ikhwan, Badi’ah al Mitsal dan Menara Kudus, Al Manahij al Hamidiyah, Al Khushah al Wafiyah, dsb.
d. Hisab Haqiqi Tahqiqi ( tahqiq = pasti ) sebenarnya merupakan pengembangan dari sistem hisab haqiqi yang diklaim oleh penyusunnya memiliki tingkat akurasi yang sangat-sangat tinggi sehingga mencapai derajat “pasti”. Klaim seperti ini sebenarnya tidak berdasar karena tingkat “pasti” itu tentunya harus bisa dibuktikan secara ilmiah menggunakan kaidah-kaidah ilmiah juga. Namun sejauh mana hasil hisab tersebut telah dapat dibuktikan secara ilmiah sehingga mendapat julukan “pasti” ini yang menjadi pertanyaan. Sedangkan perhitungan astronomis modern saja hingga kini masih menggunakan angka ralat (delta T) dalam setiap rumusnya. Namun demikian hal ini merupakan kemajuan bagi perkembangan sistem hisab di Indonesia. Sebab sistem hisab ini ternyata sudah melakukan perhitungan menggunakan komputer serta beberapa diantaranya sudah dibuat dalam bentuk software/program komputer yang siap pakai. Beberapa diantara sistem hisab tersebut misalnya : Al Falakiyah, Nurul Anwar,
e. Hisab Kontemporer / Modern
Sistem hisab ini yang menggunakan alat bantu komputer yang canggih menggunakan rumus-rumus yang dikenal dengan istilah algoritma. Beberapa diantaranya terkenal terkenal karena memiliki tingkat keterlitian yang tinggi sehingga dikelompokkan dalam High Accuracy Algorithm diantara : Jean Meeus, VSOP87, ELP2000 Chapront-Touse, dsb. dengan tingkat ketelitian yang tinggi dan sangat akurat seperti Jean Meeus, New Comb, EW Brown, Almanac Nautica, Astronomical Almanac, Mawaqit, Ascript, Astro Info, Starrynight dan banyak software-software falak yang lain.
Para pakar falak dan astronomi selalu berusaha menyempurnakan rumus-rumus untuk menghitung posisi benda-benda langit hingga pada tingkat ketelitian yang ‘pasti /qat’i ”. Hal ini tentunya hanya bisa dibuktikan dan diuji saat terjadinya peristiwa-peristiwa astronomis seperti terbit matahari, terbenam matahari, terbit bulan, terbenam bulan, gerhana matahari, gerhana bulan, kenampakan planet dan komet, posisi bintang dan peristiwa astronomis yang lain.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Qanun Jinayat Prop. Aceh dalam Sistem Hukum Nasional


QANUN JINAYAT PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Oleh: Rasyid Rizani, S.HI., M.HI
(Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa, NTT)


A.    Latar Belakang Masalah
Secara garis besar sistem hukum di dunia dibagi menjadi tiga kelompok, di antaranya adalah: (1) sistem-sistem yang masih mengakui syariah sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya masih menerapkannya secara utuh; (2) sistem-sistem yang meninggalkan syariah dan menggantikannya dengan hukum skuler; dan (3) sistem yang mengkompromikan dua sistem tersebut.[1]
Indonesia adalah negara hukum,[2] yaitu mendasarkan semua tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara pada suatu hukum. Dalam suatu tatanan hukum tersebut terdapat suatu sistem hukum. Sistem hukum yang dianut di Indonesia merupakan Mix Law System yang mana di samping berlakunya hukum perundang-undangan juga berlaku hukum Islam.[3] Eksistensi hukum Islam termanifestasi di dalam Konstitusi Negara Indonesia yang lazim dikenal dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). UUD ini merupakan hukum dasar yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara guna terwujudnya suatu pemerintahan yang adil dan rakyat yang sejahtera.[4] Dalam kaitan kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi mengatur kehidupan beragama, yaitu sebagaimana tercantum pada alinea keempat pada Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Prinsip Ketuhanan yang ditanamkan dalam UUD 1945 oleh the founding parents merupakan suatu perwujudan akan pengakuan keagamaan.[5] Dalam perspektif Islam, hal ini memberikan pengakuan terhadap eksistensi agama Islam sebagai agama resmi dan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan Pembukaan, pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya, serta penafsiran Hazairin atas pasal 29 ayat (1) UUD 45, hukum Islam merupakan sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia. Lebih lanjut menurut penafsirannya pula, di dalam Negara Republik Indonesia tidak dibenarkan terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan hukum Islam bagi umat Islam, demikian juga bagi umat agama lain. Peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama-agama yang berlaku di Indonesia bagi umat masing-masing agama bersangkutan.[6]
Ketetapan MPR RI No. IV/MPR-RI/1999 tentang GBHN, Bab IV, Arah Kebijakan, A. Hukum, butir 2, menetapkan bahwa hukum Islam, hukum Adat, hukum Barat adalah sumber pembentukan hukum nasional.
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum Adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui legislasi.
Hukum Islam amat pantas menjadi sumber pembentukan hukum nasional, karena dinilai mampu mendasari dan mengarahkan dinamika masyarakat Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Hukum Islam mengandung dua dimensi, yakni: pertama, dimensi yang berakar pada nash qat’i, yang bersifat universal, berlaku sepanjang zaman, kedua, dimensi yang berakar pada nash zanni, yang merupakan wilayah ijtihadi dan memberikan kemungkinan epistemologis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni oleh umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara beragam, lantaran faktor sosiologis, situasi dan kondisi yang berbeda-beda.
Upaya membentuk hukum positif dengan bersumberkan hukum Islam, sebenarnya telah berlangsung lama di Indonesia, namun masih bersifat parsial, yaitu: tentang perkawinan, kewarisan, perwakafan, penyelenggaraan haji, dan pengelolaan zakat. Untuk mengupayakan pembentukan hukum positif bersumberkan hukum Islam yang lebih luas dan selaras dengan tuntutan perkembangan zaman diperlukan perjuangan gigih yang berkesinambungan, perencanaan dan pengorganisasian yang baik, serta komitmen yang tinggi dari segenap pihak yang berkompeten.[7]
Selanjutnya mengenai Islam dalam perspektif konstitusi, secara yuridis konstitusional, UUD 1945 memproteksi hak warga negara mengenai kebebasan bagi pemeluk agama Islam untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan syariat Islam. Eksistensi ideologi Islam secara expressiv verbis terdapat pada Pembukaan UUD 1945 sekaligus sebagai Pancasila yaitu, “Ketuhanan yang Maha Esa” yang terkesan mengutip ayat pada Q.S. Al-Ikhlas ayat (1) yaitu:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ  
“Katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa”.
Lebih lanjut pada pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yan tinggi yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan sifat bangsa yang percaya bahwa terdapat kehidupan lain di masa nanti setelah kehidupan di dunia sekarang. Ini memberi dorongan untuk mengejar nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka jalan bagi kehidupan yang baik di masa nanti.
Di samping itu, dalam perspektif konstitusi terdapat keseimbangan mengenai hubungan negara, hukum, dan agama. Agama sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam, terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam Pancasila.
Dalam proses sejarah terbentuknya hukum nasional Indonesia, hukum Islam merupakan salah satu elemen pendukung selain hukum adat dan hukum Barat. Hukum Islam telah turut serta memberikan kontribusi norma-norma dan nilai-nilai hukum yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen. Meskipun perlu disadari pula bahwa mayoritas kuantitas penduduk muslim di suatu negara tidak selalu dapat diasumsikan berarti juga “mayoritas” dalam politik dan kesadaran melaksanakan hukum (Islam). Kecenderungan masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan bahwa mayoritas muslim ingin semakin menegaskan diri dalam arti kekuasaan politik serta aspirasi pembentukan dan penerapan hukum yang didasarkan dan bersumber pada norma-norma dan nilai-nilai hukum Islam. Indikator yang mencerminkan kecenderungan tersebut dapat dilihat dari lahirnya peraturan perundang-undangan yang dalam ketentuan-ketentuannya menyerap jiwa dan prinsip-prinsip hukum Islam serta melindungi kepentingan umat Islam. Kecenderungan yang paling signifikan nampak dalam berbagai aspirasi umat Islam yang mengusulkan pencantuman isi Piagam Jakarta dalam UUD 1945 serta penerapan hukum pidana Islam.
Berkaitan dengan kontribusi hukum Islam dalam hukum nasional di Indonesia maka terdapat 3 (tiga) pola legislasi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:
1.      Hukum Islam berlaku untuk setiap warganegara dengan beberapa pengecualian. Pola ini dikenal sebagai pola unifikasi dengan diferensiasi (contoh: Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan).
2.      Hukum Islam diundangkan dan hanya berlaku bagi umat Islam (contoh: Undang-Undang nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh).
3.      Hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundang-undangan nasional dan berlaku untuk setiap warganegara (contoh: Undang-Undang nomor 23 tahun 1990 tentang Kesehatan).
Sepanjang abad, Aceh dikenal selain dengan pemberontakannya juga ketaatan beragamanya. Mereka berjuang melawan penjajahan Belanda, dan pada awal kemerdekaan Indonesia, mereka memberontak terhadap pemerintah pusat karena Jakarta tidak memegang janji untuk memberikan status daerah istimewa kepada Aceh. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berjuang untuk memisahkan diri dari Indonesia muncul pada tahun 1976 dan terus berlanjut maju mundur hingga ditandatanganinya perjanjian perdamaian di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Pada pokoknya pemberontakan tersebut selalu bersifat nasionalis dan pemimpin GAM tidak pernah menunjukkan ketertarikan yang serius untuk bekerja sama dengan sesama kelompok Muslim di tempat lain.
Lampu hijau untuk menerapkan hukum Islam pada tahun 1999 merupakan bagian dari sebuah upaya setelah jatuhnya Presiden Soeharto untuk mendapatkan sebuah penyelesaian politik atas konflik yang terjadi di Aceh. Hal ini lebih didasarkan atas penilaian dari elit politis Jakarta dan Aceh mengenai apa yang dapat meredam sebuah daerah yang menderita oleh konflik, pelanggaran HAM dan eksploitasi ekonomi selama bertahun-tahun. Hukum Islam mendapatkan dukungan, khususnya karena sistem peradilan biasa yang jarang sekali memberikan keadilan bagi masyarakat Aceh, sudah tidak berfungsi sama sekali akibat perang. Syariat dipromosikan sebagai sebuah obat mujarab: banyak yang berharap syariat akan mampu menghapuskan penyakit sosial, menghasilkan sebuah masyarakat yang egalitarian atau sederajat, dan meminjam kata-kata yang dipakai oleh seorang akademis, membuat rakyat Aceh menjadi "jujur, hemat, rajin belajar dan bekerja, setia, cerdas serta matang secara emosi.“[8]
Aceh adalah salah satu daerah dalam wilayah Republik Indonesia yang memiliki keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Legitimasi ini diberikan oleh pemerintah pusat untuk memenuhi harapan masyarakat Aceh yang menginginkan daerah ini berlaku hukum syariat sebagaimana dahulu kala di masa kesultanan Aceh.  Akhirnya pemerintah pusat menyetujui dengan membuat UU No. 44 tahun 1999 yang antara lain mengatur tentang syariat Islam di Aceh. Selanjutnya untuk mengatur tentang pelaksanaan syariat Islam tersebut, dibuatlah Perda No. 5 tahun 2000.
Perda No. 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam menyatakan bahwa seluruh aspek syariat akan diterapkan, termasuk yang berhubungan dengan ‘aqidah, ibadah, transaksi ekonomi, akhlak, pendidikan dan dakwah agama; baitu al-mal; kemasyarakatan, termasuk cara berbusana bagi Muslim; perayaan hari raya Muslim; pembelaan Islam; struktur peradilan, peradilan pidana dan warisan. Membentuk wilayatu al-hisbah (WH) sebagai badan pengawasan dan penegakan syariat, tetapi tidak ada perincian mengenai bagaimana ia berfungsi.
UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya UU PNAD) membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal 25 –26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syar’iyah NAD yang merupakan peradilan syariat Islam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional.
Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk agama Islam.[9] Kewenangan Mahkamah Syar’iyah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Qanun PNAD. Qanun PNAD adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan dari wewenang yang diberikan oleh UU No. 18 tahun 2001 untuk mengatur daerah dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap Qanun.[10] Mahkamah Syar’iyah tersebut terdiri dari:
  1. Makamah Syar’iyah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda sebagai pengadilan tingkat pertama;
  2. Mahkamah Syar’iyah Propinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada di ibukota Propinsi, yaitu di Banda Aceh.
Selain undang-undang ini masih ada beberapa undang-undang yang lain tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh, termasuk yang terakhir sekali disahkan yaitu UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Dalam pasal 125 ayat (1) undang-undang ini diatur bahwa syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah dan akhlak; ayat (2) syariat Islam tersebut meliputi: ibadah, ahwal al-syakhshiyyah (hukum keluarga), mu’amalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.
Qanun No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam untuk pertama kalinya memperluas jangkauan wewenang hukum pengadilan agama hingga di luar hukum keluarga dan warisan, termasuk transaksi ekonomi yang sebelumnya tidak termasuk dalam yurisdiksi pengadilan agama, dan juga kasus-kasus pidana (jinayat). Mu’amalat meliputi masalah jual beli; permodalan; bagi hasil pertanian; pendirian perusahaan; pinjam meminjam; penyitaan properti untuk membayar hutang; hipotek; pembukaan lahan; pertambangan; pendapatan; perbankan; perburuhan; dan bermacam-macam bentuk infaq dan sedekah.
Pelanggaran pidana dibagi menjadi tiga kategori. Pelanggaran hudud meliputi zina, tuduhan palsu tentang berzina; mencuri, merampok, mengkonsumsi minuman keras, kemurtadan dan pemberontakan, adalah pelanggaran yang hukumannya ditetapkan dalam Alquran. Qishash diyat berhubungan dengan masalah pembunuhan dan penganiayaan, dan biaya dari pelaku kepada keluarga korban. Pelanggaran ta’zir adalah pelanggaran di luar hudud dan qishash, yaitu kejahatan yang mana hukumannya tidak ditetapkan dalam Alquran, karena itu tergantung kebijaksanaan hakim. Pelanggaran ini termasuk perjudian, penipuan, pemalsuan dokumen, khalwat, tidak berpuasa dalam bulan Ramadan dan meninggalkan shalat. Ta’zir juga dapat termasuk pelanggaran yang mengganggu ketertiban umum atau merusak kepentingan umum seperti pelanggaran lalu lintas.[11].
Qanun No. 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan hukum Islam di bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam adalah peraturan pertama yang melarang tingkah laku tertentu di bawah hukum Islam, antara lain, melarang penyebaran ajaran sesat. Mengharuskan seluruh pemeluk Islam untuk berbusana Muslim yaitu pakaian yang menutup aurat (untuk laki-laki aurat termasuk lutut hingga pusar, untuk perempuan seluruh tubuh kecuali telapak tangan, kaki dan wajah); tidak transparan; dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Mewajibkan seluruh kantor pemerintah dan institusi-institusi pendidikan untuk mengharuskan busana Muslim di tempatnya masing-masing. Terakhir, menugaskan Wilayatu al-Hisbah untuk memberi imbauan bagi para pelanggar dan memberlakukan hukuman ta’zir bagi yang mengulangi perbuatannya. Qanun inilah yang digunakan untuk menghukum perempuan yang tidak memakai jilbab.
Qanun No. 12, 13 dan 14/2003 tentang khamar (menjual dan mengkonsumsi minuman keras), maisir (judi) dan khalwat (larangan berduaan di tempat sepi bagi yang bukan muhrim) menganggap tiga perbuatan ini sebagai perbuatan. Untuk pertama kali, hukuman secara Islam ditetapkan dalam peraturan hukum, khususnya hukuman cambuk.
Untuk efektivitas pelaksanaan qanun ini di samping adanya lembaga penyidikan dan penuntutan, juga dilakukan pengawasan yang meliputi upaya pembinaan si pelaku jarimah minuman khamar, maisir dan khalwat oleh pejabat Wilayatu al-Hisbah. Di samping itu juga kepada masyarakat diberikan peranan untuk mencegah terjadinya jarimah minuman khamar, maisir dan khalwat dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.
Salah satu contoh, terdapat perbedaan hukuman dalam qanun nomor 13 tahun 2003 dengan KUHP pasal 303 terhadap jarimah maisir, dalam qanun diancam dengan uqubat cambuk dan denda, sedangkan dalam KUHP diancam dengan hukuman penjara dan denda. Ada dua kategori hukuman yang sama-sama dapat diberlakukan, hukuman yang terdapat dalam qanun nomor 13 tahun 2003 tersebut hanya berlaku khusus di Aceh, sedangkan hukuman yang terdapat di KUHP pasal 303 berlaku secara umum di wilayah Indonesia.
Salah satu aliran dalam filsafat hukum adalah aliran Sociological Jurisprudence, yang mengajarkan tentang bagaimana hukum itu akan berlaku efektif dalam masyarakat. Menurut aliran ini :
Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal akan bertahan hidup. Unsur kekal dari hukum adalah pernyataan akal yang berdasar pengalaman dan diuji oleh pengalaman juga. Pengalaman dikembangkan oleh akal, akal diuji oleh pengalaman. Sehingga hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, kemudian diumumkan dengan wibawa oleh badan pembentuk undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat. Inti ajarannya adalah Living law in live.
Melihat perbandingan hukuman dari dua peraturan tersebut, apabila dihubungkan dengan kutipan ajaran aliran Sociological Jurisprudence, penulis memahami bahwa  hukum positif yang baik dan karenanya efektif adalah hukum positif yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya.
Hukum positif yang berlaku di Indonesia agar tetap efektif dalam menghadapi perubahan dan perkembangan dinamika masyarakat, haruslah menjadi hukum yang hidup di masyarakat dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dengan kata lain, hukum positif baru akan berlaku secara efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini berdasarkan dari tujuan hukum itu sendiri, yaitu :
1.      Kepastian (hukum harus ditegakkan: jika hukum yang ditegakkan dibuat tidak bersumber dari aspirasi masyarakat luas, maka penegakan hukum menjadi semu);
2.      Ketertiban (hukum harus dipaksakan: jika hukum yang dipaksakan dibuat tidak berdasarkan aspirasi masyarakat luas, maka pemaksaan menjadi otoriterisme);
3.      Kedamaian (tolok ukur kedamaian apabila kepentingan dan hak semua pihak terlindungi);
Qanun Jinayat adalah manifestasi dari syariat Islam yang diberlakukan di Aceh. Aceh dapat dikatakan sebagai Propinsi yang mengakui sistem syariah sebagai hukum asasinya sebagaimana telah mempunyai payung hukum dengan undang-undang nomor 44 tahun 1999 dan undang-undang nomor 18 tahun 2001. Dilihat dari perspektif nasional, negara Indonesia adalah termasuk sistem negara yang ketiga, yaitu yang mengkui syariat dan sistem hukum nasional berlaku bersama-sama dalam suatu Negara. Sebagaimana diketahui, Indonesia bukanlah negara yang berideologi Islam, melainkan Pancasila. Berdasarkan hal tersebut, ada suatu pertanyaan yang memerlukan analisis mendalam tentang kedudukan Qanun Jinayat itu sendiri dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
Bertolak pada latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, dapat diambil pokok-pokok permasalahan yang menjadi bahan kajian dalam tulisan ini. Pokok masalah tersebut dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana kedudukan Qanun Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan materi yang terkandung di dalamnya menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?
2.      Bagaimana prospek Qanun Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam tinjauan politik hukum?

B.     Legislasi Hukum Islam di Indonesia
  1. Pengertian Legislasi
Dalam Faruqi’s Law Dictionary, kata legislasi dimaknai dengan yasyra’u, yakni mengundangkan, disebut juga qanunan, taqninan, atau tasyri’an.[12] Istilah ini dalam Kamus Edisi Lengkap: Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, sering disebut dengan “Wet Geving” yaitu perundang-undangan.[13]
Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya.[14] Sementara dalam A Dictionary of Law dijelaskan tentang pengertian hukum sebagai "Law is the enforceable body of rules that govern any society or one of the rules making up the body of law, such as Act of Parliament."[15] (Hukum adalah suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk mengatur/memerintah masyarakat atau aturan apa pun yang dibuat sebagai suatu aturan hukum seperti tindakan dari Parlemen).
Bagi kalangan muslim fundamental, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah hukum Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada Alquran dan hadist, untuk kurun zaman tertentu lebih dikonkretkan oleh Nabi Muhammad dalam tingkah laku Beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul.

  1. Dasar Legislasi Hukum Islam di Indonesia
Dasar legislasi hukum Islam dalam UUD 1945 adalah pada pasal  29 ayat (1) dan Perubahannya. Hukum Islam merupakan sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia. Dalam Negara Republik Indonesia tidak dibenarkan terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan hukum Islam bagi umat Islam, demikian juga bagi umat-umat agama lain, peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama-agama yang berlaku di Indonesia bagi umat masing-masing agama bersangkutan.
Dalam Ketetapan MPR RI No. IV/MPR-RI/1999 tentang GBHN, Bab IV, Arah Kebijakan, A. Hukum, butir 2, ditetapkan bahwa hukum Islam, hukum Adat, hukum Barat adalah sumber pembentukan hukum nasional.
“Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum Adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui legislasi.[16]

Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, tentu sangat berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari syariat yang dikandung agamanya. Melaksanakan syariat agama yang berupa hukum-hukum, menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya.
Sebagai negara berdasar atas hukum yang berfalsafah Pancasila, negara melindungi agama, penganut agama, bahkan berusaha memasukkan hukum agama ajaran dan hukum agama Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[17]
Dengan kemajuan dunia saat ini, khususnya negara Indonesia, maka penerapan hukum pidana Islam yang mulai diberlakukan seperti di Aceh harus mengikuti perubahan zaman, tidak semata-mata lahirnya produk hukum seperti qanun penerapan syariat Islam lebih pada kepentingan politik para kelompok. Titik berat penerapan hukum pidana Islam dan syariat Islam harus memiliki serta menawarkan konsep hukum yang lebih universal dan mendasarkan pada nilai-nilai esensial manusia.
Prinsip negara hukum sebagaimana pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Persamaan di depan hukum di mana kepada seluruh warga negara diberikan pelayanan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Namun, bukan berarti pelembagaan hukum Islam bertentangan dengan prinsip di atas sebab bunyi pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yakni: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan UUD 1945 ini harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum muslimin untuk melakukan aktifitas keperdataan sesuai dengan konsep syariat Islam sebagai keyakinan yang dianutnya.
Penafsiran terhadap pasal 27 ayat (1) dengan pasal 29 ayat (2) tersebut, tidak perlu diletakkan pada posisi dikotomis dan kontradiktif, namun dalam hubungan lex generalis dan lex spesialis. Persamaan di depan hukum bagi seluruh warga, ini berlaku umum (lex generalis). Sedangkan semua penduduk diberi hak untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing, ini berlaku khusus (lex spesialis). Ada kekhususan hukum untuk pemeluk agama tertentu.[18]

  1. Landasan Historis
a.      Hukum Islam dalam Konstitusi
Membicarakan posisi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah tentang keberadaan Piagam Jakarta dengan tujuh kata di dalamnya: “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Walaupun draf Piagam Jakarta itu sudah disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 untuk menjadi preambule Konstitusi RI, namun pada tanggal 18 Agustus 1945 (sehari setelah proklamasi), tujuh kata tersebut dicoret dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan dicoretnya tujuh kata tersebut, tentu saja berdampak pada keberlakuan hukum Islam secara legal formal di Indonesia. Hingga dua dekade pertama sejak merdeka (1945 – 1965), peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi hukum Islam hampir tidak ada yang signifikan. Paling-paling hanya berkenaan dengan soal administrasi dan pencatatan seputar masalah perkawinan.
Pembicaraan mengenai posisi hukum Islam dalam konstitusi muncul kembali pada sidang Konstituante (1957-1959) yang mempersiapkan UUD baru bagi Indonesia. Diskusi dalam sidang tersebut mengalami kebuntuan karena tidak tercapainya kesepakatan tentang dasar Negara dan posisi tujuh kata Piagam Jakarta dalam draf konstitusi yang dibahas oleh anggota Konstituante. Untuk mengatasi krisis konstitusional tersebut, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang antara lain berisikan diktum pernyataan kembali ke UUD 1945. Pernyataan ini didahului oleh sebuah konsideran yang meyakini bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.[19]
Walaupun Piagam Jakarta diakomodasi dalam konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959, konsensus yang menyeluruh tentang posisi konstitusional hukum Islam tidak pernah tercapai. Penafsiran terhadap implikasi Dekrit tersebut bagi posisi hukum Islam berbeda-beda tergantung pada masing-masing golongan dan sesuai dengan kepentingan politik mereka. Bagi sebagian besar pemimpin Islam pada saat itu, Dekrit itu bermakna pemulihan fungsi dan isi tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dicoret sehari setelah proklamasi. Namun, menurut sejumlah besar politisi bukan berasal dari partai Islam, konsiderans Dekrit yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai kembali kepada UUD 1945 itu tidak lebih dari sebuah dokumen historis dan sekedar pernyataan keyakinan pribadi Presiden Soekarno yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum untuk membuat peraturan perundang-undangan bagi umat Islam.[20]
Sungguhpun Piagam Jakarta diakui menjiwai UUD 1945 sebagaimana termaktub dalam Dekrit Presiden 1959 dan dipercaya oleh sebagian besar tokoh Muslim sebagai sumber hukum yang absah, keberadaanya pada masa awal Orde Baru tetap kontroversial. Presiden Soeharto bahkan sampai memanggil pimpinan partai-partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) untuk mencapai kesepakatan mengenai definisi atau pengertian yang terkandung dalam tujuh kata Piagam Jakarta. Hingga penghujung tahun 1968, panitia yang terdiri dari partai-partai Islam dan bertugas mengolah pandangan bersama mengenai Piagam Jakarta itu tidak mampu mencapai kata sepakat dalam mendefinisikan Piagam itu. Akhirnya ABRI meminta panitia itu untuk berhenti di situ saja. Menurut pandangan ABRI, perdebatan pemaknaan Piagam Jakarta hanya akan menambah gawat ketegangan-ketegangan di saat stabilitas Orde Baru dinilai masih belum mantap. Sejak saat itu, Piagam Jakarta tidak pernah lagi terdengar sebagai wacana hukum apalagi sebagai referensi peraturan perundang-undangan nasional.[21]
Tata hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan landasan dan arahan politik hukum terhadap pembangunan bidang agama (hukum agama) dengan jelas. Menurut Mochtar Kusumatmadja, sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada hakekatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Pasal 29 UUD 1945 menegaskan tentang jaminan yang sebaik-baiknya dari Pemerintah dan para penyelenggara negara kepada setiap penduduk agar mereka dapat memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi agama termasuk hukum-hukumnya, melindungi dan melayani keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut.[22]
Dalam menghadapi era globalisasi, hukum nasional Indonesia harus mampu menjawab tantangan fenomena global yang futuristik demi menjamin kelangsungan penyelenggaraan kehidupan bernegara secara adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan didampingi oleh kaidah-kaidah hukum Islam, ditambah dengan nilai-nilai intrinsik dari hukum adat dan modernisasi positif dalam hukum Barat, maka hendaknya hukum nasional bukan lagi merupakan kodifikasi dari aturan-aturan yang ada, melainkan sebagai alat modifikasi bagi terwujudnya kehidupan bernegara di Indonesia secara lebih baik. 
Konstitusi sebagai dasar dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengatur secara dasar mengenai hukum di Indonesia dan menjadi landasan rujukan terhadap konstitusionalitas produk hukum di bawahnya.[23]
Konstitusi memuat berbagai materi yang diatur. Materi muatan konstitusi mengenai kehidupan umat beragama termasuk hak dan kewajibannya. Secara konstitusional dapat ditemukan pada UUD 1945, yaitu:
a.       Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat, yaitu: “… Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, …(selaras dengan maksud surah Al-Ikhlas ayat 1:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ  
artinya: Katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Satu (Tuhan Yang Maha Esa)”.
b.      Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yaitu: ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,…”(selaras dengan maksud surat Albaqarah ayat 256:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 sÇËÎÏÈ  

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah”.
c.       Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu: “… Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, …”.
d.      Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yaitu: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

b.      Eksistensi Hukum Islam di Indonesia
Pasang surut formalisasi hukum Islam di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh tiga teori yang berkembang sejak zaman kolonial Belanda dahulu, yaitu teori receptie incomplexu, teori receptie, dan teori receptie balik (receptie a contrario). Melalui ahli hukum Van den Berg, lahirlah teori receptie in complexu, yang menyatakan bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Atas pengaruh teori ini, maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan Peradilan Agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk Agama Islam. Melalui Peradilan Agama inilah pertama kali hukum Islam diformalkan di Indonesia. Namun, teori receptie in complexu tersebut kemudian ditentang oleh van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai pencipta teori baru yaitu teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat, yaitu bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing, bagi orang Islam berlaku hukum agama Islam, demikian juga yang lain.[24]
Dengan demikian, menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum Adat. Atas pengaruh teori ini, maka pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan staatsblad Nomor 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dimiliki oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah- masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagai pertentangan terhadap teori receptie, kemudian muncul teori receptie a contrario yang dikemukakan oleh Sajuti Thalib. Teori ini merupakan pengembangan dari teori Hazairin yang intinya menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya. Dengan demikian hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal ini sejalan dengan konsep Urf yang dikenal dalam Islam.
Teori receptie a contrario ini dianggap berpengaruh besar terhadap lahirnya Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Pasca runtuhnya rezim orde baru, di Aceh terjadi konflik besar antara kelompok penuntut disintegrasi, atau yang kemudian dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah. Konflik yang berlangsung bertahun tahun itu banyak menimbulkan korban, baik dari pemerintah, GAM maupun penduduk sipil. Tuntutan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sulit sekali untuk dibungkam berakhir pada pemberian otonomi khusus dari pemerintah Indonesia kepada Aceh dengan Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 ini. Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 memberi jaminan hukum tentang pelaksanaan syariat Islam sebagai hukum materiil yang digunakan di Aceh, mengembangkan dan mengatur pendidikan sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan dan menyelenggarakan kehidupan adat dan peran serta kedudukan ulama dalam penerapan kebijakan daerah. Apalagi kemudian diperkuat lagi dengan Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa bidang ahwal al-syakhshiyyah, mu'amalah, dan jinayah (masalah kejahatan) yang didasarkan atas syariat Islam dapat diatur dengan qanun. Sampai tahun 2006, qanun yang sudah disahkan di Aceh berupa Qanun nomor 11 tahun 2003 tentang aturan Syariat Islam, Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang maisir, Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang khamar atau minuman keras, serta Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat atau menyepi dengan lawan jenis.
Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Teori eksistensi merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia, masa lalu, masa kini, dan masa datang bahwa hukum Islam itu ada dalam hukum nasional Indonesia baik tertulis maupun yang tidak tertlis dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktek hukum.  Teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia yaitu:
a.       Ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia.
b.      Ada dalam arti adanya dengan kemandiriannya yang diakui adanya kekuatan dan wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum Nasional.
c.       Ada dalam arti hukum nasional dan norma hukum Islam (agama) yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional di Indonesia.
d.      Ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama.[25]
Jadi, secara eksistensial, Kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional merupakan sub sistem dari hukum nasional. Oleh karenanya, maka hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meskipun harus diakui problema dan kendalanya yang belum pernah usai.
Secara sosiologis, kedudukan hukum Islam di Indonesia melibatkan kesadaran keberagaman bagi masyarakat, penduduk yang sedikit banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum, baik norma agama maupun norma hukum. Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakat yang harus dikembangkan secara searah, serasi dan tidak dibiarkan saling bertentangan.
Dalam peraturan perundang-perundangan terlihat kecenderungan makin kuatnya kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional. Ada tiga pola bentuk hubungan antara hukum agama dengan hukum nasional, yaitu:
a.       Hukum agama khusus untuk kaum beragama tertentu.
b.      Hukum agama masuk dalam hukum agama secara umum yang memerlukan pelaksanaan secara khusus.
c.       Hukum agama masuk dalam perundang-undangan yang berlaku untuk seluruh penduduk Indonesia. Keberagaman yang bersandar pada nilai asasi manusia adalah modal faktual bagi kehidupan bangsa dan bernegara, sehingga dalam bidang hukum yang agama-agama yang mempunyai ajaran dan ketentuannya sendiri harus berwujud pluralitas hukum. Pembangunan hukum yang tidak mungkin dicapai unifikasi sedapat mungkin diupayakan terciptanya keharmonisan hukum. [26]
Selain karena alasan sosiologis dan alasan praktis-pragmatis, keeratan hubungan antara ulama dan umara serta agama dan hukum dapat dilihat secara filosofis-politis dan yuridis. Secara filosofis-politis, keeratan hubungan keduanya dapat dilihat dari perspektif Pancasila yang menurut doktrin ilmu hukum di Indonesia merupakan sumber dari segala sumber hukum. Di dalam Pancasila itu sendiri, agama mempunyai posisi yang sentral. Di dalamnya, terkandung prinsip yang menempatkan agama dan ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam posisi yang pertama dan utama. Demikian juga dengan tinjauan yuridis, kedudukan agama dalam konteks hukum dan keeratan hubungan antara keduanya dijamin menurut Pembukaan UUD 1945 dan pasal 29.
Untuk mewujudkan hukum Islam dapat menjadi lebih prospektif dalam kodifikasi hukum nasional pada masa akan datang, para legislator di tingkat pusat dan daerah rnerupakan prasyarat utama. Putusan-putusan Pengadilan/Hakim yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang Islami turut berperan pula.[27]
Penerapan formal hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi lima level sebagai berikut:
a.       Masalah-masalah hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian dan kewarisan.
b.      Urusan-urusan ekonomi dan lembaga keuangan, seperti zakat, wakaf dan perbankan Islam.
c.       Praktik-praktik kewajiban beragama, seperti berjilbab dan berpuasa Ramadhan, ataupun pelarangan-pelarangan resmi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti mengkonsumsi minuman beralkohol dan barang-barang yang mengandung pornografi.
d.      Penerapan hukum pidana Islam, terutama yang berkenaan dengan jenis-jenis sanksi hudud dan qishash.
e.       Penggunaan Islam sebagai dasar Negara dan sistem pemerintahan.[28]
Lima level penerapan hukum Islam tersebut disusun secara hirarkis, mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi bobotnya. Dua level pertama merupakan aturan hukum dalam wilayah privat dan tiga level berikutnya meruapakan aturan hukum yang bersifat publik. Hukum Islam dalam legislasi nasional hingga saat ini setidaknya telah mencapai level kedua dengan relatif mantap. Namun, dalam legislasi regional atau lokal melalui Qanun dan Perda di sejumlah wilayah tertentu, terlihat hukum Islam sudah sampai pada level ketiga walaupun belum stabil sepenuhnya, bahkan di Aceh sudah sampai pada level keempat. 
Lembaga yang menjalankan dan mengawasi terlaksananya hukum Islam yang diakui keberlakuannya oleh Negara adalah Peradilan Agama, dan khusus untuk wilayah Aceh dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah. Yurisdiksi Peradilan Agama, berdasarkan pasal 49 UU No. 50 tahun 2009 perubahan kedua atas UU No. 7 tahun 1989 meliputi kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (1) perkawinan; (2) waris; (3) wasiat; (4) hibah; (5) wakaf; (6) zakat; (7) infaq; (8) shadaqah; dan (9) ekonomi syariah. Namun, sebagaimana diatur dalam pasal 50 UU ini disebutkan, pada ayat (1): dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Pada ayat (2); Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.
Adapun untuk Mahkamah Syar’iyah memiliki keistimewaan tersendiri yang berbeda dari Pengadilan Agama di propinsi lain di luar Aceh. Perbedaan pertama adalah soal Nomenklatur. Mahkamah Syar’iyah kembali menjadi nomenklatur resmi peradilan Islam di Aceh berdasarkan Keppres nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Propinsi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan perbedaan kedua adalah tentang kewenangan hukum yang dimiliki Mahkamah Syar’iyah. Selain memiliki kewenangan sebagaimana peradilan agama di luar Aceh, berdasarkan pasal 128 ayat (3) UU nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, memiliki kewenangan yang meliputi tiga bidang, yaitu: (1) Ahwal al-Syakhshiyyah (hukum keluarga); (2) Mu’amalah (hukum perdata); dan (3) Jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syariat Islam.
Perkara-perkara yang dimaksud dalam ketiga bidang itu lebih lanjut diatur oleh qanun. Sejauh ini, qanun yang telah ada berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyah yaitu:
a.       Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam.
b.      Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan minuman keras.
c.       Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan perjudian.
d.      Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat.
e.       Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.

  1. Landasan Yuridis
a.        Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan
Landasan formil konstitusional peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan legitimasi prosedural terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan yang dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat”. Kalau pembuatan atau prosedur pembuatannya tidak benar atau menyimpang dari UUD 1945 dan UU Susduk DPR, DPD, dan DPRD dan jabarannya dalam Peraturan Tata Tertib DPR/DPD (untuk UU) dan tata tertib DPRD (untuk Perda) serta prosedur yang ditentukan dalam UU No. 10 tahun 2004 dan UU Pemerintahan Daerah (bagi Perda), maka UU dan/atau Perda tersebut dapat dibatalkan secara menyeluruh oleh Mahkamah Konstitusi (untuk UU) atau oleh Mahkamah Agung (untuk Perda).[29] 
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka landasan formil konstitusional peraturan perundang-undangan untuk:
a.       Undang-Undang Dasar (UUD) adalah pasal 3 ayat (1) UUD 1945 jo pasal 37 UUD 1945.
b.      Undang-Undang (UU) adalah pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (untuk RUU yang datang dari Presiden/Pemerintah), pasal 20 UUD 1945, pasal 21 UUD 1945 (untuk RUU yang datang dari DPR).
c.       Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah pasal 22 UUD 1945.
d.      Peraturan Pemerintah (PP) adalah pasal 5 ayat (2) UUD 1945.
e.       Peraturan Presiden (Perpres) adalah pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
f.       Peraturan Daerah (Perda) adalah pasal 18 ayat (6) UUD 1945.
Landasan materiil konstitusional peraturan perundang-undangan ini kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans “menimbang” dan dituangkan dalam norma-norma dalam pasal dan/atau ayat dalam Batang Tubuh dan dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan kalau kurang jelas.
Pencantuman pasal-pasal UUD 1945 sebagai landasan materiil konstitusional peraturan perundang-undangan tersebut disesuaikan dengan materi muatan yang akan dijabarkan dalam Batang Tubuh peraturan peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya, akan dibentuk Qanun nomor 13 tentang maisir (perjudian), dicantumkan pasal 29 UUD 1945 karena pasal ini memuat tentang agama.
Pasal-pasal UUD yang dijadikan landasan materiil konstitusional tersebut kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans “menimbang”, dan dijabarkan atau dituangkan lebih lanjut dalam pasal dan/atau ayat dalam “Batang Tubuh” sampai dengan “Penjelasan” peraturan perundang-undangan yang bersangkutan kalau diperlukan.
Landasan formil dan materiil konstitusional peraturan perundang-undangan kemudian diberikan landasan UU yaitu UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam lampiran UU No. 10 tahun 2004 ditentukan:
a.       Butir 17: Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan.
b.      Butir 18: Pokok-pokok pikiran pada konsiderans UU atau Perda memuat unsur-unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.
Butir 17-18 tersebut mencerminkan bahwa Peraturan Perundang-undangan tertentu (khususnya UU dan Perda) harus mempunyai landasan formil dan materiil konstitusional yang dituangkan dalam “menimbang” dan dasar hukum “mengingat”.

b.        Unsur-Unsur dalam Pembuatan Peraturan Perundang-undangan
1)      Unsur Filosofis
Unsur filosofis yang termuat dalam latar belakang pembuatan suatu UU/Perda merupakan hakikat dari landasan formil dan materiil konstitusional peraturan perundang-undangan. Unsur filosofis diuraikan secara singkat dalam “menimbang” ini terkandung dalam:
1)      Pembukaan UUD 1945 (tersurat/tersirat)
2)      Aturan/norma dasar (tersurat/tersirat) dalam pasal-pasal UUD 1945.
3)      Kehidupan masyarakat yang secara prinsip telah “dirangkum” dan “dimuat” dalam nilai-nilai yang ada pada setiap sila dari Pancasila, atau:
4)      Setiap benda/situasi/kondisi yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mencari kebenaran di atas kebenaran dari yang kan diatur (relatif).
Setiap masyarakat selalu mempunyai “rechtsidee’, yakni apa yang masyarakat harapkan dari hukum, misalnya hukum diharapkan untuk menjamin adanya keadilan, kemanfaatan, dan ketertiban maupun kesejahteraan. Semua ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.[30]
Dasar filosofis merupakan dasar filsafat atau pandangan hidup yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat ke dalam suatu rancangan / draft peraturan perundang-undangan. Dasar filosofis bangsa Indonesia adalah Pancasila, sehingga pada prinsipnya tidak dibuat dan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat jika bertentangan dengan Pancasila sebagai filsafat dan dasar negara Indonesia.[31]
Peraturan Daerah dikatakan mempunyai landasan filosofis (filosofishe grondslang) apabila rumusannya atau normanya mendapat pembenaran (rechtsvaardiging) dikaji secara filosofis. Jadi, ia mempunyai alasan yang dapat dibenarkan apabila sejalan dengan nilai-nilai yang baik. Misalnya, menganiaya hewan sebelum disembelih untuk keperluan suatu pesta adat (paham yang berakar dari living law). Jika larangan ini dikuatkan melalui Peraturan Daerah, maka ia memperoleh landasan filosofis. [32]
Seperti yang dikatakan oleh Astim Riyanto, guru besar ilmu hukum tata negara spesialis hukum konstitusi, dalam pelatihan kesekretariatan Universitas Pendidikan Indonesia pada tanggal 28 Januari 2009, bahwa landasan filosofis berkaitan dengan harapan-harapan masyarakat akan kemanfaatan (kebahagiaan), keadilan, dan kesejahteraan yang diwujudkan oleh hukum. Berarti suatu perundang-undangan bernilai filosofis apabila membawa kemanfaatan, keadilan dan kesejahteraan. [33]

2)      Unsur Sosiologis
Unsur sosiologis yang dimuat dalam latar belakang dibuatnya UU/Perda adalah konstatsi fakta atau keadaan nyata dalam masyarakat. Misalnya: dalam Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat unsur sosiologisnya adalah khalwat yang merupakan perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau yang berpeluang pada tejadinya perbuatan perzinaan.
Apabila para warga masyarakat mematuhi hukum di mana hukum itu diberlakukan. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum:
1)      Teori kekuasaan, secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat.
2)      Teori pengakuan, kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.[34]
Landasan sosiologis merupakan landasan yang terdiri atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat yang mendorong perlunya pembuatan peraturan perundang-undangan (Perda ataupun Qanun), yaitu bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu pengaturan.[35] Seperti di Aceh diatur tentang qanun larangan minum khamar, maisir (judi) dan khlawat (mesum), karena masyarakat memerlukan peraturan tersebut. Masyarakat Aceh dikenal dengan keberagamaannya untuk menerapkan syariat Islam dalam formalisasi hukum pidana.
Suatu Peraturan Daerah dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar Peraturan Daerah yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf mati belaka. Hal ini berarti bahwa Peraturan Daerah yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Pada prinsipnya, hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, dan jika tidak sesuai dengan tata nilai, keyakinan dan kesadaran masyarakat tidak aka nada artinya, tidak mungkin dapat diterapkan karena tidak dipatuhi dan ditaati.[36]

3)      Unsur Yuridis
Unsur yuridis yang dimuat dalam latar belakang dibuatnya UU/Perda adalah berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang ada baik yang menjadi dasar hukum “mengingat’ maupun yang berkaitan secara langsung dengan substansi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan  yang harus diganti/dicabut atau diubah karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam masyarakat.
Apabila ketentuannya didasarkan pada norma yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau bila terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Zevenbergen), atau apabila menunjukkan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A. Logemann). Keberlakuan yuridis dari kaidah hukum oleh Bagir Manan[37] diperinci dalam syarat-syarat:
1)      Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan.
2)      Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis atau peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintah oleh peraturan perundang-undangan lebih tinggi tingkatannya atau sederajat.
3)      Keharusan mengikuti tata cara tertentu.
4)      Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dasar yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukum/ dasar hukum untuk pembuatan/perancangan suatu peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan hal tersebut, bahwa setiap norma hukum dianggap sah karena ia diciptakan dengan cara ditentukan oleh norma lain. Suatu norma hukum yang lebih tinggi menjadi dasar keabsahan norma yang dibentuknya (norma yang lebih rendah).
Landasan yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukum/dasar hukum untuk pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Landasan yuridis ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1)      Landasan yuridis dan sudut formal, yaitu landasan yuridis yang memberikan kewenangan bagi instansi/pejabat tertentu untuk membuat peraturan tertentu, misalnya pasal 136 UU No. 32 tahun 2004 memberikan landasan yuridis dan sudut formal kepada Pemerintah Daerah dan DPRD untuk membuat peraturan daerah.
2)      Landasan yuridis dan sudut materiil, yaitu landasan yang memberikan dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu, seperti pasal 136 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 memberikan kewenangan dibuatnya Perda tentang Pembentukan Kelurahan.[38]
Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan peraturan karena akan menunjukkan, adanya kewenangan dari pembuat peraturan, adanya kesesuaian bentuk dengan materi yang diatur, untuk menghindari peraturan itu batal demi hukum dan agar tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, landasan yuridis merupakan dasar hukum ataupun legalitas landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya. [39]
Landasan yuridis mensyaratkan agar setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar keabsahan, baik dasar keabsahan yang bersifat formal maupun yang bersifat material. Dasar keabsahan formal berkaitan dengan prosedur atau tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan keabsahan yang bersifat material berkaitan dengan isi (substansi) atau materi muatan dalam peraturan suatu perundang-undangan.[40]
Suatu peraturan perundang-undangan dapat memenuhi kualifikasi yuridis apabila: (1) mempunyai kekuatan hukum sah; (2) mempunyai kekuatan hukum berlaku; dan (3) mempunyai kekuatan hukum mengikat. Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai kekuatan hukum sah apabila peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk oleh lembaga/institusi/badan yang berwenang. Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai kekuatan hukum berlaku apabila peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Suatu perundang-undangan dikatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila peraturan perundang-undangan tersebut diundangkan/diumumkan. Suatu peraturan perundang-undangan yang memenuhi kualifikasi yuridis akan berdampak kepada adanya ketertiban hukum, kepastian hukum, dan perlindungan hukum, sehingga hukum berfungsi sebagai alat pembaharuan masyarakat (law is a tool of social engineering).[41]
Selain landasan formil dan materiil konstitusional tersebut, juga diberikan alas hukum yaitu dalam butir 26 UU No. 10 tahun 2004 yang berbunyi: dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan tersebut berisi landasan formil dan materiil konstitusional apabila menyangkut UUD. Sedangkan, apabila menyangkut Peraturan Perundang-undangan lain di bawah UUD dan TAP MPR disebut landasan formil dan materiil yuridis.[42]
Lon L. Fuller memandang dari sudut pembentuk peraturan perundang-undangan, melihat hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat. Asas-asas tersebut menurutnya terkandung dalam principles of legality,[43] yaitu :
1)      Tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat adhoc.
2)      Peraturan yang sudah dibuat itu harus diumumkan.
3)      Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut.
4)      Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5)      Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6)      Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7)      Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan, sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.
8)      Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Hamid S. Attamimi dalam disertasinya setelah membahas berbagai bahan menyangkut asas hukum dan asas pembentukan peraturan perundangan di Indonesia, merumuskan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut di Indonesia, meliputi:
1)        Asas-asas formal, dengan perincian: asas tujuan yang jelas; asas perlunya pengaturan; asas organ/lembaga yang tepat; asas materi muatan yang tepat; asas dapatnya dilaksanakan; dan asas dapatnya dikenali
2)        Asas-asas materiil, dengan perincian: asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara; asas sesuai dengan hukum dasar negara; asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum; dan asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem konstitusi.[44]
Agar suatu ketentuan hukum dapat berfungsi sebagaimana yang dikehendaki, maka terhadap ketentuan hukum tersebut harus memenuhi ketiga dasar keberlakuan hukum sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
1.      Bila hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati (dode regal).
2.      Jika hukum berlaku secara sosiologis, (maka mungkin hukum berlaku dalam arti teori kekuasaan), maka kaidah tersebut menjadi aturan pemaksa.
3.      Apabila hanya berlaku secara filosofis, maka mungkin hukum tersebut hanya  merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).[45]

C.    Pengaruh Politik terhadap Hukum
Hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek yaitu proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum.[46]
Hukum adalah hasil tarik-menarik berbagai kekuatan politik yang mengejawantah dalam produk hukum. Dalam hal ini Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan undang-undang menjadi medan perbenturan dan pergumulan kepentingan-kepentingan. Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang menjadi penting karena pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu.
Di samping konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi.[47] Di Indonesia intervensi pemerintah dalam bidang politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat dominan di dalam mewarnai politik hukum di Indonesia.[48]
Menurut Mahfud MD sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin Abu Bakar bahwa politik hukum juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.[49] Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat.[50]
Hukum tidak mungkin dapat dipisahkan dengan politik, terutama dengan masyarakat yang sedang membangun, pembangunan merupakan keputusan politik, dan pembangunan membutuhkan legalitas dari sektor hukum.[51] Dalam hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum.
Dalam kaitan kondisi politik dan hukum, Philippe Nonet dan Philip Selznick mencetuskan suatu teori mengenai tiga keadaan dasar hukum dalam masyarakat, yaitu:
a.       Hukum represif, yaitu hukum yang merupakan alat kekuasaan represif. Hukum represif banyak mengandalkan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada di pihak rakyat. Pada umumnya, hukum represif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik, hukum diidentikkan dengan raison d’etat.
2)      Perspektif resmi mendominasi segalanya. Penguasa cenderung mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
3)      Kepentingan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan di mana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya, apabila keadilan semacam itu memang ada, adalah terbatas.
4)      Badan-badan khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat-pusat kekuasaan yang bebas.
5)      Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan kelas dengan mengonsolidasikan dan mengesahkan pola-pola subordinasi sosial.
6)      Hukum dan otoritas resmi digunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.[52]
b.      Hukum otonom, yaitu hukum sebagai pranata yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritasnya sendiri. Ciri-cirinya adalah:
1)      Hukum terpisah dari politik. Kemandirian badan peradilan dan terdapat garis tegas fungsi-fungsi legislatif dan yudikatif.
2)      Tertib hukum mendukung “model peraturan”(model of rules). Ia membatasi kreativitas institusi-institusi hukum maupun resiko campur tangan lembaga-lembaga hukum dalam wilayah politik.
3)      “Prosedur adalah jantung hukum”. Keteraturan dan keadilan (fairness) merupakan tujuan utama dan kompetensi utama dari tertib hukum.
4)      “Ketaatan pada hukum”.
c.       Hukum responsif, yaitu hukum yang merupakan sarana respons atas kebutuhan-kebutuhan dari aspirasi masyarakat. Karakteristiknya adalah:
1)      Dinamika perkembangan hukum meningkatkan otoritas tujuan dalam pertimbangan.
2)      Tujuan membuat kewajiban hukum semakin problematik, sehingga mengendurkan klaim hukum terhadap kepatuhan dan membuka kemungkinan bagi suatu konsepsi tatanan semakin tidak kaku dan semakin bersifat perdata.
3)      Hukum memiliki keterbukaan dan fleksibilitas.
4)      Di dalam lingkungan yang penuh tekanan, otoritas yang berkelanjutan dari tujuan hukum dan integritas dari tatanan hukum tergantung pada model institusi hukum yang lebih kompeten.[53]
Ketiga tipe hukum tersebut harus dilihat sebagai berkaitan satu sama lainnya di dalam suatu urutan perkembangan. “Hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif tidak merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda satu sama lainnya, dapat juga diartikan sebagai tahap-tahap evolusi di dalam hubungan hukum dengan tata politik dan tata sosial. Masing-masing tipe hukum berhubungan dengan suatu problem lain dalam tata sosial.
Dalam hukum represif tata tertibnya sendiri yang menarik semua perhatian. Hukum otonom mempermasalahkan problem legitimasi dari pada tata tertib sosial. Legitimasi ini di dasarkan atas ide bahwa tata tertib sosial dapat dibuat sah apabila penggunaan kekuasaan diletakan di bawah pengawasan dari prinsip-prinsip konstitusional, prosedur-prosedur formal, dan institusi-institusi peradilan yang bebas. Ini pada dasarnya adalah adalah cita-cita kekuasaan yang berdasar hukum yang klasik liberal.
Dalam hukum responsif pada akhirnya yang dipermasalahkan adalah tujuan tata tertib sosial. Tipe hukum ini berasal dari suatu hasrat untuk membuat hukum lebih bertujuan di dalam melayani manusia dan institusi untuk mencapai, tidak hanya keadilan yang formal, tetapi juga keadilan yang substantif. Model perkembangannya dilandasi suatu dinamika dari dalam yang mendorong hukum represif ke arah hukum otonom, dan hukum otonom ke arah hukum responsif.
Dalam hal ini setiap tipe hukum yang lebih rendah akan berhadapan dengan problem-problem yang tidak dapat dipecahkannya, kecuali ia bergerak ke suatu tingkat yang lebih tinggi. Hukum represif, misalnya tidak bisa memecahkan problem legitimasi selam ia tetap bersifat refresif; ia hanya mampu memecahkannya apabila ia menjadi hukum otonom. Namun kelemahan utama dari hukum otonom terletak di dalam tendensinya ke arah formalisme hukum, yang akan mengurangi relevansi hukum untuk pemecahan problem, dan yang akan membuatnya tidak peka terhadap tuntutan-tuntutan keadilan sosial.
Hukum otonom hanya akan mampu mengatasi kelemahan ini bila ia menjadi lebih “responsif”. Lagi pula, penggunaan hukum sendiri menggerakan suatu dinamika dari perkembangan. Seorang penguasa yang kuat dapat mengeluarkan aturan-aturan sebagai saran kekuasaannya, akan tetapi ia tidak akan dapat memaksa semua rakyatnya untuk patuh setiap waktu. Dia akan memperoleh tambahan kredibilitas dan aturan-aturannya akan memperoleh tambahan legitimasi serta menarik kemauan untuk menurut sendiri secara sukarela, bilamana aturan tersebut adil, bilaman ia sendiri merasa terikat oleh aturan-aturan tadi, dan bilamana terdapat pengadilan yang tidak berpihak yang akan menerapkan aturan dan memberikan keputusan dalam pertikaian dan kejahatan secara tidak berpihak.[54]


D.    Hierarki Berlakunya Peraturan Perundang-undangan
UUD 1945 pada periode pertama berlaku antara bulan Agustus 1945 samapi dengan 1949, kemudian pada periode kedua berlaku pada tanggal 5 juli 1959 sampai dengan 19 Oktober 1999, dan periode ketiga berlaku sejak Perubahan Pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999 sampai saat ini hanya menetapkan tiga jenis peraturan, yang disebut undang-undangan, peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU), dan Peraturan Pemerintah, yang masing-masing dirumuskan dalam pasal-pasal sebagai berikut.
Pasal 5 ayat (1) sebelum Perubahan UUD 1945:
Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dan kemudian diubah menjadi:
Pasal 20 sesudah Perubahan UUD 1945:
1)    Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
2)    Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
3)    Jika merancang undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
4)    Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
5)    Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut dusetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundang-undangkan.

Pasal 22 ayat (1), - sebelum dan sesudah Perubahan UUD 1945:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, dan.
Pasal 5 Ayat (2)- sebelum dan sesuadah Perubahan UUD 1945:
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagai mana mestinya.


1.      Hierarki Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan UU No. 1 tahun 1950

Hierarki peraturan perundang-undangan mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-undang No. 1 tahun 1950 yaitu peraturan tentang jenis dan bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah pusat, yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950.
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1950 dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1: Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a.       Undang-undang dari Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang.
b.      Peraturan Pemerintah.
c.        Peraturan Menteri.
Pasal 2: Tingkat kekuatan peraturan-peraturan pemerintah pusat ialah menurut urutannya pada pasal 1.
Beradasarkan rumusan dalam pasal 1 dan pasal 2 tersebut, dapat disimpulkan bahwa Peraturan Menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan, yang terletak di bawah peraturan pemerintah. Kedudukan peraturan menteri yang terletak di bawah Peraturan Pemerintah (dan bukan dibawah keputusan Presiden) secara hierarkis dapat dimengerti, oleh karena Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menganut sistem parlementer, sehingga Presiden hanya bertindank sebagai Kepala Negara dan tidak mempunyai kewenangan untuk membentuk keputusan yang bersifat mengatur.

2.      Hierarki Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966

Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, Tidak disinggung hal-hal mengenai garis-garis besar tentang kebijakan hukum Nasional. Tetapi ketetapan MPR ini menentukan antara lain mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia, Yaitu Pancasila yang dirumuskan sebagai sumber dari segala sumber Hukum, dan mengenai tata urutan peraturan perundangan Republik Indonesia.
Dalam Ketatapan MPRS tersebut diuraikan lebih lanjut dalam lampiran I bahwa perwujudan sumber dari segala sumber hukum Republik Indonesia adalah:
a.       Peroklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
b.      Dekrit 5 Juli 1959.
c.       Undang-undang Dasar Proklamasi.
d.      Surat Perintah 11 Maret 1966.
Selain itu, dalam Lampiran II tentang “Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945” dirumuskan sebagai berikut:
a.       Bentuk-bentuk Paraturan Perundangan.
1)      Bentuk-bentuk peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-undang Dasar 1945 ialah sebagai berikut:
·         Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
·         Ketetapan MPR,
·         Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
·         Undang-Undang.
·         Peraturan Pemerintah,
·         Keputusan Presiden.
Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
·         Peraturan Menteri,
·         Intruksi Menteri,
·         Dan lain-lainnya.
2)      Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam penjelasan autentik undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Dasar Republik Indonesia Adalah bentuk peraturan perundangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan-peraturan bawahan dalam Negara.
3)      Sesuai pula dengan prinsip Negara Hukum, maka setiap peraturan perundangan harus bersumber dan berdasar dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya.
b.      Urutan Undang-undang.
1)      Undang-undang Dasar.
Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal Undang-undang Dasar adalah ketentuan-ketentuan yang tertinggi tingkatnya yang pelaksanaannya dilakukan dengan ketetapan MPR, Undang-undang atau Keputusan Presiden.
2)      Ketetapan MPR.
a)      Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif dilaksanakan dengan undang-undang.
b)      Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dilaksanakan dengan keputusan Presiden.
3)      Undang-undang.
a)      Undang-undang adalah untuk melaksanakan Undang-undang Dasar atau Ketetapan MPR.
b)      Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan-peraturan sebagai pengganti Undang-undang.
(1). Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetjuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(2). Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
4)      Peraturan Pemerintah.
Peraturan pemerintah adalah memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan undang-undang.
5)      Keputusan Presiden.
Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Dasar yang bersangkutan, Ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau Peraturan Pemerintah.
6)      Peraturan-peraturan Pelaksanaan Lainnya.
Peraturan-peraturan Pelaksanaan Lainnya:
Peraturan Menteri, Instruksi Manteri dan lain-lainnya, harus dengan tegas berdasar dan bersumber pada peraturan perundangan yang lebih tinggi
Dengan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 juga mengakui adanya suatu sistem norma hukum yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, di mana suatu norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan diakui pula adanya norma tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi norma-norma dibawahnya seperti Grundnorm dalam teorinya Hans Kelsen dan Staatfundamentalnorm dalam teorinya Hand Nawiasky.
Norma-norma hukum yang berlaku dalam sistem norma menurut Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 adalah berturut-turut Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, peratururan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan-peruturan Pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya.

3.      Hierarki Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan ketetapan MPR No. III/MPR/2000.

Dalam konsideran Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan antara lain dirumuskan sebagaimana berikut:
a.       Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan atas hukum perlu mempertegas sumber hukum yang merupakan pedoman bagi penyusunan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia;
b.      Bahwa untuk dapat mewujudkan supremasi hukum perlu adanya aturan hukum yang merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan tata urutannya;
c.       Bahwa dalam rangka memantapkan perwujudan otonomi daerah perlu menempatkan peraturan daerah dalam tata urutan peraturan perundang-undangan;
d.      Bahwa Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia berdasarkan ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 menimbulkan kerancuan pengertian, sehingga tidak dapat lagi dijadikan landasan penyusunan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan beberapa alasan tersebut, dan berdasarkan Putusan Rapat Paripurna ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sedangkan Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, telah ditetapkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPRGR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundangan Republik Indonesia.
Masalah hierarki peraturan perundang-undangan menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1:
1)      Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk menyusun peraturan perundang-undangan.
2)      Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.
3)      Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuaan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh oleh hikmat kebijaksanaan dalam permsyawaratan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945.

Pasal 2:
Tata urutan peraturan Perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawah ini;
Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1)      Undang-undang Dasar 1945.
2)      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
3)      Undang-undang.
4)      Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang (PERPU).
5)      Peraturan Pemerintah.
6)      Keputusan Presiden.
7)      Peraturan Daerah.
Pasal 3:
1)      Undang-undang dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
2)      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia merupakan putusan majelis Permusyawaratan Rakyat pengemban kedaulatan rakyat yang ditapakan dalam sidang-sidang Majelis permusyawaratan Rakyat.
3)      Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk melaksanakan Undang-undang Dasar 1945 serta ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
4)      Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a)      Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus diajukan ke Dewan Perwaklan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
b)      Dewan perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan tidak mengadakan perubahan.
c)      Jika ditolak dewan Perwakilan Rakyat, peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus dicabut.
5)      Peraturan pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang.
6)      Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan.
7)      Peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum yang diatasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.
a)      Peraturan daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama gubernur.
b)      Peraturan daerah kabupaten / kota dibaut oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/ kota bersama bupati/ walikota..
c)      Peraturan desa atau yang setingkat. Dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang setingkat. Sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten/ kota yang bersangkutan.

Pasal 4:
1)      Sesuai dengan urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi.
2)      Peraturan atau keputusan Mahkamah Agung, badan Pemeriksa keuangan, menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ini.

Peraturan tentang hierarki peraturan perundang-undangan dalam ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan, tidak dapat dilepaskan dengan keempat pasal diatas. Oleh karena ketentuan dalam keempat pasal tersebut sangat erat kaitannya. Selain itu, berdasarkan keempat pasal tersebut terdapat permasalahan yang sangat mendasar, sehingga memerlukan kajian dan pemahaman yang bebar terhadap ketentuan yang dirumuskan didalamnya dan prektek ketatanegaraan yang berlaku di Negara Republik Indonesia, khusunya dalam sistem perundang-undangan.

4.      Hierarki Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan UU No. 10 tahun 2004.
Setelah selesainya perubahan keempat Undang-undang Dasar 1945 dan ditetapkannya ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan setatus hukum ketetapan majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, maka Dewan Perwailan Rakyat mengajukan rancangan undang-undang tentang tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Setelah melalui proses pembahasan, rancangan undang-undang tersebut kemudian disahkan dan diundangkan menjadi Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan Perundangan-undangan, yang dinyatakan muali berlaku pada tanggal 1 November 2004.
Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan pula tentang jenis dan hierarki peraturan perundangan-undangan dalam pasal 7. yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 7:
1)      Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a)      Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b)      Undang-undang/Peraturan Pemerintahan Pengganti undang-undang;
c)      Peraturan Pemerintah
d)     Peraturan Presiden
e)      Peraturan Daerah.
2)      Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a)      Peraturan Daerah Provinsi dibaut oleh dewan perwakilan rakyat daerah perwakilan rakyat daerah provinsi bersama gubernur;
b)      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati walikota;
c)      Peraturan desa/peraturan yang setingkat, diabuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/peraturan yang setingkat diatur dengan perundangan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
4)      Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
5)      Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dalam penjelasan pasal 7 dinyatakan bahwa ayat (1), ayat (2) huruf b dan huruf c, serta ayat (3) adalah “Cukup jelas”, sedangkan ayat-ayat yang lainnya diberi penjelasan sebagai berikut:
Ayat (2): Huruf a: termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.
Ayat (4). Jenis peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikelaurkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dewan Perwakilan Rakyat, dewan perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa keuangan, Bank Indonesia, menteri, Kepala badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota, Bupati/ Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Dalam hal pemberlakuan hukum, hukum ketatanegaraan Indonesia menganut teori berjenjang (Stufen Theory) dari Hans Kelsen. Teori tersebut mengandung ajaran- ajaran sebagai berikut:
a.       Dasar berlakunya dan legalitas suatu norma terletak pada norma yang yang ada di atasnya (dari bawah ke atas), atau
b.      Suatu norma yang menjadi dasar berlakunya dan legalitas norma yang ada di bawahnya (dari atas ke bawah)
c.       Secara acak, diambil dua norma saja, bisa dari bawah bisa dari atas atau dari atas ke bawah seperti pada uraian pada huruf a dan b di atas.
Hierarki Peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara terperinci meliputi:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.       Peraturan Pemerintah;
d.      Peraturan Presiden;
e.       Peraturan Daerah.
Teori berjenjang ini kemudian menimbulkan asas hukum lex supperiori derogat lex inferiori (hukum yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya). Nampak jelas bahwa ditetapkan jenis-jenis peraturan perundang undangan dengan tidak memasukkan Tap MPR sebagai peraturan perundang undangan dan Peraturan Daerah merupakan peraturan perundang undangan yang paling bawah, sehingga keberadaannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berada di atasnya. Jika bertentangan, ia dapat dibatalkan demi hukum. Menurut ketentuan pasal 1 angka 8 Undang-Undang nomor 10 tahun 2004, Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Jenis dan hierarki Peraturan Daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e, meliputi:
a.       Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah propinsi bersama dengan gubernur.
b.      Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/ kota bersama bupati/walikota.
c.       Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Pengakuan dan penerimaan negara terhadap keberadaan hukum syariat Islam, memerlukan format atau bentuk hukum tertentu yang disepakati bersama, dimana Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya, dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Berdasarkan prinsip lex superiore derogat lex infiriore, maka secara hirarkis peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi. Akan tetapi, dalam hukum juga berlaku prinsip lex specialis derogat lex generalis yang berarti bahwa peraturan yang khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Sudikno Mertokosumo mengibaratkan sistem hukum sebagai gambar mozaik, yaitu gambar yang dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil untuk kemudian dihubungkan kembali, sehingga tampak utuh seperti semula. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas hubungannya dengan yang lain, tetapi kait mengait dengan bagian yang lainnya. Tiap bagian tidak mempunyai arti di luar kesatuan itu. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi. Kalau sampai terjadi konflik, maka akan diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri.[55]
Istilah keluarga sistem hukum biasa dipergunakan oleh para ahli perbandingan hukum untuk menyebutkan suatu tatanan organisasional yang paling penting dalam rangka penganalisisan sistem-sistem hukum di berbagai negara di dunia. Di dunia ini biasanya dikemukakan ada tiga keluarga sistem hukum, yaitu: (1) Civil Law System; (2) Common Law System; (3) Socialist Law System. Adapun kelompok sistem hukum yang ketiga, Socialist Law System dianggap berakar pada Civil Law System. Kriteria yang lebih luas diberikan oleh Esmein (1905) dengan membedakannya ke dalam lima keluarga sistem hukum, yaitu: (1) Romanistic; (2) Germanic; (3) Anglo Saxon; (4) Slavic; dan (5) Islam. Zweigert dan Kotz (1977) mengklasifikasikannya menjadi delapan keluarga sistem hukum, yaitu: (1) Romanistic; (2) Germanic; (3) Nodic; (4) Common Law Families; (5) Socialist; (6) Far Eastern Systems; (7) Islamic Systems; dan (8) Hindu Law. Sedangkan David dan Brieley mengadopsi sistem klasifikasi berdasarkan ideologi dan teknis hukum, sehingga muncul enam keluarga sistem hukum, yaitu: (1) Romano-Germanic; (2) Common Law; (3) Socialist; (4) Islamic; (5) Hindu dan Jewish; dan (6) Far East dan Black African.[56]
Ada sejumlah faktor yang dapat dijadikan indikator untuk menggolongkan sistem hukum negara-negara tertentu menjadi satu keluarga tersendiri. Faktor-faktor tersebut meliputi:
a.       Latar belakang sejarah dan pembangunan sistem hukumnya.
b.      Karakteristik khas dari cara berpikirnya.
c.       Pranata-pranatanya yang berbeda.
d.      Jenis-jenis sumber hukum yang dikenal dan penggunaannya.
e.       Ideologinya.[57]

Membuat hukum pidana Islam masuk sebagai satu formulasi dalam sebuah peraturan Negara memang menimbulkan beberapa pertanyaan, apalagi ketika penerapan hukum pidana Islam tersebut diterapkan di Negara yang tidak memberlakukan sistem hukum pidana Islam seperti Indonesia.
Dalam kerangka membicarakan kedudukan hukum pidana Islam sebagai cabang dari hukum Islam dalam sistem hukum nasional, pada tahun 1950 dalam konferensi kementrian kehakiman di Salatiga, Hazairin telah mengemukakan pandangan beliau mengenai masalah hubungan hukum agama (Islam) dengan hukum adat. Kata Hazairin (dikutip):
“Hukum agama masih terselip di dalam hukum adat yang memberikan tempat dan persandaran baginya, tetapi sekarang kita lihat hukum agama itu bersiap hendak membongkar dirinya dari ikatan adat itu. Arti istimewanya hukum agama itu ialah bahwa hukum agama itu bagi rakyat Islam dirasakannya sebagai bagian dari perkara imannya……”[58]

Dari pernyataan tersebut, Hazairin hendak mengatakan agar berlakunya hukum Islam untuk orang Islam Indonesia tidak disandarkan pada hukum adat, tetapi pada penunjukkan peraturan perundang-undangan sendiri. Sama halnya dengan dengan berlakunya hukum adat di Indonesia berdasarkan sokongan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Muhammad Daud Ali dalam Buku Hukum Islam.[59]

Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa di Indonesia:
a.       Hukum Islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum adat.
b.      Republik Indonesia dapat mengatur sesuatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.
c.       Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum nasional Indonesia adalah sederajat dengan hukum adat dan hukum Barat.
d.      Hukum Islam menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang di samping hukum adat, bukan hukum barat dan lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam Negara Republik Indonesia.[60]
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka jelaslah bahwa formulasi hukum Islam dalam hal ini hukum pidana Islam yang dilakukan dan diserahakan pelaksanaanya kepada Mahkamah Syar’iyah berada dalam posisi legal, karena dalam UU No. 18 tahun 2001 dinyatakan bahwa Pemerintah daerah Aceh diberikan wewenang untuk membuat suatu peraturan berdasarkan sistemnya sendiri. Hal ini juga menunjukkan bahwa undang-undang ini merupakan delegasi terhadap pemerintahan Istimewa Aceh yang menggunakan dasar hukum Islam dalam menentukan ketentuan pidana.


E.     Kedudukan Qanun Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Sistem Hukum Nasional

1.      Analisis Qanun Jinayat Berdasarkan Otonomi Daerah

Aceh adalah daerah propinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
Pelaksanaan syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara yuridis berdasarkan UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah diganti dengan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No. 62, TLN 4633).
Sebagaimana telah diatur dalam pasal 31 UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Aceh menyebutkan, bahwa ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan pemerintah ditetapkan dengan peraturan pemerintah, sedangkan yang menyangkut kewenangan pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 1 ayat (8) UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, disebutkan pengertian Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Pemerintahan Aceh diberikan kekuasaan dan wewenang yang lebih dari daerah lain di Indonesia untuk membuat peraturan daerah yang disebut dengan Qanun, sebagai peraturan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan diberikan kebebasan untuk membuat Qanun sebagai pelaksanaan dari UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Qanun merupakan peraturan setingkat dengan Peraturan Daerah yang khusus dibuat sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintahan daerah, dan hal-hal yang menyangkut dengan kewenangan pemerintah yang diatur dalam undang-undang otonomi khusus ini ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pelaksanaan otonomi khusus yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada Propinsi Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan undang-undang otonomi khusus Pemerintahan Propinsi Aceh tidak perlu lagi menunggu peraturan pemerintah sebagai pedoman penyelenggaraan pelaksanaan Pemerintahan Daerah Propinsi Aceh. Qanun disebutkan setingkat dengan peraturan daerah sebagai peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tingkat daerah dibuat untuk penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Undang-undang tersebut menitikberatkan pada otonomi khusus bagi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pelaksanaannya diletakkan pada daerah Kabupaten dan Kota atau nama lain secara provisional. Menurut Undang-undang ini, Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah peraturan daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dapat menyampingkan peraturan perundang-undangan lain, dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap Qanun.[61]
Supardan Modeong menyebutkan bahwa apabila dilihat dari sudut prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan, antara Peraturan Daerah (Perda) dengan Qanun adalah sama, yaitu peraturan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Daerah bersama-sama dengan Gubernur untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka otonomi daerah. Namun ditinjau dari sudut kekuasaan, mengatur Qanun berbeda dengan mengatur Perda, karena Qanun tidak tunduk pada Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres), sedangkan Peraturan Daerah tunduk kepada dua hal tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana peraturan perundang-undangan yang lain mempunyai kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan, maka demikian sama juga halnya dengan Qanun.[62]
Pemerintah pusat berwenang melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penyelenggaraan pelaksanaan pemerintahan daerah Propinsi Aceh. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 249 UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh: “Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal 218 UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan sebagai berikut:
1.      Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintahan yang meliputi:
a.       Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah,
b.      Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

2.      Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.

Pencegahan atau pembatalan yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap dua hal yaitu;
·         Pengawasan pencegahan (preventive) dan pencegahan yang bersifat membatalkan (repressive). Pengawasan pencegahan yaitu pengawasan yang bersifat mencegah supaya pemerintah daerah tidak mengambil kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·         Pengawasan yang bersifat pembatalan/pencabutan adalah pengawasan pencabutan atau pembatalan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintahan daerah.[63]
Posisi Peraturan Daerah dengan Qanun setingkat sebagai dasar penyelenggaraan pelaksanaan pemerintahan daerah yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi, bila bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut dapat dibatalkan atau dicabut oleh Mahkamah Agung sebagai kekuasaan judicial review terhadap peraturan yang lebih rendah dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga dapat dicabut oleh pemerintah pusat terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 pasal 31 ayat (2) dinyatakan bahwa “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.” Sedangkan pengertian Qanun, dalam pasal 1 angka 8 dinyatakan “Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus”.
Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah peraturan untuk melaksanakan otonomi khusus dalam hal yang menjadi kewenangan pemerintah propinsi. Dengan demikian walaupun dari satu segi qanun adalah peraturan daerah, tetapi dari segi lain qanun tidak tunduk kepada peraturan pemerintah karena qanun berada langsung di bawah undang-undang.
Memperhatikan realitas tersebut, penulis berpendapat bahwa peran negara untuk mewujudkan dan menegaskan syariat Islam merupakan condition sine quanon karena kewajiban negara atau pemerintah adalah sangat penting untuk melaksanakan hukum Islam di seluruh wilayah yang menjadi daerah kekuasaan hukum (yurisdiksi). Dalam kontek inilah tentunya negara berfungsi untuk memberikan kesejahteraan kepada warganya, karena sebagai suatu institusi sosial bukan hanya berurusan dengan seperangkat hukum dan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan, melainkan juga menyangkut kehidupan sosial manusia sebagai warga negara.
Penerapan syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu aspek kekhususan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga menerapkan otonomi khusus dibidang syariat Islam ini diharapkan menjadi refleksi pencitraan penerapan syariat Islam untuk kemaslahatan dan kesejahteraan ummat manusia.
Qanun tersebut sama sekali tidak melanggar undang-undang yang berlaku secara nasional, dan juga tidak melanggar hak asasi manusia. Mengenai soal hak asasi manusia, semua yang masuk dalam rumusan HAM ketika dibawa ke ranah lokal, itu memerlukan penyesuaian. Dalam konteks jinayat sekarang ini juga telah disesuaikan sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan ketentuan jinayat tidak akan melanggar HAM. Pengesahan Qanun tersebut merupakan klimaks irasionalitas politik perundang-undangan nasional Indonesia, yang menggenapi praktik positivisasi agama dalam negara. Meskipun Qanun diperbolehkan secara khusus di Aceh, tapi tidak boleh menyimpang dari hukum pidana nasional. Misalnya untuk perzinaan ada aturan hukumnya pada KUHP.
Sebagaimana dalam doktrin-doktrin ilmu hukum, keberlakuan hukum secara filosofis, sosiologis dan yuridis merupakan syarat mutlak untuk dapat membentuk peraturan yang baik, namun dalam kenyataannya ada peraturan daerah yang hanya mencerminkan satu keberlakuan saja antara lain hanya mencerminkan keberlakuan secara yuridis namun mengesampingkan keberlakuan secara sosiologis dan filosofis, begitupula sebaliknya.
Qanun Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah mencerminkan keberlakuan secara yuridis karena pembentukannya didasarkan pada norma yang lebih tinggi tingkatannya dan terbentuk menurut cara yang ditetapkan sesuai wewenang propinsi Aceh sebagai daerah pelaksana otonomi khusus. Adapun secara sosiologis, dikarenakan masyarakat di Aceh memang telah menerima syariah Islam sejak dahulu dan kondisi masyarakat Aceh yang homogen tentu saja lebih mendukung pelaksanaan Peraturan Daerah syariah Islam. Selain itu penerapan syariah Islam di Aceh terkait erat dengan political expediency Pemerintah Pusat guna mempertahankan NAD (Nangroe Aceh Darussalam) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara filosofis, uqubat yang terdapat dalam Qanun Jinayat tersebut sesuai dengan maqasid syariah yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.


2.      Analisis Qanun Jinayat berdasarkan Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan

Dalam Qanun Jinayat No. 12 tahun 2003 tentang khamar dan sejenisnya, qanun nomor 13 tahun 2003 tentang maisir, dan qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum), yang menjadi landasan formil konstitusionalnya terdapat persamaan, yaitu sebagai berikut:
a.       Alquran dan Hadits
b.      Pasal 29 UUD 1945.
c.       UU No. 24 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (LN RI tahun 1956 Nomor 64, Tambahan LN Nomor 1103).
d.      UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (LN RI tahun 1981 Nomor 76, Tambahan LN Nomor 3209).
e.       UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN RI tahun 1999 Nomor 60, Tambahan LN Nomor 3839).
f.       UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (LN RI tahun 1999 Nomor 172, Tambahan LN Nomor 3892).
g.      UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (LN RI tahun 2001 Nomor 114, Tambahan LN Nomor 4134).
h.      PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (LeN RI tahun 1983 Nomor 36, Tambahan LN Nomor 3258).
i.        PP No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi vertikal di daerah (LN RI tahun 1988 Nomor 10, Tambahan LN Nomor 3373).
j.        PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (LN RI Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan LN Nomor 3952).
k.      Keppres No. 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden (LN RI Tahun 1999 Nomor 70).
l.        Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1986 tentang Ketentuan Umum Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah.
m.    Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);
n.      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 2 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4);
o.      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5).
Adapun untuk Qanun Jinayat No.12 tahun 2003 tentang khamar dan sejenisnya, terdapat tambahan landasan formil konstitusionalnya yaitu :
a.       Keppres No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
b.      Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah.
Sedangkan untuk Qanun Jinayat No. 13 tahun 2003 tentang maisir, yang menjadi landasan formil konstitusionalnya dapat dirinci antara lain:
a.       UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (LN RI Tahun 1974 Nomor 54, Tambahan LN Nomor 3040).
b.      Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (LN tahun 1981 Nomor 10, Tambahan LN Nomor 3192).
Berdasarkan landasan-landasan formil konstitusional tersebut, penulis berpendapat bahwa qanun jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara yuridis mempunyai payung hukum yang kuat. Alquran dan hadits dijadikan sebagai landasan pertama yang merupakan sumber dasar hukum Islam. Hal tersebut bersesuaian dengan falsafah Pancasila sebagaimana terdapat dalam pasal 29 UUD 1945 yang mengatur tentang agama. Kemudian mengenai wewenang yang diberikan Undang-undang untuk Aceh dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (pasal 1 UU No. 24 tahun 1956) menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU No. 22 tahun 1999 jo pasal 1 angka (7) UU No. 44 tahun 1999).
Otonomi khusus untuk melaksanakan hukum pidana Islam tersebut selanjutnya diberi payung hukum sebagaimana dalam pasal 1 angka (8) UU No.18 tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 tahun 2006. Dalam pasal tersebut disebutkan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Selanjutnya untuk mengatur tentang pelaksanaan syariat Islam tersebut, dibuatlah Perda No. 5 tahun 2000. Sebagai badan pelaksana agar hukum Islam tersebut dapat ditegakkan dipayung hukumi dengan qanun No. 10 tahun 2002 dan qanun No. 11 tahun 2002.
Landasan formil konstitusional merupakan landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid atau competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan lembaga/badan tertentu mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dasar hukum kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan. Tanpa disebutkan dalam peraturan perundangan sebagai landasan yuridis formal, suatu lembaga/badan adalah tidak berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan. Dalam hal ini, qanun jinayat Propinsi NAD telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
Di dalam landasan yuridis formal selain menetapkan lembaga/badan yang berwenang membentuk, juga secara garis besar ditetapkan proses dan prosedur penetapannya. Demikian pula dalam pembentukan qanun jinayat Aceh tersebut  ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD (Pasal 136 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) karena kalau suatu Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala Daerah tanpa disetujui oleh DPRD maka Peraturan Daerah tersebut batal demi hukum (van rechtwegenietig).
3.      Analisis Qanun Jinayat berdasarkan Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan

Dalam Qanun Jinayat No. 12 tahun 2003 tentang khamar dan sejenisnya, yang menjadi landasan materiil konstitusionalnya adalah tujuan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang sejahtera, aman, tenteram, adil dan tertib guna mencapai ridha Allah. Selain itu juga, mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya merupakan pelanggaran terhadap syariat Islam, merusak kesehatan, akal dan kehidupan masyarakat dan berpeluang timbul maksiat lainnya.
Dalam Qanun Jinayat No. 13 tahun 2003 tentang maisir, yang menjadi landasan materiil konstitusionalnya adalah di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah perlu ditetapkan suatu peraturan, sehingga dapat mencegah seseorang melakukan perjudian yang merupakan salah satu perbuatan mungkar dan dilarang dalam syariat Islam dan agama lain, serta bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan maksiat lainnya.
Dalam Qanun Jinayat No. 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum), yang menjadi landasan materiil konstitusionalnya adalah guna terwujudnya tata kehidupan masyarakat yang tertib, aman, tenteram, sejahtera dan adil untuk mencapai ridha Allah yaitu dengan melaksanakan syariat Islam. Perbuatan khalwat/mesum termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarang dalam syariat Islam dan bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masayarakat Aceh karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan zina.
Hal tersebut juga sejalan dengan landasan materiil sebagaimana diatur dalam Perda Aceh No. 5 tahun 2000, bahwa kehidupan rakyat Aceh yang religius dan menjunjung tinggi ajaran Islam, merupakan modal dalam meningkatkan peran serta masyarakat untuk mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan serta memantapkan kemampuan daerah dalam menghadapi tantangan global.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat landasan-landasan materiil konstitusional qanun jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sejalan dengan maqasid syariah yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Hal tersebut juga sesuai dengan prinsip dalam doktrin Islam “hablun min Allah wa hablun min annas”, yaitu aspek ibadah dan aspek muamalah. Dengan kata lain, realisasi prinsip kesejahteraan itu semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat.
Qanun hanya mengatur apa yang didelegasikan oleh UU No. 18 tahun 2001, dan tugasnya hanya apa yang dikuasakan, sehingga tidak serta merta digeneralisasikan setingkat dengan Peraturan Pemerintah. Secara formal yuridis, syariat Islam di Aceh telah dilaksanakakan melalui Qanun Aceh yang oleh undang-undang ditetapkan berada langsung di bawah undang-undang. Dengan kata lain pemberlakuan syariat di Aceh sekarang ini adalah dalam kerangka pelaksanaan UUD 1945, dan hirarkis perundang-undangan Indonesia, bukan semata-mata karena perintah Allah atau perintah agama. Dengan demikian Alquran dan Sunnah sebagai dalil syara’ dan di bawah itu ijtihad para ulama sebagai dasar dan landasan penulisan qanun.
Qanun-qanun jinayat tersebut dibentuk sebagai upaya preventif agar pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Efektif dalam arti hukumannya tidak memerlukan adanya penjara yang tentunya memerlukan biaya, baik biaya konsumtif maupun biaya-biaya lainnya yang timbul karena perbuatan jinayat tersebut. Efisien artinya, hukuman yang diberikan dapat langsung sock terapi kepada pelaku jinayat, karena dicambuk di hadapan khalayak ramai.
Selain memberikan efek-efek sebagaimana telah disebutkan tersebut, qanun jinayat juga merupakan bentuk nilai-nilai hukum pidana Islam yang dilaksanakan di sebuah negara yang bukan berasaskan Islam. hal tersebut sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam UUD 1945 dan sesuai dengan teori eksestensi yang berarti hukum Islam itu ada di tengah-tengah hukum Nasional.

4.      Analisis Qanun Jinayat berdasarkan Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan sebagai Negara kekuasaan (machtstaat). Sebagai negara hukum, memiliki sistem hukum yang dikenal dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional adalah sistem hukum yang mengabdi pada kepentingan nasional. Sistem hukum nasional adalah sistem hukum yang berdasarkan pada konstitusi UUD 1945. Sistem hukum nasional terdiri atas sub sistem hukum antara lain; sub sistem peraturan perundang-undangan, sub sistem legislasi, sub sistem ini memiliki fungsi masing-masing dan membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan sistem hukum.
Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional. Peraturan perundang-undangan yang dibuat berdasarkan UUD 1945 adalah bagian dari sistem hukum nasional, baik peraturan perundang-undangan itu dibuat pada skala nasional maupun skala daerah.
Pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap berlakunya Perda yang berlaku dalam UU Pemerintahan Daerah sama juga terhadap Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Posisi Qanun dengan Peraturan daerah yang berlaku berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah setingkat dan semua keputusan dan kebijakan yang diambil daerah tetap berada dalam pengawasan pemerintah pusat. Karena itu kedudukan peraturan daerah dalam tata urutan pembentukan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia telah diatur dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 tetang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:

1.      Jenis dan hiearki Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
c.       Peraturan Pemerintah
d.      Peraturan Presiden
e.       Peraturan Daerah.
Tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut dengan sendirinya menempatkan Qanun sebabagai sub-sistem dalam tata peraturan perundang-undangan nasional. Sehingga Qanun setingkat dan sebagai peraturan daerah “plus” tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya.[64]
Sebagaimana disebutkan oleh Faisal Nasution:
“Keberadaan peraturan daerah di dalam sistem hukum nasional Indonesia adalah disebabkan Indonesia sebagai negara kesatuan menganut sistem desentralisasi pemerintahan pada bagian dari wilayah negaranya. Dengan dianutnya sistem desentralisasi yang selanjutnya melahirkan asas otonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (2) UUD 1945, maka setiap pemerintahan daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan pemerintahan yang menjadi otonomi daerahnya. Dalam hal bentuk pengaturan inilah pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah”.[65]
Mengutip pendapat Jimly Asshiddiqie, apabila mengikuti pemberlakuannya Qanun, para pembuat kebijakan, pencari keadilan dan juga para pengamat hukum secara umum sudah dapat memahami bahwa pemberlakuan Qanun dalam rangka penyelenggaraan pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat menyampingkan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi, yang dalam keadaan biasa tidak dapat disingkirkan oleh peraturan daerah. Akan tetapi, sebagai konsekuensi diberikan otonomi khusus kepada Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka produk legislatif daerah ini dapat saja menyimpang dan produk eksekutif di tingkat pusat. Misalnya suatu materi Qanun yang telah ditetapkan secara sah ternyata bertentangan isinya dengan materi Keputusan Presiden yang bersinggungan dengan otonomi khusus, maka Mahkamah Agung tentu harus menyatakan bahwa Qanun itulah yang berlaku untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sedangkan Keputusan Presiden atau Peraturan Menteri berlaku secara umum di seluruh Indonesia.[66]
Berdasarkan sistem norma hukum berjenjang (stufentheory) yang dianut Indonesia, suatu produk perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan kewenangan pemerintah daerah terkait dengan otonomi daerah, maka semua kewenangan daerah, baik kewenangan yang menjadi urusan wajib dan urusan pilihan dari masing-masing pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota, dapat menjadi materi muatan peraturan daerah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.
Dalam teori perundang-undangan, Peraturan Daerah (dalam hal ini Qanun Jinayat Aceh) merupakan bagian dari peraturan karena bersifat mengatur (regeling) bukan bagian dari ketetapan atau keputusan (beschikking). Artinya, norma hukum yang dikandung dalam Peraturan Daerah adalah norma hukum umum. Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum, addressat-nya untuk umum, orang banyak, atau semua warga negara. Berbeda dengan ketetapan atau keputusan (beschikking) dimana addresat-nya tertuju pada seseorang, beberapa orang, atau perindividu. Oleh karena itu, pembatalan sebuah peraturan harus dengan instrumen peraturan. Demikian pula pembatalan sebuah ketetapan atau keputusan seharusnya dilakukan dengan ketetapan atau keputusan serupa.
Meskipun Qanun Aceh adalah produk perundang-undangan di daerah, namun ia memiliki karakteristik dan kekuasaan tersendiri. Qanun Aceh yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dapat dibatalkan oleh presiden melalui Peraturan Presiden (Perpres) bila bertentangan dengan kepentingan umum, bertentangan dengan hierarki perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan antar sesama Qanun.
Sedangkan Qanun yang mengatur tentang penyelenggaraan kehidupan masyarakat Aceh, seperti Qanun syariat Islam tidak dapat serta merta dibatalkan oleh pemerintah. Qanun Syariat dapat dibatalkan melalui mekanisme yudicial review di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berwenang melakukan uji mareti (yudisial review) terhadap peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah undang-undang seperti peraturan Pemerintah (PP), peraturan Presiden (Perpres) dan lain-lain.
Qanun Aceh juga diberi kekuatan yuridis untuk mengatur materi-materi muatan, yang tidak dapat diatur dalam peraturan daerah pada umumnya. Walaupun Qanun Aceh adalah produk peraturan perundang-undangan di daerah, namun dia diberi kekuatan untuk mengatur ancaman pidana melampaui apa yang biasanya diatur oleh peraturan daerah pada umumnya. Kekuasaan yang dimiliki Qanun Aceh untuk mengatur meteri tertentu, bukanlah sesuatu yang menyimpang atau keluar dari hukum nasional. Ia tetap menjadi bagian hukum nasional karena kekuasaan itu diberikan kepada Qanun atas perintah undang-undang.
Berdasarkan logika yuridis tersebut, dapat dipahami bahwa ketentuan hukuman cambuk misalnya, yang diatur dalam Qanun Aceh yang ada selama ini adalah bagian dari hukum nasional karena keberadaannya diperintahkan secara implisit oleh undang-undang nasional baik UU No. 18 tahun 2001 (sebelum dicabut) maupun berdasarkan UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
Jadi, secara yuridis keberadaan hukum cambuk di Aceh cukup kuat, karena memiliki landasan yuridis yaitu UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Namun yang menjadi persoalan utama adalah konstruksi teoritis hukuman cambuk di aceh yang kelihatannya sebagian kalangan menganggap belum memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Keberadaan Qanun Nanggroe Aceh Darussalam dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia merupakan bentuk pengakuan pemerintah terhadap realitas hukum di daerah. Otonomi khusus merupakan payung bagi keberadaan Qanun di Aceh dalam percaturan perundang-undangan Indonesia. Bahkan konstitusi mengamanatkan bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus.
Kemandirian dalam berotonomi tidak berarti daerah dapat membuat Peraturan Daerah atau Qanun yang terlepas dari sistem perundang-undangan secara nasional. Peraturan Daerah atau Qanun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan sistem perundang-undangan secara nasional. Oleh karena itu tidak boleh ada perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya atau kepentingan umum.
Ruang lingkup kewenangan Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam membuat Qanun Jinayat telah diberikan batasan berdasarkan undang-undang. Namun ditemukan berbagai kekhasan dalam materi muatan Qanun yang secara khusus mencerminkan berbagai potensi yang dimiliki oleh suatu daerah otonom. Materi muatan Qanun tersebut sangat dipengaruhi oleh kultur budaya dan dinamika sosial politik.

5.      Analisis Substansi Hukum yang terdapat dalam Qanun Jinayat

a.      Qanun No. 12 tahun 2003 tentang Khamar dan sejenisnya.
Menurut pendapat penulis, Qanun No. 12 tahun 2003 tentang Khamar (minuman keras dan sejenisnya), secara substantif tidak memiliki kontradiksi dengan produk perundang-undangan lainnya. Penyebutan produk perundang-undangan lain dalam konsideran qanun ini menunjukkan bahwa qanun tersebut secara materil melandaskan diri pada produk undang-undang tersebut. Keputusan Presiden No. 3 tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah, dilihat dari sudut pendelegasian kewenangan penyusunan perundang-undangan, telah mengkonfirmasi bahwa qanun khamar tidak mengalami kontradiksi dengan undang-undang lainnya.
Secara umum, materi muatan Qanun Khamar sama persis dengan isi Keppres tersebut. Perbedaan yang paling prinsip terletak pada lingkup larangannya. Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 5 Keppres No. 3 tahun 1997, disebutkan bahwa memproduksi dan mengedarkan dan mengkonsumsi masih diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Larangan mengkonsumsi juga tidak berlaku di tempat-tempat khusus, seperti hotel, bar, dan lain sebagainya. Keppres hanya tegas melarang memperjualbelikan minuman beralkohol kepada siapa saja yang masih berusia di bawah dua puluh lima tahun. Hal itu berarti, sebenarnya tidak ada larangan meminum alkohol, sejauh mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Sementara itu Qanun tentang khamar, secara tegas melarang kepada siapa saja (subyek hukum qanun, umat Islam yang berdomisili di Propinsi NAD) untuk meminum minuman beralkohol. Tidak hanya mengkonsumsi, badan hukum atau badan usaha juga dilarang memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan, dan mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya.
Larangan secara total yang diatur oleh Qanun khamar juga dibenarkan oleh Keppres No. 3 tahun 1997. Di dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa secara implisit penggunaan minuman beralkohol sepenuhnya diserahkan kepada pengaturan dan izin yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati. Dengan demikian, sekali lagi, larangan minuman beralkohol di NAD, sebagai produk politik di tingkat lokal, memiliki justifikasi yuridis dan tidak bertentangan dengan produk perundang-undangan di atasnya.

b.      Qanun No. 13 tahun 2003 tentang Maisir.
Menurut pendapat penulis, Qanun No. 13 tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) juga tidak memiliki kontradiksi materil dengan perundang-undangan lainnya. Perjudian tidak hanya dilarang di Aceh, tapi di seluruh wilayah hukum Indonesia. Di samping mencantumkan Alquran dan Sunnah sebagai landasan utama, secara tegas konsideran qanun maisir juga mencantumkan UU No. 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Tidak ada yang baru dan berbeda dari qanun ini kecuali soal jenis pidana yang ditetapkan.
Hal tersebut dapat dilihat pada definisi dan larangan perjudian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 303 ayat (3):
“Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya”.

Dalam Pasal 1 ayat (20) Qanun No. 13 tahun 2003 tentang Maisir  disebutkan:
“Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/ atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran”.

Berdasarkan dua perbandingan tersebut, tidak ada perbedaan prinsipil jenis kejahatan antara yang diatur dalam KUHP dan qanun maisir. Berbeda dengan larangan minuman beralkohol, praktik judi sama sekali tidak dibenarkan di bumi Indonesia. Bahkan pasal 1 KUHP secara tegas “menyatakan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan”.
Selaras dengan uraian tersebut. Hal serupa dapat ditemukan pada konsideran UU No. 7 tahun 1974 pada bagian “Menimbang”, sebagai berikut:
1)   Bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan Agama, Kesusilaan dan Moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, Bangsa dan Negara;
2)   Bahwa oleh karena itu perlu diadakan usaha-usaha untuk menertibkan perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju kepenghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia;

Penegasan bahwa judi dilarang di semua wilayah Indonesia hingga lingkungan yang sekecil-kecilnya sampai menuju penghapusan sama sekali merupakan tujuan yang menggambarkan bahwa kejahatan umum perjudian ini jelas tidak dikehendaki kehadirannya. Dengan demikian, kehadiran qanun tentang maisir sama sekali tidak bertentangan dengan produk hukum lainnya. Hal tersebut dapat dilihat pada konsideran Qanun No. 13 tahun 2003 tentang maisir pada bagian “menimbang”, disebutkan:
1)      Bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, antara lain di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan dan peran Ulama dalam penetapan kebijakan daerah;

2)      Bahwa Maisir termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarang dalam Syariat Islam dan agama lain serta bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan maksiat lainnya;

c.       Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).
Menurut pendapat penulis, Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum), jika dilihat dari jenis perbuatan melawan hukumnya, bukan suatu hal yang baru. Hal yang sama ditemui dalam aturan kesusilaan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam qanun tersebut, khalwat didefinisikan sebagai perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Sementara dalam KUHP, hal-hal “kecil” seperti seperti melukis, menggambar, menuliskan kata, yang dapat membangkitkan birahi seseorang dapat dipidana (lihat Bab VI tentang Pelanggaran Kesusilaan pasal 532-536) yang merupakan perbuatan a susila bahkan mendapat hukuman.
Keduanya memiliki perbedaan orientasi hukum. Perbuatan khalwat akan tetap ditindak, baik dilakukan di tempat umum (terbuka) maupun di tempat tertutup. Artinya, orientasi hukum pengaturan khalwat adalah untuk kemaslahatan dan kemanfaatan pribadi seseorang dan juga orang lain. Manfaat pribadi agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada perbuatan zina yang dilarang oleh agama dan mengakibatkan dosa dan siksa di kemudian hari. Sementara manfaat bagi orang lain adalah melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan atau perbuatan yang merusak kehormatan.
Sebagaimana dikemukakan pada pasal 3 qanun tentang khalwat, tujuan larangan khalwat salah satunya adalah melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan seperti zina. [67]
Dalam KUHP perbuatan a susila akan ditindak sebagai pelanggaran hukum ketika dilakukan di muka umum. Sementara jika dilakukan ditempat tertutup tidak lagi menjadi obyek hukum. Orientasi hukum pidana tentang pengaturan kesusilaan ini mengarah pada upaya melindungi orang lain untuk tidak terganggu atau terpengaruh oleh tindakan yang menyebabkan timbulnya birahi orang lain.
Perbandingan antara Qanun tentang khalwat dan KUHP itu menunjukkan bahwa secara materil pengaturan khalwat tidak memiliki justifikasi dari produk perundang-undangan di atasnya. Bahkan dalam konsideran qanun tersebut tidak disebutkan KUHP sebagaimana ulasan di atas, padahal KUHP juga mengatur hal serupa. Konsideran utama yang disebutkan qanun itu adalah Alquran dan Sunnah serta perda No. 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Karena itu, secara materil qanun ini hanya memiliki justifikasi syariat Islam semata, meskipun ia tetap tidak bisa dipersoalkan (uji materil) karena berdasarkan UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001, NAD ditetapkan sebagai daerah yang diperintahkan oleh hukum untuk menjalankan syariat Islam.
Pengaturan khalwat jika dihadapkan pada UU No. 9 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, mengalami kontradiksi signifikan. Hak pribadi seseorang menjadi sangat terancam akibat adanya pengaturan yang sangat longgar. Restriksi terhadap akses perempuan ke wilayah publik, sebagai sesuatu yang sangat ditentang oleh UU RI No. 7 tahun 1984, telah menjadi fakta lapangan di Aceh.
Jika di satu sisi kehadiran qanun khalwat dianggap memiliki justifikasi politik, karena ia merupakan manifestasi dari pendelegasian kewenangan dalam penyusunanan peraturan daerah, sebagaimana diatur dalam UU Otonomi Khusus, maka di sisi lain ruang untuk mempersoalkan kontradiksi yang diidap dalam qanun juga dibenarkan oleh undang-undang yang sama.


F.     Prospek Qanun Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam dalam tinjauan Politik Hukum

1.      Landasan Politik Hukum Qanun Jinayat
Landasan politik hukum yang menjadi dasar qanun jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Piagam Jakarta dengan tujuh kata di dalamnya: “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tujuh kata tersebut dicoret dan sempat berdampak pada keberlakuan hukum Islam secara legal formal di Indonesia.  Melalui periode yang berliku, Piagam Jakarta tersebut kembali menjiwai UUD 1945 sebagaimana termaktub dalam Dekrit Presiden 1959.
Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif.
Pada dasarnya pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum, kesadaran berhukum pada syariat Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam di samping kearifan lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil menawarkan konsep hukum dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan li al ‘alamin).
Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum adat dan hukum agama untuk lingkungan tertentu dan subyek hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan satu unifikasi hukum untuk beberapa bidang kehidupan. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima sebagai bagian dari tatanan hukum nasional.[68]
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa pemberian otonomi khusus kepada NAD dengan memberlakukan syariat Islam secara formal, merupakan perkembangan ke arah adopsi yang makin luas terhadap sistem hukum Islam yang bersesuaian dengan dinamika kesadaran hukum dalam masyarakat Indonesia yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan serta diwujudkan dalam esensi kelembagaan hukum yang dikembangkan dapat dikaitkan pula dengan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat filosofis dan ketatanegaraan.
Secara umum UUD 1945 mengakui dan menganut ide Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak saja ditegaskan dalam rumusan Pembukaan UUD yang menyebut secara eksplisit adanya pengakuan ini, tetapi juga dengan tegas mencantumkan ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu sebagai sila pertama dan utama dalam rumusan Pancasila. Bahkan, dalam Pasal 29 UUD 1945 ditegaskan pula bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam pasal 9 ditentukan: “bahwa setiap Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatan diwajibkan untuk bersumpah 'Demi Allah'”. Ide Ke-Maha Esaan Tuhan itu bahkan dikaitkan pula dengan ide Ke-Maha Kuasaan Tuhan yang tidak lain merupakan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam pemikiran kenegaraan Indonesia.
Prinsip Kedaulatan Tuhan itu berbeda dari paham teokrasi barat yang dijelmakan dalam kekuasaan Raja. Maka dalam sistem pemikiran ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, hal itu dijelmakan dalam prinsip-prinsipkedaulatan rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang selanjutnya akan menentukan haluan-haluan dalam penyelenggaraan negara berupa produk-produk hukum tertinggi, yang akan menjadi sumber bagi penataan dan pembinaan sistem hukum nasional. MPR-lah yang dijadikan sumber kewenangan hukum bagi upaya pemberlakuan sistem hukum Islam itu dalam kerangka sistem hukum nasional.
Dari perspektif Hukum Islam, proses pemikiran demikian dapat dikaitkan dengan pemahaman mengenai konsep 'theistic democracy' yang berdasar atas hukum atau pun konsep 'divine nomocracy' yang demokratis yang berhubungan erat dengan penafsiran inovatif terhadap ayat Alquran yang mewajibkan ketaatan kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada 'ulu al-amri'. Pengertian 'ulu al-amri' yang seringkali disalahpahami sebagai konsep mengenai 'pemimpin' (waliyu amri), justru dipahami sebagai konsep mengenai 'perwakilan kepemimpinan' atau 'para pemimpin yang mewakili rakyat (ulu al-amri). Karena itu, konsep parlemen dalam pengertian modern dapat diterima dalam kerangka pemikiran Hukum Islam, melalui mana norma-norma hukum Islam itu diberlakukan dengan dukungan otoritas kekuasaan umum, yaitu melalui pelembagaannya menjadi 'qanun' atau peraturan perundang-undangan negara.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa eksistensi hukum Islam dalam kerangka Sistem Hukum Nasional Indonesia sangat kuat kedudukannya, baik secara filosofis, sosiologis, politis, maupun yuridis. Meluasnya kesadaran mengenai reformasi hukum nasional dewasa ini justru memberikan peluang yang makin luas bagi sistem hukum Islam untuk berkembang makin luas dalam upaya memberikan sumbangan terhadap perwujudan cita-cita menegakkan supremasi sistem hukum sesuai amanat reformasi.
Sehubungan dengan itu, maka pengakuan dan penerimaan negara terhadap keberadaan subsistem hukum syariat Islam di Indonesia, memerlukan format atau bentuk hukum tertentu yang disepakati bersama. Dalam pasal 2 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan, disebutkan adanya tata urutan yang mencakup: UUD, Ketetapan MPR, Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah. Keputusan Presiden, dan Peraturan Daerah.
Dalam Pasal 2 ayat (7) Ketetapan MPR tersebut ditegaskan bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya, dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Memang benar, berdasarkan prinsip 'lex superiore derogat lex infiriore' maka secara hirarkis peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi. Akan tetapi, dalam hukum juga berlaku prinsip 'lex specialis derogat lex generalis' yang berarti bahwa peraturan yang khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. Karena itu, meskipun sudah ada peraturan yang tingkatannya lebih tinggi mengatur suatu hal, tetapi jikalau misalnya kondisi khusus daerah istimewa Aceh menghendaki ketentuan yang khusus dan berbeda, maka kekhususan itu dapat ditampung pengaturannya dalam bentuk Peraturan Daerah.
Berkenaan dengan pemberlakuan syariat Islam Aceh telah pula ditetapkan undang-undang yang bersifat khusus yan memungkinkan hal itu dilaksanakan segera. Karena itu, sejak berlakunya kebijakan otonomi daerah dan undang-undang khusus tersebut, pembentukan Peraturan Daerah yang berisi materi hukum syariat Islam sudah dapat segera dilakukan di Aceh. Tinggal lagi tugas para pakar membantu Gubernur dan para anggota DPRD di Aceh untuk menyusun agenda perancangan yang berkenaan dengan pembentukan Peraturan Daerah tersebut. Idealnya, Peraturan Daerah itu tidak lagi mengatur hukum syariat Islam dalam judul besarnya melainkan sudah mengatur hal-hal yang rinci dan spesifik.


2.      Otonomi Khusus Aceh dalam tinjauan Politik Hukum.
Dengan pemberlakuan syariat Islam dan dibentuknya lembaga Mahkamah Syar’iyah tampaknya ide tentang satu kesatuan hukum (unfikasi) itu lama-kelamaan akan kehilangan relevansinya atau runtuh dengan sendirinya.[69] Hal tersebut dapat dilihat pada adanya pluralisme dalam politik hukum nasional adalah pernyataan pada butir ke-2 TAP MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tentang Arah Kebijakan Bidang Hukum yaitu :
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.

Menurut penulis, redaksi “menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat” dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 tidak bisa lagi dipahami seperti pemahaman-pemahaman sebelumnya bahwa hukum agama dan hukum adat merupakan bahan baku pembentukan hukum nasional. Namun, lebih dari sekedar itu, kedua sistem hukum itu diakui keberadaannya dan dapat saja diberlakukan secara positif bila masyarakat menghendakinya. Sehingga pemahaman terhadap pengertian unifikasi pun dengan sendirinya mengalami pergeseran pula. Apalagi bila fenomena itu dikaitkan dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
Sebagaimana diketahui, undang-undang tersebut secara konseptual telah memberikan suasana yang dalam beberapa hal berbeda dengan era sebelumnya. Hal itu dikarenakan dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah itu mengamanatkan untuk memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk mengembangkan berbagai potensinya dan mengubah paradigma pemerintahan yang sangat sentralistik dan serba terpusat. Dijelaskan dalam kedua UU tentang Otonomi Daerah tersebut, hanya bidang-bidang yang berkaitan dengan politik luar negeri, hankam, moneter, fiskal, peradilan, dan agama menjadi wewenang pusat, sisanya dikelola di daerah.
Kendati bidang peradilan dan agama menjadi kewenangan pusat, tetapi realitas berbicara sebaliknya. Pemahaman tentang peradilan hanyalah sebatas hierarki proses peradilan semata-mata bukan materi hukumnya. Artinya, konsep otonomi daerah mengisyaratkan dan memberi wewenang kepada daerah untuk mencari penyelesaian-penyelesaian sengketa hukum alternatif yang diharapkan lebih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Inilah yang secara nyata tergambarkan dalam kasus Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam. Artinya, pemberlakuan syariah Islam di Aceh melalui pemberian status otonomi khusus, terlepas adanya unsur-unsur politis di dalamnya, adalah gambaran nyata bahwa era pluralisme hukum akan bergulir terus dan merupakan keniscayaan dari diberlakukannya otonomi daerah.
Dengan demikian, bila unifikasi selama ini diasumsikan sebagai adanya satu kesatuan hukum di seluruh wilayah Nusantara, maka setelah berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah itu, unifikasi lebih dipahami sebagai satu kesatuan wilayah hukum nasional, terutama dikaitkan dengan aspek pembinaan aparatur dan hierarki kekuasaanya. Artinya, kendati Mahkamah Syar’iyah berhak untuk mengadakan sistem peradilan tersendiri tetapi muaranya tetap ke Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta.
Berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang mempunyai budaya Islam yang kuat. penerapan dan pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan salah satu bentuk kontrak sosial yang diciptkan dari keinginan masyarakat luas yang kemudian didukung dan dikembangkan dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan atas syariat Islam sebagai imam yang mengendalikan pelaksanaan tersebut.
Implementasi syariat Islam di Aceh merupakan sebuah upaya solusi konflik sosial. Konflik sosial dan pergolakan masyarakat Aceh untuk menentang pemerintah pusat dengan tujuan untuk merdeka tersebut diimplementasikan melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintahan pusat mengeluarkan UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus sebagai solusi politik. Tindak lanjut kesepakatan damai antara pemerintah pusat dengan Aceh adalah dengan dikeluarkannya UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pemberian hak melaksanakan syariat Islam di Aceh, secara yuridis merupakan perwujudan dari UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan keistimewaan atau Otonomi Khusus Aceh.
Berdasarkan hal-hal tersebut, konfigurasi politik di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah upaya pemerintah pusat untuk meredam pemberontakan dari masyarakat Aceh/GAM yang ingin melepaskan diri dari negara Kesatuan Republik Indonesia. Apabila melihat prospek qanun jinayat ini ke depannya, penulis berpendapat seperti diraikan terdahulu pada bab-bab sebelumnya bahwa secara filosofis, sosiologis syariat Islam merupakan nilai-nilai dan kebiasaan yang sudah lama tertanam dalam tradisi masyarakat Aceh yang berakar kuat, kemudian secara yuridis telah dilindungi oleh UU NO. 44 tahun 1999, perda No. 5 tahun 2000, kemudian UU No. 18 tahun 2001, selanjutnya UU No. 11 tahun 2006, untuk materi-materinya diatur dalam qanun-qanun. Kembali kepada sebuah pernyataan dari aliran Sociological Jurisprudence yang mengatakan:
Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal akan bertahan hidup. Unsur kekal dari hukum adalah pernyataan akal yang berdasar pengalaman dan diuji oleh pengalaman juga. Pengalaman dikembangkan oleh akal, akal diuji oleh pengalaman. Sehingga hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, kemudian diumumkan dengan wibawa oleh badan pembentuk undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat. Inti ajarannya adalah Living law in live.
Penulis memahami bahwa  Hukum positif yang baik dan karenanya efektif, adalah hukum positif yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup didalamnya, agar hukum positif yang berlaku di Indonesia tetap efektif dalam menghadapi perubahan dan perkembangan dinamika masyarakat haruslah menjadi hukum yang hidup di masyarakat dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi di Aceh saat ini.
Jadi, menurut penulis prospek qanun jinayat ini ke depannya akan bertahan dan berkembang karena sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 serta undang-undang lainnya, juga didukung dengan hukum yang hidup dalam masyarakat Aceh.






[1]J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York: New York University Press, 1975), h. 82 – 83 dalam tulisan “Studi Kritis terhadap pemberlakuan Syariat Islam sebagai Hukum Materiil dan Pembentukan Mahkamah Syar’iyah sebagai Lembaga Peradilan Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam”, disajikan sebagai bentuk partisipasi dalam kegiatan pemilihan peneliti remaja VI tahun 2007 yang diselenggarakan oleh LIPI.
[2]Lihat Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Lihat juga Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta, Rajawali Pers: 2009), h. 52-53.
[3]Realitas hukum kita di Indonesia, memberlakukan beberapa hukum di Indonesia, yaitu: Hukum Perundang-undangan (Ciri Eropa Continental), Hukum Adat (Customary Law), Hukum Islam (Moslem Law), dan Yurisprudensi Hakim. Sehingga para pakar hukum modern memasukkan Indonesia ke dalam Mix Law System atau Sistem Hukum Campuran. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum(Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana: 2009), h. 204.
[4]Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Segi tentang Prinsip-Prinsip dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 150-152.
[5]Hatta mengusulkan pengubahan rancangan Pembukaan UUD 1945. Hal ini dilakukan karena menerima keberatan dari kalangan rakyat Indonesia timur, tentang rumusan kalimat dalam Piagam Jakarta “dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Sehingga pada pertemuan bersejarah tersebut kemudian disetujui dengan melalui suatu kesepakatan yang luhur menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
[6]M. Sularno, Syariat Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia, Al-Mawardi, XVI, (2006), h. 211-212.
[7]Ibid.
[8]Al-Yasa’ Abu Bakar, Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005), h. 84.
[9]LIPI, Studi Kritis terhadap Pemberlakuan Syariat Islam sebagai Hukum Materiil dan Pembentukan Mahkamah Syar’iyah sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam, makalah dibuat sebagai bentuk partisiapasi dalam kegiatan pemilihan peneliti remaja VI tahun 2007, h. 1.
[10]Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Asas lex specialis derogaat lex generalis mempunyai arti bahwa peraturan yang khusus mengenyampingkan yang umum. Perlu dipikirkan kembali sejauh mana atau batasan-batasan dari suatu qanun sehingga dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan lain.  
[11]Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Logos, 2003), Cet. I, h. 152.
[12]Harith Suleiman Faruqi, Faruqi’s Law Dictionaru English-Arabic, ed. IV, (Beirut: Librarie Duliban, 1991), h. 415.
[13]Yan Paramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, (Jakarta: Aneka Semarang, 1997), h. 916.
[14]HA. Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru van Hoeve, FIKIMA, 1997), h. 571.
[15]Elizabeth A. Martin (editor) a Dictionary of Law, (New York: Oxford University Press, Â Fourth Edition, 1997), h. 259.  
[16]Indonesia, Tap MPR RI, Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999 beserta Perubahan Pertama atas UUD Negara RI Tahun 1945, (Jakarta: BP Panca Usaha. 1999) hal. 64.
[17]Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang Kusut), (Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), h. 5 dan 11.  
[18]Ismail Suny, Sekitar UUPA ((Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 114.
[19]Arskal Salim, “Pluralisme Hukum di Indonesia: Keberadaan Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional”, Harmoni, (Oktober – Desember, 2008,) h. 19.
[20]Ibid.
[21]Ibid, h. 21-22.
[22]Reza Fikri Febriansyah, makalah, Eksistensi Hukum Islam dalam Struktur Hukum Nasional Indonesia”, http// www.legalitas.org/2011/01/20.
[23] Secara Hierarki Produk hukum di bawah konstitusi (UUD 1945) dapat berupa: Undang-Undang (UU), PP Pengganti Undang-undang (Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (perda). Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10. Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[24]Suparman Ustman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 111. 
[25]Iehtijanto, “Pengembangan Teori berlakunya hukum Islam di Indonesia”, dalam  Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. ke-2, h. 137. 
[26]Ibid.
[27]Muchsin, “Kontribusi Hukum Islam terhadap Perkembangan Hukum Nasional”, Makalah, h. 18. t.d.
[28]Arskal Salim, “Pluralisme Hukum di Indonesia: Keberadaan Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional”, op. cit, h. 26.
[29]Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 tentang  Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, pasal 4 ayat (2): Pengujian Materiil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 4 ayat (3): Pengujian Formil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan  undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Kata “hal-hal lain” dapat berarti luas yaitu mencakup “menimbang”, “mengingat”, salah ketik, salah format, dan lain-lain.  
[30]Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill-co, 1992), h.17.
[31]Ibid, h. 12.
[32]Tim Peneliti Universitas Hasanuddin, hasil penelitian, Esensi dan urgensitas peraturan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan Universitas Hasanuddin, 2009, h. 31.
[33]Astim Riyanto, makalah, “Teknik Perancangan Peraturan Perundang-undangan”, disajikan dalam Pelatihan Kesekretariatan Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 28 Januari 2009 di Bandung, h. 5. 
[34]Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 88 – 89.
[35]Attamimi dalam Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis diserati Manual) Konsepsi Teoritis menuju Artikulasi Empiris, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), Cet. ke-2, h. 25. 
[36]Tim Peneliti Universitas Hasanuddin, hasil penelitian, Esensi dan urgensitas peraturan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, op.cit, h. 32.
[37]Bagir Manan dalam Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis diserati Manual) Konsepsi Teoritis menuju Artikulasi Empiris, op.cit, h. 6.
[38]Ibid, h. 24.
[39]Bagir Manan dalam Tim Peneliti Universitas Hasanuddin, hasil penelitian, Esensi dan urgensitas peraturan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, op. cit, h. 32.
[40]Widodo Ekatjahjana, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dasar-dasar dan Teknik Penyusunannya, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), h. 20.
[41]Astim Riyanto, makalah, “Teknik Perancangan Peraturan Perundang-undangan”, op. cit, h. 7.
[42]Tulisan Machmud Aziz dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vo.6 No.3 – September 2009, h. 591-593
[43]Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, (sebuah sketsa), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2003), Cet. II, h. 75. Lihat juga Agus Brotosusilo, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1986), h. 6.
[44]Attamimi dalam Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis diserati Manual) Konsepsi Teoritis menuju Artikulasi Empiris, op.cit, h. 17.
[45]Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis diserati Manual) Konsepsi Teoritis menuju Artikulasi Empiris op. cit, h. 11.
[46]Sri Wahyuni, “Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam)”,  Jurnal Mimbar Hukum, No. 59, Th. XIV, (al-Hikmah, 2003), h. 74. 
[47]Jazuni, Legislsi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), h. 9-10. 
[48]Tjuk Wirawan, Politik Hukum di Indonesia, (Jember: UPT Unej, 2004), h. 8. 
[49]Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 1-2. 
[50]Zainal Abidin Abu Bakar, “Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum, No. 9, Thn. IV, (Jakarta: Al-Hikmah, 1993), h. 56. 
[51]Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Sosiologis dan Filosofis), (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 2002), h. 99.
[52]Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, (New York; Harper and Raw Publisher, 7978), h. 29 – 52 dalam Ibid, h. 3.
[53]Ibid, h. 3 – 4.
[54]Sunarmi, makalah, “Membangun sistem peradilan di Indonesia”, http://www. library.usu.ac.id/download/fh/perdata-sunarmi3.pdf/2011/02/14.
[55]Sudikno Mertokusomo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1991), Edisi 3, h. 102 – 103.
[56]Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung: CV. Utomo, 1999), h. 162 – 163.
[57]Ibid.
[58]Konferensi pers kementrian kehakiman tahun 1950 dalam makalah, “Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah Dibuat sebagai Bentuk Partisiapasi dalam Kegiatan Pemilihan Peneliti Remaja VI Tahun 2007 yang Diselenggarakan oleh LIPI, h. 8.
[59]Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 235-236.
[60]Ibid.
[61]Lihat selengkapnya pada klausul penjelasan Umum UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
[62]Supardan Modeong, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, (Jakarta: Perca, 2003), h. 69.  
[63]Hanif  Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: Media Press, 1999), h. 27.  
[64]Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, 2002), h. 9. 
[65]Faisal Akbar Nasution, Peluang Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Syariah dalam Sistem Hukum Tata Negara Republik Indonesia, makalah disampaikan pada Komisi Fadwa Majelis Ulama Indonesia Propinsi Sumatera Utara, Muzakarah Ilmiah Rutin, Edisi Khusus Ramadhan 1427 H/2006 M. Medan 08 Oktober 2006.   
[66]Jimly Asshiddiqie, Reformasi dan Reposisi Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, (Jakarta: UI Press, 2000), h. 29.  
[67]Lihat pasal 3 huruf b Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).
[68]Todung Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional dan RUUPA (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), (Jakarta: Pustaka Antara, 1990, h. 107. 
[69]Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 128.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kamis, 19 Juli 2012

Menghitung Perbedaan Waktu antar Tempat

PERBEDAAN WAKTU ANTAR TEMPAT

Rumus :

Wa      = Wb + ( Ba – Bb ) : 15
                                                                              
Keterangan :
W        = Waktu setempat
B         = Bujur Tempat
a          = Kota yang akan dicari waktunya
b          = Kota yang diketahui waktunya

P    Lintang     : Jarak suatu tempat di ukur dari Khatulistiwa. Max 90derajat
l        Bujur         : Jarak suatu tempat di ukur dari Greenwich. Max 180derajat

Waktu   terbagi 3:
  1. Waktu setempat ( Bujur tempat masing-masing kota).  
  2. Waktu daerah ( WIB, WITA, WIT ) Bujur Standar Zona
  3. GMT ( Bujur 00  )

Bujur standar :
 WIB    : 105
WITA  : 120
WIT     : 135

Contoh  :
Banjarmasin jam 10.00 WITA. Jam berapakah di kota Mekkah ?

Diketahui        :
Banjarmasin    :
P    =  -3 22’    
l        = 114 40’ BT
Mekkah           :
P   = 21 25’ 
l        =  39 50’ BT

Rumus :
Wa       = Wb + ( Ba – Bb ) : 15
            = 10.00 + ( 390 50’ – 1140 40’ ) : 15
            = 10.00 + ( -740 50’ ) : 15
            = 10.00 + ( -4 J 59 M 20 D )
            = 5 J 0 M 40 D Waktu Mekkah ( 05.00.40 )

Catatan : daerah di sebelah Timur lebih dahulu siang

Cara menentukan waktu Ijtima' secara manual


Mencari waktu ijtima' untuk menentukan awal bulan Ramadhan 1433 H

1.      Menghitung perkiraan ( hisab urfi ) akhir Sya’ban 1433 H
Tanggal 29 Sya’ban 1433 H
Waktu yang telah dilalui sebanyak 1432 tahun, lebih 7 bulan, lebih 29 hari.
1432 tahun : 30 tahun = 47 daur lebih 22 tahun 7 bulan 29 hari
47 daur     = 47 x 10.631 hari                               = 499.657 hari
22 tahun   = 22 x 354 + 8 hari*                              =     7.796 hari
7 bulan     = (30 x 4) + (29 x 3)                            =        207 hari
29 hari                                                                  =          29 hari +
Jumlah                                                                  = 507.689 hari
Selisih kalender Masehi – Hijriyah                      = 227.016 hari
Anggaran baru Gregorius                                     =          13 hari +
JUMLAH                                                             = 734.718 hari
507.689 : 7 = 72.527, sisa 0 =  Kamis ( dihitung mulai hari Jum’at )**
507.689 : 5 = 101.537, sisa 4 = Wage ( dihitung mulai Legi )***
734.718 : 1.461    = 502 siklus lebih 1296 hari
502 siklus             = 502 x 4 tahun                       = 2008 tahun
1296 hari              = 1296 : 365                            = 3 tahun lebih 201 hari
201 hari                = 201: 30****                         = 6 bulan lebih 19 hari
Waktu yang dilewati = 2008 tahun + 3 tahun + 6 bulan + 19 hari atau 2011 tahun 6 bulan 19 hari. Waktu yang berjalan 19 hari 7 bulan 2012 tahun. Jadi 29 Sya’ban 1433 H bertepatan dengan tanggal 19 Juli 2012 M (Kamis Wage)

2.      Menghitung saat Ijtima’ akhir sya’ban 1433 H (19 Juli 2012 M)
a.         FIB terkecil pada tanggal 19 Juli 2012 adalah 0,00127 pada pukul 04.00 GMT.
b.         ELM ( Thul al- Syamsi) pada pukul 4 GMT =  116o 53’ 46’’
c.         ALB ( Thul al- Qamar) pada pukul 4 GMT             =  116o 41’ 19’’
d.        Sabaq Matahari per jam :
ELM pada pukul 04.00 GMT                          =  116o 53’ 46’’
ELM pada pukul 05.00 GMT                          =  116o 56’ 09’’  -
Sabaq Matahari (SM)                                       =      0o 02’ 23’’
e.         Sabaq Bulan perjam  :
ALB pada  pukul 04.00 GMT                          =  116o 41’ 19’’
ALB pada pukul 05.00 GMT                           =  117o 13’ 06’’  -
Sabaq Bulan (SB)                                             =      0o 31’ 47’’
f.          Mencari saat Ijtima’ dengan rumus :
Jam FIB (GMT) + ELM – ALB + 08:00 (WITA)
                                             SB – SM
04.00 + 116o 53’ 46’’ - 116o 41’ 19’’ + 08:00 (WITA)
              0o 31’ 47’’ - 0o 02’ 23’’

04.00 + (0o 12’ 27”) + 08:00 (WITA)
               0o 29’ 24’’
04.00 + 0o 25’ 24,49’’ + 08:00 (WITA) =  12: 25 : 24,49 WITA ( 19 Juli 2012)

Jadi, saat Ijtima’ tanggal 19 Juli 2012 pada pukul  12:25:24,49 WITA

*) Tahun kabisat ini terdapat pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan ke 29 dari keseluruhan siklus kabisat selama 30 tahun
**) 1= Jum'at, 2= Sabtu, 3= Minggu, 4= Senin, 5= Selasa, 6= Rabu, 7= Kamis, 0= Kamis
***) 1= Legi, 2= Pahing, 3= Pon, 4= Wage
****) seharusnya sisanya adalah 21 hari, namun dalam enam bulan pd tahun 2012 ini terdapat: Januari, Maret, Mei, masing-masing berjumlah 31 hari= 31x3= 93. Februari= 29, April dan Juni = 30x2= 60. jumlahnya 93+29+60= 182..jadi, 201-182= 19 hari.

Hisab dalam Ilmu Falak...disalin dari www.falakiyah.wordpress.com

Terdapat banyak metode hisab (sistem hisab) untuk menentukan posisi bulan, matahari dan benda langit lain dalam ilmu Falak. Sistem hisab ini dibedakan berdasarkan metode yang digunakan berkaitan dengan tingkat ketelitian atau hasil perhitungan yang dihasilkan.

a. Hisab Urfi (`urf = kebiasaan atau tradisi) adalah hisab yang melandasi perhitungannya dengan kaidah-kaidah sederhana. Pada sistem hisab ini perhitungan bulan komariyah ditentukan berdasarkan umur rata-rata bulan sehingga dalam setahun komariyah umur dibuat bervariasi 29 dan 30 hari. Bulan bernomor ganjil yaitu mulai Muharram berjumlah 30 hari dan bulan bernomor genap yaitu mulai Shafar berumur 29 hari. Tetapi khusus bulan Zulhijjah (bulan 12) pada tahun kabisat komariyah berumur 30 hari. Tahun kabisat komariyah memiliki siklus 30 tahun dimana didalamnya terdapat 11 tahun yang disebut tahun kabisat (panjang) memiliki 355 hari, dan 19 tahun yang disebut basithah (pendek) memiliki 354 hari. Tahun kabisat ini terdapat pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan ke 29 dari keseluruhan siklus kabisat selama 30 tahun. Dengan demikian kalau dirata-rata maka periode umur bulan (bulan sinodis / lunasi) menurut Hisab Urfi adalah (11 x 355 hari) + (19 x 354 hari) : (12 x 30 tahun) = 29 hari 12 jam 44 menit ( menurut hitungan astronomis: 29 hari 12 jam 44 menit 2,88 detik ). Walau terlihat sudah cukup teliti namun yang jadi masalah adalah aturan 29 dan 30 serta aturan kabisat tidak menujukkan posisi bulan yang sebenarnya dan hanya pendekatan. Oleh sebab itulah maka hisab ini tidak bisa dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan yang berkaitan dengan ibadah misalnya Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah.
b. Hisab Taqribi ( taqrobu = pendekatan, aproksimasi ) adalah sistem hisab yang sudah menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematik namun masih menggunakan rumus-rumus sederhana sehingga hasilnya kurang teliti. Sistem hisab ini merupakan warisan para ilmuwan falak Islam masa lalu dan hingga sekarang masih menjadi acuan hisab di banyak pesantren di Indonesia. hasil hisab taqribi akan sangat mudah dikenali saat penentuan ijtimak dan tinggi hilal menjelang 1 Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah yaitu terlihatnya selisih yang cukup besar terhadap hitungan astronomis modern. Beberapa kitab falak yang berkembang di Indonesia yang masuk dalam kategori Hisab Taqribi misalnya; Sullam al Nayyirain, Ittifaq Dzatil Bainy, Fat al Rauf al Manan, Al Qawaid al Falakiyah dsb
c. Hisab Haqiqi ( haqiqah = realitas atau yang sebenarnya ) menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematik menggunakan rumus-rumus terbaru dilengkapi dengan data-data astronomis terbaru sehingga memiliki tingkat ketelitian yang tinggi. Sedikit kelemahan dari sistem hisab ini adalah penggunaan kalkulator yang mengakibatkan hasil hisab kurang sempurna atau teliti karena banyak bilangan yang terpotong akibat digit kalkulator yang terbatas. Beberapa sistem hisab haqiqi yang berkembang di Indonesia diantaranya: Hisab Hakiki, Tadzkirah al Ikhwan, Badi’ah al Mitsal dan Menara Kudus, Al Manahij al Hamidiyah, Al Khushah al Wafiyah, dsb.
d. Hisab Haqiqi Tahqiqi ( tahqiq = pasti ) sebenarnya merupakan pengembangan dari sistem hisab haqiqi yang diklaim oleh penyusunnya memiliki tingkat akurasi yang sangat-sangat tinggi sehingga mencapai derajat “pasti”. Klaim seperti ini sebenarnya tidak berdasar karena tingkat “pasti” itu tentunya harus bisa dibuktikan secara ilmiah menggunakan kaidah-kaidah ilmiah juga. Namun sejauh mana hasil hisab tersebut telah dapat dibuktikan secara ilmiah sehingga mendapat julukan “pasti” ini yang menjadi pertanyaan. Sedangkan perhitungan astronomis modern saja hingga kini masih menggunakan angka ralat (delta T) dalam setiap rumusnya. Namun demikian hal ini merupakan kemajuan bagi perkembangan sistem hisab di Indonesia. Sebab sistem hisab ini ternyata sudah melakukan perhitungan menggunakan komputer serta beberapa diantaranya sudah dibuat dalam bentuk software/program komputer yang siap pakai. Beberapa diantara sistem hisab tersebut misalnya : Al Falakiyah, Nurul Anwar,
e. Hisab Kontemporer / Modern
Sistem hisab ini yang menggunakan alat bantu komputer yang canggih menggunakan rumus-rumus yang dikenal dengan istilah algoritma. Beberapa diantaranya terkenal terkenal karena memiliki tingkat keterlitian yang tinggi sehingga dikelompokkan dalam High Accuracy Algorithm diantara : Jean Meeus, VSOP87, ELP2000 Chapront-Touse, dsb. dengan tingkat ketelitian yang tinggi dan sangat akurat seperti Jean Meeus, New Comb, EW Brown, Almanac Nautica, Astronomical Almanac, Mawaqit, Ascript, Astro Info, Starrynight dan banyak software-software falak yang lain.
Para pakar falak dan astronomi selalu berusaha menyempurnakan rumus-rumus untuk menghitung posisi benda-benda langit hingga pada tingkat ketelitian yang ‘pasti /qat’i ”. Hal ini tentunya hanya bisa dibuktikan dan diuji saat terjadinya peristiwa-peristiwa astronomis seperti terbit matahari, terbenam matahari, terbit bulan, terbenam bulan, gerhana matahari, gerhana bulan, kenampakan planet dan komet, posisi bintang dan peristiwa astronomis yang lain.

Qanun Jinayat Prop. Aceh dalam Sistem Hukum Nasional


QANUN JINAYAT PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Oleh: Rasyid Rizani, S.HI., M.HI
(Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa, NTT)


A.    Latar Belakang Masalah
Secara garis besar sistem hukum di dunia dibagi menjadi tiga kelompok, di antaranya adalah: (1) sistem-sistem yang masih mengakui syariah sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya masih menerapkannya secara utuh; (2) sistem-sistem yang meninggalkan syariah dan menggantikannya dengan hukum skuler; dan (3) sistem yang mengkompromikan dua sistem tersebut.[1]
Indonesia adalah negara hukum,[2] yaitu mendasarkan semua tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara pada suatu hukum. Dalam suatu tatanan hukum tersebut terdapat suatu sistem hukum. Sistem hukum yang dianut di Indonesia merupakan Mix Law System yang mana di samping berlakunya hukum perundang-undangan juga berlaku hukum Islam.[3] Eksistensi hukum Islam termanifestasi di dalam Konstitusi Negara Indonesia yang lazim dikenal dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). UUD ini merupakan hukum dasar yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara guna terwujudnya suatu pemerintahan yang adil dan rakyat yang sejahtera.[4] Dalam kaitan kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi mengatur kehidupan beragama, yaitu sebagaimana tercantum pada alinea keempat pada Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Prinsip Ketuhanan yang ditanamkan dalam UUD 1945 oleh the founding parents merupakan suatu perwujudan akan pengakuan keagamaan.[5] Dalam perspektif Islam, hal ini memberikan pengakuan terhadap eksistensi agama Islam sebagai agama resmi dan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan Pembukaan, pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya, serta penafsiran Hazairin atas pasal 29 ayat (1) UUD 45, hukum Islam merupakan sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia. Lebih lanjut menurut penafsirannya pula, di dalam Negara Republik Indonesia tidak dibenarkan terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan hukum Islam bagi umat Islam, demikian juga bagi umat agama lain. Peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama-agama yang berlaku di Indonesia bagi umat masing-masing agama bersangkutan.[6]
Ketetapan MPR RI No. IV/MPR-RI/1999 tentang GBHN, Bab IV, Arah Kebijakan, A. Hukum, butir 2, menetapkan bahwa hukum Islam, hukum Adat, hukum Barat adalah sumber pembentukan hukum nasional.
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum Adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui legislasi.
Hukum Islam amat pantas menjadi sumber pembentukan hukum nasional, karena dinilai mampu mendasari dan mengarahkan dinamika masyarakat Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Hukum Islam mengandung dua dimensi, yakni: pertama, dimensi yang berakar pada nash qat’i, yang bersifat universal, berlaku sepanjang zaman, kedua, dimensi yang berakar pada nash zanni, yang merupakan wilayah ijtihadi dan memberikan kemungkinan epistemologis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni oleh umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara beragam, lantaran faktor sosiologis, situasi dan kondisi yang berbeda-beda.
Upaya membentuk hukum positif dengan bersumberkan hukum Islam, sebenarnya telah berlangsung lama di Indonesia, namun masih bersifat parsial, yaitu: tentang perkawinan, kewarisan, perwakafan, penyelenggaraan haji, dan pengelolaan zakat. Untuk mengupayakan pembentukan hukum positif bersumberkan hukum Islam yang lebih luas dan selaras dengan tuntutan perkembangan zaman diperlukan perjuangan gigih yang berkesinambungan, perencanaan dan pengorganisasian yang baik, serta komitmen yang tinggi dari segenap pihak yang berkompeten.[7]
Selanjutnya mengenai Islam dalam perspektif konstitusi, secara yuridis konstitusional, UUD 1945 memproteksi hak warga negara mengenai kebebasan bagi pemeluk agama Islam untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan syariat Islam. Eksistensi ideologi Islam secara expressiv verbis terdapat pada Pembukaan UUD 1945 sekaligus sebagai Pancasila yaitu, “Ketuhanan yang Maha Esa” yang terkesan mengutip ayat pada Q.S. Al-Ikhlas ayat (1) yaitu:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ  
“Katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa”.
Lebih lanjut pada pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yan tinggi yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan sifat bangsa yang percaya bahwa terdapat kehidupan lain di masa nanti setelah kehidupan di dunia sekarang. Ini memberi dorongan untuk mengejar nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka jalan bagi kehidupan yang baik di masa nanti.
Di samping itu, dalam perspektif konstitusi terdapat keseimbangan mengenai hubungan negara, hukum, dan agama. Agama sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam, terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam Pancasila.
Dalam proses sejarah terbentuknya hukum nasional Indonesia, hukum Islam merupakan salah satu elemen pendukung selain hukum adat dan hukum Barat. Hukum Islam telah turut serta memberikan kontribusi norma-norma dan nilai-nilai hukum yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen. Meskipun perlu disadari pula bahwa mayoritas kuantitas penduduk muslim di suatu negara tidak selalu dapat diasumsikan berarti juga “mayoritas” dalam politik dan kesadaran melaksanakan hukum (Islam). Kecenderungan masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan bahwa mayoritas muslim ingin semakin menegaskan diri dalam arti kekuasaan politik serta aspirasi pembentukan dan penerapan hukum yang didasarkan dan bersumber pada norma-norma dan nilai-nilai hukum Islam. Indikator yang mencerminkan kecenderungan tersebut dapat dilihat dari lahirnya peraturan perundang-undangan yang dalam ketentuan-ketentuannya menyerap jiwa dan prinsip-prinsip hukum Islam serta melindungi kepentingan umat Islam. Kecenderungan yang paling signifikan nampak dalam berbagai aspirasi umat Islam yang mengusulkan pencantuman isi Piagam Jakarta dalam UUD 1945 serta penerapan hukum pidana Islam.
Berkaitan dengan kontribusi hukum Islam dalam hukum nasional di Indonesia maka terdapat 3 (tiga) pola legislasi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:
1.      Hukum Islam berlaku untuk setiap warganegara dengan beberapa pengecualian. Pola ini dikenal sebagai pola unifikasi dengan diferensiasi (contoh: Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan).
2.      Hukum Islam diundangkan dan hanya berlaku bagi umat Islam (contoh: Undang-Undang nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh).
3.      Hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundang-undangan nasional dan berlaku untuk setiap warganegara (contoh: Undang-Undang nomor 23 tahun 1990 tentang Kesehatan).
Sepanjang abad, Aceh dikenal selain dengan pemberontakannya juga ketaatan beragamanya. Mereka berjuang melawan penjajahan Belanda, dan pada awal kemerdekaan Indonesia, mereka memberontak terhadap pemerintah pusat karena Jakarta tidak memegang janji untuk memberikan status daerah istimewa kepada Aceh. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berjuang untuk memisahkan diri dari Indonesia muncul pada tahun 1976 dan terus berlanjut maju mundur hingga ditandatanganinya perjanjian perdamaian di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Pada pokoknya pemberontakan tersebut selalu bersifat nasionalis dan pemimpin GAM tidak pernah menunjukkan ketertarikan yang serius untuk bekerja sama dengan sesama kelompok Muslim di tempat lain.
Lampu hijau untuk menerapkan hukum Islam pada tahun 1999 merupakan bagian dari sebuah upaya setelah jatuhnya Presiden Soeharto untuk mendapatkan sebuah penyelesaian politik atas konflik yang terjadi di Aceh. Hal ini lebih didasarkan atas penilaian dari elit politis Jakarta dan Aceh mengenai apa yang dapat meredam sebuah daerah yang menderita oleh konflik, pelanggaran HAM dan eksploitasi ekonomi selama bertahun-tahun. Hukum Islam mendapatkan dukungan, khususnya karena sistem peradilan biasa yang jarang sekali memberikan keadilan bagi masyarakat Aceh, sudah tidak berfungsi sama sekali akibat perang. Syariat dipromosikan sebagai sebuah obat mujarab: banyak yang berharap syariat akan mampu menghapuskan penyakit sosial, menghasilkan sebuah masyarakat yang egalitarian atau sederajat, dan meminjam kata-kata yang dipakai oleh seorang akademis, membuat rakyat Aceh menjadi "jujur, hemat, rajin belajar dan bekerja, setia, cerdas serta matang secara emosi.“[8]
Aceh adalah salah satu daerah dalam wilayah Republik Indonesia yang memiliki keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Legitimasi ini diberikan oleh pemerintah pusat untuk memenuhi harapan masyarakat Aceh yang menginginkan daerah ini berlaku hukum syariat sebagaimana dahulu kala di masa kesultanan Aceh.  Akhirnya pemerintah pusat menyetujui dengan membuat UU No. 44 tahun 1999 yang antara lain mengatur tentang syariat Islam di Aceh. Selanjutnya untuk mengatur tentang pelaksanaan syariat Islam tersebut, dibuatlah Perda No. 5 tahun 2000.
Perda No. 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam menyatakan bahwa seluruh aspek syariat akan diterapkan, termasuk yang berhubungan dengan ‘aqidah, ibadah, transaksi ekonomi, akhlak, pendidikan dan dakwah agama; baitu al-mal; kemasyarakatan, termasuk cara berbusana bagi Muslim; perayaan hari raya Muslim; pembelaan Islam; struktur peradilan, peradilan pidana dan warisan. Membentuk wilayatu al-hisbah (WH) sebagai badan pengawasan dan penegakan syariat, tetapi tidak ada perincian mengenai bagaimana ia berfungsi.
UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya UU PNAD) membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal 25 –26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syar’iyah NAD yang merupakan peradilan syariat Islam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional.
Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk agama Islam.[9] Kewenangan Mahkamah Syar’iyah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Qanun PNAD. Qanun PNAD adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan dari wewenang yang diberikan oleh UU No. 18 tahun 2001 untuk mengatur daerah dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap Qanun.[10] Mahkamah Syar’iyah tersebut terdiri dari:
  1. Makamah Syar’iyah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda sebagai pengadilan tingkat pertama;
  2. Mahkamah Syar’iyah Propinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada di ibukota Propinsi, yaitu di Banda Aceh.
Selain undang-undang ini masih ada beberapa undang-undang yang lain tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh, termasuk yang terakhir sekali disahkan yaitu UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Dalam pasal 125 ayat (1) undang-undang ini diatur bahwa syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah dan akhlak; ayat (2) syariat Islam tersebut meliputi: ibadah, ahwal al-syakhshiyyah (hukum keluarga), mu’amalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.
Qanun No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam untuk pertama kalinya memperluas jangkauan wewenang hukum pengadilan agama hingga di luar hukum keluarga dan warisan, termasuk transaksi ekonomi yang sebelumnya tidak termasuk dalam yurisdiksi pengadilan agama, dan juga kasus-kasus pidana (jinayat). Mu’amalat meliputi masalah jual beli; permodalan; bagi hasil pertanian; pendirian perusahaan; pinjam meminjam; penyitaan properti untuk membayar hutang; hipotek; pembukaan lahan; pertambangan; pendapatan; perbankan; perburuhan; dan bermacam-macam bentuk infaq dan sedekah.
Pelanggaran pidana dibagi menjadi tiga kategori. Pelanggaran hudud meliputi zina, tuduhan palsu tentang berzina; mencuri, merampok, mengkonsumsi minuman keras, kemurtadan dan pemberontakan, adalah pelanggaran yang hukumannya ditetapkan dalam Alquran. Qishash diyat berhubungan dengan masalah pembunuhan dan penganiayaan, dan biaya dari pelaku kepada keluarga korban. Pelanggaran ta’zir adalah pelanggaran di luar hudud dan qishash, yaitu kejahatan yang mana hukumannya tidak ditetapkan dalam Alquran, karena itu tergantung kebijaksanaan hakim. Pelanggaran ini termasuk perjudian, penipuan, pemalsuan dokumen, khalwat, tidak berpuasa dalam bulan Ramadan dan meninggalkan shalat. Ta’zir juga dapat termasuk pelanggaran yang mengganggu ketertiban umum atau merusak kepentingan umum seperti pelanggaran lalu lintas.[11].
Qanun No. 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan hukum Islam di bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam adalah peraturan pertama yang melarang tingkah laku tertentu di bawah hukum Islam, antara lain, melarang penyebaran ajaran sesat. Mengharuskan seluruh pemeluk Islam untuk berbusana Muslim yaitu pakaian yang menutup aurat (untuk laki-laki aurat termasuk lutut hingga pusar, untuk perempuan seluruh tubuh kecuali telapak tangan, kaki dan wajah); tidak transparan; dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Mewajibkan seluruh kantor pemerintah dan institusi-institusi pendidikan untuk mengharuskan busana Muslim di tempatnya masing-masing. Terakhir, menugaskan Wilayatu al-Hisbah untuk memberi imbauan bagi para pelanggar dan memberlakukan hukuman ta’zir bagi yang mengulangi perbuatannya. Qanun inilah yang digunakan untuk menghukum perempuan yang tidak memakai jilbab.
Qanun No. 12, 13 dan 14/2003 tentang khamar (menjual dan mengkonsumsi minuman keras), maisir (judi) dan khalwat (larangan berduaan di tempat sepi bagi yang bukan muhrim) menganggap tiga perbuatan ini sebagai perbuatan. Untuk pertama kali, hukuman secara Islam ditetapkan dalam peraturan hukum, khususnya hukuman cambuk.
Untuk efektivitas pelaksanaan qanun ini di samping adanya lembaga penyidikan dan penuntutan, juga dilakukan pengawasan yang meliputi upaya pembinaan si pelaku jarimah minuman khamar, maisir dan khalwat oleh pejabat Wilayatu al-Hisbah. Di samping itu juga kepada masyarakat diberikan peranan untuk mencegah terjadinya jarimah minuman khamar, maisir dan khalwat dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.
Salah satu contoh, terdapat perbedaan hukuman dalam qanun nomor 13 tahun 2003 dengan KUHP pasal 303 terhadap jarimah maisir, dalam qanun diancam dengan uqubat cambuk dan denda, sedangkan dalam KUHP diancam dengan hukuman penjara dan denda. Ada dua kategori hukuman yang sama-sama dapat diberlakukan, hukuman yang terdapat dalam qanun nomor 13 tahun 2003 tersebut hanya berlaku khusus di Aceh, sedangkan hukuman yang terdapat di KUHP pasal 303 berlaku secara umum di wilayah Indonesia.
Salah satu aliran dalam filsafat hukum adalah aliran Sociological Jurisprudence, yang mengajarkan tentang bagaimana hukum itu akan berlaku efektif dalam masyarakat. Menurut aliran ini :
Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal akan bertahan hidup. Unsur kekal dari hukum adalah pernyataan akal yang berdasar pengalaman dan diuji oleh pengalaman juga. Pengalaman dikembangkan oleh akal, akal diuji oleh pengalaman. Sehingga hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, kemudian diumumkan dengan wibawa oleh badan pembentuk undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat. Inti ajarannya adalah Living law in live.
Melihat perbandingan hukuman dari dua peraturan tersebut, apabila dihubungkan dengan kutipan ajaran aliran Sociological Jurisprudence, penulis memahami bahwa  hukum positif yang baik dan karenanya efektif adalah hukum positif yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya.
Hukum positif yang berlaku di Indonesia agar tetap efektif dalam menghadapi perubahan dan perkembangan dinamika masyarakat, haruslah menjadi hukum yang hidup di masyarakat dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dengan kata lain, hukum positif baru akan berlaku secara efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini berdasarkan dari tujuan hukum itu sendiri, yaitu :
1.      Kepastian (hukum harus ditegakkan: jika hukum yang ditegakkan dibuat tidak bersumber dari aspirasi masyarakat luas, maka penegakan hukum menjadi semu);
2.      Ketertiban (hukum harus dipaksakan: jika hukum yang dipaksakan dibuat tidak berdasarkan aspirasi masyarakat luas, maka pemaksaan menjadi otoriterisme);
3.      Kedamaian (tolok ukur kedamaian apabila kepentingan dan hak semua pihak terlindungi);
Qanun Jinayat adalah manifestasi dari syariat Islam yang diberlakukan di Aceh. Aceh dapat dikatakan sebagai Propinsi yang mengakui sistem syariah sebagai hukum asasinya sebagaimana telah mempunyai payung hukum dengan undang-undang nomor 44 tahun 1999 dan undang-undang nomor 18 tahun 2001. Dilihat dari perspektif nasional, negara Indonesia adalah termasuk sistem negara yang ketiga, yaitu yang mengkui syariat dan sistem hukum nasional berlaku bersama-sama dalam suatu Negara. Sebagaimana diketahui, Indonesia bukanlah negara yang berideologi Islam, melainkan Pancasila. Berdasarkan hal tersebut, ada suatu pertanyaan yang memerlukan analisis mendalam tentang kedudukan Qanun Jinayat itu sendiri dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
Bertolak pada latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, dapat diambil pokok-pokok permasalahan yang menjadi bahan kajian dalam tulisan ini. Pokok masalah tersebut dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana kedudukan Qanun Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan materi yang terkandung di dalamnya menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?
2.      Bagaimana prospek Qanun Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam tinjauan politik hukum?

B.     Legislasi Hukum Islam di Indonesia
  1. Pengertian Legislasi
Dalam Faruqi’s Law Dictionary, kata legislasi dimaknai dengan yasyra’u, yakni mengundangkan, disebut juga qanunan, taqninan, atau tasyri’an.[12] Istilah ini dalam Kamus Edisi Lengkap: Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, sering disebut dengan “Wet Geving” yaitu perundang-undangan.[13]
Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya.[14] Sementara dalam A Dictionary of Law dijelaskan tentang pengertian hukum sebagai "Law is the enforceable body of rules that govern any society or one of the rules making up the body of law, such as Act of Parliament."[15] (Hukum adalah suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk mengatur/memerintah masyarakat atau aturan apa pun yang dibuat sebagai suatu aturan hukum seperti tindakan dari Parlemen).
Bagi kalangan muslim fundamental, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah hukum Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada Alquran dan hadist, untuk kurun zaman tertentu lebih dikonkretkan oleh Nabi Muhammad dalam tingkah laku Beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul.

  1. Dasar Legislasi Hukum Islam di Indonesia
Dasar legislasi hukum Islam dalam UUD 1945 adalah pada pasal  29 ayat (1) dan Perubahannya. Hukum Islam merupakan sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia. Dalam Negara Republik Indonesia tidak dibenarkan terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan hukum Islam bagi umat Islam, demikian juga bagi umat-umat agama lain, peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama-agama yang berlaku di Indonesia bagi umat masing-masing agama bersangkutan.
Dalam Ketetapan MPR RI No. IV/MPR-RI/1999 tentang GBHN, Bab IV, Arah Kebijakan, A. Hukum, butir 2, ditetapkan bahwa hukum Islam, hukum Adat, hukum Barat adalah sumber pembentukan hukum nasional.
“Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum Adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui legislasi.[16]

Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, tentu sangat berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari syariat yang dikandung agamanya. Melaksanakan syariat agama yang berupa hukum-hukum, menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya.
Sebagai negara berdasar atas hukum yang berfalsafah Pancasila, negara melindungi agama, penganut agama, bahkan berusaha memasukkan hukum agama ajaran dan hukum agama Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[17]
Dengan kemajuan dunia saat ini, khususnya negara Indonesia, maka penerapan hukum pidana Islam yang mulai diberlakukan seperti di Aceh harus mengikuti perubahan zaman, tidak semata-mata lahirnya produk hukum seperti qanun penerapan syariat Islam lebih pada kepentingan politik para kelompok. Titik berat penerapan hukum pidana Islam dan syariat Islam harus memiliki serta menawarkan konsep hukum yang lebih universal dan mendasarkan pada nilai-nilai esensial manusia.
Prinsip negara hukum sebagaimana pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Persamaan di depan hukum di mana kepada seluruh warga negara diberikan pelayanan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Namun, bukan berarti pelembagaan hukum Islam bertentangan dengan prinsip di atas sebab bunyi pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yakni: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan UUD 1945 ini harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi kaum muslimin untuk melakukan aktifitas keperdataan sesuai dengan konsep syariat Islam sebagai keyakinan yang dianutnya.
Penafsiran terhadap pasal 27 ayat (1) dengan pasal 29 ayat (2) tersebut, tidak perlu diletakkan pada posisi dikotomis dan kontradiktif, namun dalam hubungan lex generalis dan lex spesialis. Persamaan di depan hukum bagi seluruh warga, ini berlaku umum (lex generalis). Sedangkan semua penduduk diberi hak untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing, ini berlaku khusus (lex spesialis). Ada kekhususan hukum untuk pemeluk agama tertentu.[18]

  1. Landasan Historis
a.      Hukum Islam dalam Konstitusi
Membicarakan posisi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah tentang keberadaan Piagam Jakarta dengan tujuh kata di dalamnya: “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Walaupun draf Piagam Jakarta itu sudah disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 untuk menjadi preambule Konstitusi RI, namun pada tanggal 18 Agustus 1945 (sehari setelah proklamasi), tujuh kata tersebut dicoret dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan dicoretnya tujuh kata tersebut, tentu saja berdampak pada keberlakuan hukum Islam secara legal formal di Indonesia. Hingga dua dekade pertama sejak merdeka (1945 – 1965), peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi hukum Islam hampir tidak ada yang signifikan. Paling-paling hanya berkenaan dengan soal administrasi dan pencatatan seputar masalah perkawinan.
Pembicaraan mengenai posisi hukum Islam dalam konstitusi muncul kembali pada sidang Konstituante (1957-1959) yang mempersiapkan UUD baru bagi Indonesia. Diskusi dalam sidang tersebut mengalami kebuntuan karena tidak tercapainya kesepakatan tentang dasar Negara dan posisi tujuh kata Piagam Jakarta dalam draf konstitusi yang dibahas oleh anggota Konstituante. Untuk mengatasi krisis konstitusional tersebut, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang antara lain berisikan diktum pernyataan kembali ke UUD 1945. Pernyataan ini didahului oleh sebuah konsideran yang meyakini bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.[19]
Walaupun Piagam Jakarta diakomodasi dalam konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959, konsensus yang menyeluruh tentang posisi konstitusional hukum Islam tidak pernah tercapai. Penafsiran terhadap implikasi Dekrit tersebut bagi posisi hukum Islam berbeda-beda tergantung pada masing-masing golongan dan sesuai dengan kepentingan politik mereka. Bagi sebagian besar pemimpin Islam pada saat itu, Dekrit itu bermakna pemulihan fungsi dan isi tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dicoret sehari setelah proklamasi. Namun, menurut sejumlah besar politisi bukan berasal dari partai Islam, konsiderans Dekrit yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai kembali kepada UUD 1945 itu tidak lebih dari sebuah dokumen historis dan sekedar pernyataan keyakinan pribadi Presiden Soekarno yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum untuk membuat peraturan perundang-undangan bagi umat Islam.[20]
Sungguhpun Piagam Jakarta diakui menjiwai UUD 1945 sebagaimana termaktub dalam Dekrit Presiden 1959 dan dipercaya oleh sebagian besar tokoh Muslim sebagai sumber hukum yang absah, keberadaanya pada masa awal Orde Baru tetap kontroversial. Presiden Soeharto bahkan sampai memanggil pimpinan partai-partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) untuk mencapai kesepakatan mengenai definisi atau pengertian yang terkandung dalam tujuh kata Piagam Jakarta. Hingga penghujung tahun 1968, panitia yang terdiri dari partai-partai Islam dan bertugas mengolah pandangan bersama mengenai Piagam Jakarta itu tidak mampu mencapai kata sepakat dalam mendefinisikan Piagam itu. Akhirnya ABRI meminta panitia itu untuk berhenti di situ saja. Menurut pandangan ABRI, perdebatan pemaknaan Piagam Jakarta hanya akan menambah gawat ketegangan-ketegangan di saat stabilitas Orde Baru dinilai masih belum mantap. Sejak saat itu, Piagam Jakarta tidak pernah lagi terdengar sebagai wacana hukum apalagi sebagai referensi peraturan perundang-undangan nasional.[21]
Tata hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan landasan dan arahan politik hukum terhadap pembangunan bidang agama (hukum agama) dengan jelas. Menurut Mochtar Kusumatmadja, sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada hakekatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Pasal 29 UUD 1945 menegaskan tentang jaminan yang sebaik-baiknya dari Pemerintah dan para penyelenggara negara kepada setiap penduduk agar mereka dapat memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi agama termasuk hukum-hukumnya, melindungi dan melayani keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut.[22]
Dalam menghadapi era globalisasi, hukum nasional Indonesia harus mampu menjawab tantangan fenomena global yang futuristik demi menjamin kelangsungan penyelenggaraan kehidupan bernegara secara adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan didampingi oleh kaidah-kaidah hukum Islam, ditambah dengan nilai-nilai intrinsik dari hukum adat dan modernisasi positif dalam hukum Barat, maka hendaknya hukum nasional bukan lagi merupakan kodifikasi dari aturan-aturan yang ada, melainkan sebagai alat modifikasi bagi terwujudnya kehidupan bernegara di Indonesia secara lebih baik. 
Konstitusi sebagai dasar dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengatur secara dasar mengenai hukum di Indonesia dan menjadi landasan rujukan terhadap konstitusionalitas produk hukum di bawahnya.[23]
Konstitusi memuat berbagai materi yang diatur. Materi muatan konstitusi mengenai kehidupan umat beragama termasuk hak dan kewajibannya. Secara konstitusional dapat ditemukan pada UUD 1945, yaitu:
a.       Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat, yaitu: “… Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, …(selaras dengan maksud surah Al-Ikhlas ayat 1:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ  
artinya: Katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Satu (Tuhan Yang Maha Esa)”.
b.      Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yaitu: ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,…”(selaras dengan maksud surat Albaqarah ayat 256:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 sÇËÎÏÈ  

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah”.
c.       Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu: “… Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, …”.
d.      Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yaitu: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

b.      Eksistensi Hukum Islam di Indonesia
Pasang surut formalisasi hukum Islam di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh tiga teori yang berkembang sejak zaman kolonial Belanda dahulu, yaitu teori receptie incomplexu, teori receptie, dan teori receptie balik (receptie a contrario). Melalui ahli hukum Van den Berg, lahirlah teori receptie in complexu, yang menyatakan bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Atas pengaruh teori ini, maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan Peradilan Agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk Agama Islam. Melalui Peradilan Agama inilah pertama kali hukum Islam diformalkan di Indonesia. Namun, teori receptie in complexu tersebut kemudian ditentang oleh van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai pencipta teori baru yaitu teori receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat, yaitu bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing, bagi orang Islam berlaku hukum agama Islam, demikian juga yang lain.[24]
Dengan demikian, menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum Adat. Atas pengaruh teori ini, maka pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan staatsblad Nomor 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dimiliki oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah- masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagai pertentangan terhadap teori receptie, kemudian muncul teori receptie a contrario yang dikemukakan oleh Sajuti Thalib. Teori ini merupakan pengembangan dari teori Hazairin yang intinya menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya. Dengan demikian hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal ini sejalan dengan konsep Urf yang dikenal dalam Islam.
Teori receptie a contrario ini dianggap berpengaruh besar terhadap lahirnya Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Pasca runtuhnya rezim orde baru, di Aceh terjadi konflik besar antara kelompok penuntut disintegrasi, atau yang kemudian dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah. Konflik yang berlangsung bertahun tahun itu banyak menimbulkan korban, baik dari pemerintah, GAM maupun penduduk sipil. Tuntutan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sulit sekali untuk dibungkam berakhir pada pemberian otonomi khusus dari pemerintah Indonesia kepada Aceh dengan Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 ini. Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 memberi jaminan hukum tentang pelaksanaan syariat Islam sebagai hukum materiil yang digunakan di Aceh, mengembangkan dan mengatur pendidikan sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan dan menyelenggarakan kehidupan adat dan peran serta kedudukan ulama dalam penerapan kebijakan daerah. Apalagi kemudian diperkuat lagi dengan Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa bidang ahwal al-syakhshiyyah, mu'amalah, dan jinayah (masalah kejahatan) yang didasarkan atas syariat Islam dapat diatur dengan qanun. Sampai tahun 2006, qanun yang sudah disahkan di Aceh berupa Qanun nomor 11 tahun 2003 tentang aturan Syariat Islam, Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang maisir, Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang khamar atau minuman keras, serta Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat atau menyepi dengan lawan jenis.
Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Teori eksistensi merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia, masa lalu, masa kini, dan masa datang bahwa hukum Islam itu ada dalam hukum nasional Indonesia baik tertulis maupun yang tidak tertlis dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktek hukum.  Teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia yaitu:
a.       Ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia.
b.      Ada dalam arti adanya dengan kemandiriannya yang diakui adanya kekuatan dan wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum Nasional.
c.       Ada dalam arti hukum nasional dan norma hukum Islam (agama) yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional di Indonesia.
d.      Ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama.[25]
Jadi, secara eksistensial, Kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional merupakan sub sistem dari hukum nasional. Oleh karenanya, maka hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meskipun harus diakui problema dan kendalanya yang belum pernah usai.
Secara sosiologis, kedudukan hukum Islam di Indonesia melibatkan kesadaran keberagaman bagi masyarakat, penduduk yang sedikit banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum, baik norma agama maupun norma hukum. Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakat yang harus dikembangkan secara searah, serasi dan tidak dibiarkan saling bertentangan.
Dalam peraturan perundang-perundangan terlihat kecenderungan makin kuatnya kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional. Ada tiga pola bentuk hubungan antara hukum agama dengan hukum nasional, yaitu:
a.       Hukum agama khusus untuk kaum beragama tertentu.
b.      Hukum agama masuk dalam hukum agama secara umum yang memerlukan pelaksanaan secara khusus.
c.       Hukum agama masuk dalam perundang-undangan yang berlaku untuk seluruh penduduk Indonesia. Keberagaman yang bersandar pada nilai asasi manusia adalah modal faktual bagi kehidupan bangsa dan bernegara, sehingga dalam bidang hukum yang agama-agama yang mempunyai ajaran dan ketentuannya sendiri harus berwujud pluralitas hukum. Pembangunan hukum yang tidak mungkin dicapai unifikasi sedapat mungkin diupayakan terciptanya keharmonisan hukum. [26]
Selain karena alasan sosiologis dan alasan praktis-pragmatis, keeratan hubungan antara ulama dan umara serta agama dan hukum dapat dilihat secara filosofis-politis dan yuridis. Secara filosofis-politis, keeratan hubungan keduanya dapat dilihat dari perspektif Pancasila yang menurut doktrin ilmu hukum di Indonesia merupakan sumber dari segala sumber hukum. Di dalam Pancasila itu sendiri, agama mempunyai posisi yang sentral. Di dalamnya, terkandung prinsip yang menempatkan agama dan ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam posisi yang pertama dan utama. Demikian juga dengan tinjauan yuridis, kedudukan agama dalam konteks hukum dan keeratan hubungan antara keduanya dijamin menurut Pembukaan UUD 1945 dan pasal 29.
Untuk mewujudkan hukum Islam dapat menjadi lebih prospektif dalam kodifikasi hukum nasional pada masa akan datang, para legislator di tingkat pusat dan daerah rnerupakan prasyarat utama. Putusan-putusan Pengadilan/Hakim yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang Islami turut berperan pula.[27]
Penerapan formal hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi lima level sebagai berikut:
a.       Masalah-masalah hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian dan kewarisan.
b.      Urusan-urusan ekonomi dan lembaga keuangan, seperti zakat, wakaf dan perbankan Islam.
c.       Praktik-praktik kewajiban beragama, seperti berjilbab dan berpuasa Ramadhan, ataupun pelarangan-pelarangan resmi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti mengkonsumsi minuman beralkohol dan barang-barang yang mengandung pornografi.
d.      Penerapan hukum pidana Islam, terutama yang berkenaan dengan jenis-jenis sanksi hudud dan qishash.
e.       Penggunaan Islam sebagai dasar Negara dan sistem pemerintahan.[28]
Lima level penerapan hukum Islam tersebut disusun secara hirarkis, mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi bobotnya. Dua level pertama merupakan aturan hukum dalam wilayah privat dan tiga level berikutnya meruapakan aturan hukum yang bersifat publik. Hukum Islam dalam legislasi nasional hingga saat ini setidaknya telah mencapai level kedua dengan relatif mantap. Namun, dalam legislasi regional atau lokal melalui Qanun dan Perda di sejumlah wilayah tertentu, terlihat hukum Islam sudah sampai pada level ketiga walaupun belum stabil sepenuhnya, bahkan di Aceh sudah sampai pada level keempat. 
Lembaga yang menjalankan dan mengawasi terlaksananya hukum Islam yang diakui keberlakuannya oleh Negara adalah Peradilan Agama, dan khusus untuk wilayah Aceh dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah. Yurisdiksi Peradilan Agama, berdasarkan pasal 49 UU No. 50 tahun 2009 perubahan kedua atas UU No. 7 tahun 1989 meliputi kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (1) perkawinan; (2) waris; (3) wasiat; (4) hibah; (5) wakaf; (6) zakat; (7) infaq; (8) shadaqah; dan (9) ekonomi syariah. Namun, sebagaimana diatur dalam pasal 50 UU ini disebutkan, pada ayat (1): dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Pada ayat (2); Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.
Adapun untuk Mahkamah Syar’iyah memiliki keistimewaan tersendiri yang berbeda dari Pengadilan Agama di propinsi lain di luar Aceh. Perbedaan pertama adalah soal Nomenklatur. Mahkamah Syar’iyah kembali menjadi nomenklatur resmi peradilan Islam di Aceh berdasarkan Keppres nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Propinsi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan perbedaan kedua adalah tentang kewenangan hukum yang dimiliki Mahkamah Syar’iyah. Selain memiliki kewenangan sebagaimana peradilan agama di luar Aceh, berdasarkan pasal 128 ayat (3) UU nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, memiliki kewenangan yang meliputi tiga bidang, yaitu: (1) Ahwal al-Syakhshiyyah (hukum keluarga); (2) Mu’amalah (hukum perdata); dan (3) Jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syariat Islam.
Perkara-perkara yang dimaksud dalam ketiga bidang itu lebih lanjut diatur oleh qanun. Sejauh ini, qanun yang telah ada berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyah yaitu:
a.       Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam.
b.      Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan minuman keras.
c.       Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan perjudian.
d.      Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat.
e.       Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.

  1. Landasan Yuridis
a.        Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan
Landasan formil konstitusional peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan legitimasi prosedural terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan yang dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat”. Kalau pembuatan atau prosedur pembuatannya tidak benar atau menyimpang dari UUD 1945 dan UU Susduk DPR, DPD, dan DPRD dan jabarannya dalam Peraturan Tata Tertib DPR/DPD (untuk UU) dan tata tertib DPRD (untuk Perda) serta prosedur yang ditentukan dalam UU No. 10 tahun 2004 dan UU Pemerintahan Daerah (bagi Perda), maka UU dan/atau Perda tersebut dapat dibatalkan secara menyeluruh oleh Mahkamah Konstitusi (untuk UU) atau oleh Mahkamah Agung (untuk Perda).[29] 
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka landasan formil konstitusional peraturan perundang-undangan untuk:
a.       Undang-Undang Dasar (UUD) adalah pasal 3 ayat (1) UUD 1945 jo pasal 37 UUD 1945.
b.      Undang-Undang (UU) adalah pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (untuk RUU yang datang dari Presiden/Pemerintah), pasal 20 UUD 1945, pasal 21 UUD 1945 (untuk RUU yang datang dari DPR).
c.       Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah pasal 22 UUD 1945.
d.      Peraturan Pemerintah (PP) adalah pasal 5 ayat (2) UUD 1945.
e.       Peraturan Presiden (Perpres) adalah pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
f.       Peraturan Daerah (Perda) adalah pasal 18 ayat (6) UUD 1945.
Landasan materiil konstitusional peraturan perundang-undangan ini kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans “menimbang” dan dituangkan dalam norma-norma dalam pasal dan/atau ayat dalam Batang Tubuh dan dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan kalau kurang jelas.
Pencantuman pasal-pasal UUD 1945 sebagai landasan materiil konstitusional peraturan perundang-undangan tersebut disesuaikan dengan materi muatan yang akan dijabarkan dalam Batang Tubuh peraturan peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya, akan dibentuk Qanun nomor 13 tentang maisir (perjudian), dicantumkan pasal 29 UUD 1945 karena pasal ini memuat tentang agama.
Pasal-pasal UUD yang dijadikan landasan materiil konstitusional tersebut kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans “menimbang”, dan dijabarkan atau dituangkan lebih lanjut dalam pasal dan/atau ayat dalam “Batang Tubuh” sampai dengan “Penjelasan” peraturan perundang-undangan yang bersangkutan kalau diperlukan.
Landasan formil dan materiil konstitusional peraturan perundang-undangan kemudian diberikan landasan UU yaitu UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam lampiran UU No. 10 tahun 2004 ditentukan:
a.       Butir 17: Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan.
b.      Butir 18: Pokok-pokok pikiran pada konsiderans UU atau Perda memuat unsur-unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.
Butir 17-18 tersebut mencerminkan bahwa Peraturan Perundang-undangan tertentu (khususnya UU dan Perda) harus mempunyai landasan formil dan materiil konstitusional yang dituangkan dalam “menimbang” dan dasar hukum “mengingat”.

b.        Unsur-Unsur dalam Pembuatan Peraturan Perundang-undangan
1)      Unsur Filosofis
Unsur filosofis yang termuat dalam latar belakang pembuatan suatu UU/Perda merupakan hakikat dari landasan formil dan materiil konstitusional peraturan perundang-undangan. Unsur filosofis diuraikan secara singkat dalam “menimbang” ini terkandung dalam:
1)      Pembukaan UUD 1945 (tersurat/tersirat)
2)      Aturan/norma dasar (tersurat/tersirat) dalam pasal-pasal UUD 1945.
3)      Kehidupan masyarakat yang secara prinsip telah “dirangkum” dan “dimuat” dalam nilai-nilai yang ada pada setiap sila dari Pancasila, atau:
4)      Setiap benda/situasi/kondisi yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mencari kebenaran di atas kebenaran dari yang kan diatur (relatif).
Setiap masyarakat selalu mempunyai “rechtsidee’, yakni apa yang masyarakat harapkan dari hukum, misalnya hukum diharapkan untuk menjamin adanya keadilan, kemanfaatan, dan ketertiban maupun kesejahteraan. Semua ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.[30]
Dasar filosofis merupakan dasar filsafat atau pandangan hidup yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat ke dalam suatu rancangan / draft peraturan perundang-undangan. Dasar filosofis bangsa Indonesia adalah Pancasila, sehingga pada prinsipnya tidak dibuat dan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat jika bertentangan dengan Pancasila sebagai filsafat dan dasar negara Indonesia.[31]
Peraturan Daerah dikatakan mempunyai landasan filosofis (filosofishe grondslang) apabila rumusannya atau normanya mendapat pembenaran (rechtsvaardiging) dikaji secara filosofis. Jadi, ia mempunyai alasan yang dapat dibenarkan apabila sejalan dengan nilai-nilai yang baik. Misalnya, menganiaya hewan sebelum disembelih untuk keperluan suatu pesta adat (paham yang berakar dari living law). Jika larangan ini dikuatkan melalui Peraturan Daerah, maka ia memperoleh landasan filosofis. [32]
Seperti yang dikatakan oleh Astim Riyanto, guru besar ilmu hukum tata negara spesialis hukum konstitusi, dalam pelatihan kesekretariatan Universitas Pendidikan Indonesia pada tanggal 28 Januari 2009, bahwa landasan filosofis berkaitan dengan harapan-harapan masyarakat akan kemanfaatan (kebahagiaan), keadilan, dan kesejahteraan yang diwujudkan oleh hukum. Berarti suatu perundang-undangan bernilai filosofis apabila membawa kemanfaatan, keadilan dan kesejahteraan. [33]

2)      Unsur Sosiologis
Unsur sosiologis yang dimuat dalam latar belakang dibuatnya UU/Perda adalah konstatsi fakta atau keadaan nyata dalam masyarakat. Misalnya: dalam Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat unsur sosiologisnya adalah khalwat yang merupakan perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau yang berpeluang pada tejadinya perbuatan perzinaan.
Apabila para warga masyarakat mematuhi hukum di mana hukum itu diberlakukan. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum:
1)      Teori kekuasaan, secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat.
2)      Teori pengakuan, kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.[34]
Landasan sosiologis merupakan landasan yang terdiri atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat yang mendorong perlunya pembuatan peraturan perundang-undangan (Perda ataupun Qanun), yaitu bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu pengaturan.[35] Seperti di Aceh diatur tentang qanun larangan minum khamar, maisir (judi) dan khlawat (mesum), karena masyarakat memerlukan peraturan tersebut. Masyarakat Aceh dikenal dengan keberagamaannya untuk menerapkan syariat Islam dalam formalisasi hukum pidana.
Suatu Peraturan Daerah dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar Peraturan Daerah yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf mati belaka. Hal ini berarti bahwa Peraturan Daerah yang dibuat harus dipahami oleh masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Pada prinsipnya, hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, dan jika tidak sesuai dengan tata nilai, keyakinan dan kesadaran masyarakat tidak aka nada artinya, tidak mungkin dapat diterapkan karena tidak dipatuhi dan ditaati.[36]

3)      Unsur Yuridis
Unsur yuridis yang dimuat dalam latar belakang dibuatnya UU/Perda adalah berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang ada baik yang menjadi dasar hukum “mengingat’ maupun yang berkaitan secara langsung dengan substansi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan  yang harus diganti/dicabut atau diubah karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam masyarakat.
Apabila ketentuannya didasarkan pada norma yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau bila terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Zevenbergen), atau apabila menunjukkan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A. Logemann). Keberlakuan yuridis dari kaidah hukum oleh Bagir Manan[37] diperinci dalam syarat-syarat:
1)      Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan.
2)      Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis atau peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintah oleh peraturan perundang-undangan lebih tinggi tingkatannya atau sederajat.
3)      Keharusan mengikuti tata cara tertentu.
4)      Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dasar yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukum/ dasar hukum untuk pembuatan/perancangan suatu peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan hal tersebut, bahwa setiap norma hukum dianggap sah karena ia diciptakan dengan cara ditentukan oleh norma lain. Suatu norma hukum yang lebih tinggi menjadi dasar keabsahan norma yang dibentuknya (norma yang lebih rendah).
Landasan yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukum/dasar hukum untuk pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Landasan yuridis ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1)      Landasan yuridis dan sudut formal, yaitu landasan yuridis yang memberikan kewenangan bagi instansi/pejabat tertentu untuk membuat peraturan tertentu, misalnya pasal 136 UU No. 32 tahun 2004 memberikan landasan yuridis dan sudut formal kepada Pemerintah Daerah dan DPRD untuk membuat peraturan daerah.
2)      Landasan yuridis dan sudut materiil, yaitu landasan yang memberikan dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu, seperti pasal 136 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 memberikan kewenangan dibuatnya Perda tentang Pembentukan Kelurahan.[38]
Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan peraturan karena akan menunjukkan, adanya kewenangan dari pembuat peraturan, adanya kesesuaian bentuk dengan materi yang diatur, untuk menghindari peraturan itu batal demi hukum dan agar tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, landasan yuridis merupakan dasar hukum ataupun legalitas landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya. [39]
Landasan yuridis mensyaratkan agar setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar keabsahan, baik dasar keabsahan yang bersifat formal maupun yang bersifat material. Dasar keabsahan formal berkaitan dengan prosedur atau tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan keabsahan yang bersifat material berkaitan dengan isi (substansi) atau materi muatan dalam peraturan suatu perundang-undangan.[40]
Suatu peraturan perundang-undangan dapat memenuhi kualifikasi yuridis apabila: (1) mempunyai kekuatan hukum sah; (2) mempunyai kekuatan hukum berlaku; dan (3) mempunyai kekuatan hukum mengikat. Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai kekuatan hukum sah apabila peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk oleh lembaga/institusi/badan yang berwenang. Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai kekuatan hukum berlaku apabila peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Suatu perundang-undangan dikatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila peraturan perundang-undangan tersebut diundangkan/diumumkan. Suatu peraturan perundang-undangan yang memenuhi kualifikasi yuridis akan berdampak kepada adanya ketertiban hukum, kepastian hukum, dan perlindungan hukum, sehingga hukum berfungsi sebagai alat pembaharuan masyarakat (law is a tool of social engineering).[41]
Selain landasan formil dan materiil konstitusional tersebut, juga diberikan alas hukum yaitu dalam butir 26 UU No. 10 tahun 2004 yang berbunyi: dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan tersebut berisi landasan formil dan materiil konstitusional apabila menyangkut UUD. Sedangkan, apabila menyangkut Peraturan Perundang-undangan lain di bawah UUD dan TAP MPR disebut landasan formil dan materiil yuridis.[42]
Lon L. Fuller memandang dari sudut pembentuk peraturan perundang-undangan, melihat hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat. Asas-asas tersebut menurutnya terkandung dalam principles of legality,[43] yaitu :
1)      Tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat adhoc.
2)      Peraturan yang sudah dibuat itu harus diumumkan.
3)      Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut.
4)      Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5)      Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6)      Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7)      Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan, sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.
8)      Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Hamid S. Attamimi dalam disertasinya setelah membahas berbagai bahan menyangkut asas hukum dan asas pembentukan peraturan perundangan di Indonesia, merumuskan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut di Indonesia, meliputi:
1)        Asas-asas formal, dengan perincian: asas tujuan yang jelas; asas perlunya pengaturan; asas organ/lembaga yang tepat; asas materi muatan yang tepat; asas dapatnya dilaksanakan; dan asas dapatnya dikenali
2)        Asas-asas materiil, dengan perincian: asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara; asas sesuai dengan hukum dasar negara; asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum; dan asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem konstitusi.[44]
Agar suatu ketentuan hukum dapat berfungsi sebagaimana yang dikehendaki, maka terhadap ketentuan hukum tersebut harus memenuhi ketiga dasar keberlakuan hukum sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
1.      Bila hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati (dode regal).
2.      Jika hukum berlaku secara sosiologis, (maka mungkin hukum berlaku dalam arti teori kekuasaan), maka kaidah tersebut menjadi aturan pemaksa.
3.      Apabila hanya berlaku secara filosofis, maka mungkin hukum tersebut hanya  merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).[45]

C.    Pengaruh Politik terhadap Hukum
Hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek yaitu proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum.[46]
Hukum adalah hasil tarik-menarik berbagai kekuatan politik yang mengejawantah dalam produk hukum. Dalam hal ini Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan undang-undang menjadi medan perbenturan dan pergumulan kepentingan-kepentingan. Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang menjadi penting karena pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu.
Di samping konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi.[47] Di Indonesia intervensi pemerintah dalam bidang politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat dominan di dalam mewarnai politik hukum di Indonesia.[48]
Menurut Mahfud MD sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin Abu Bakar bahwa politik hukum juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.[49] Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat.[50]
Hukum tidak mungkin dapat dipisahkan dengan politik, terutama dengan masyarakat yang sedang membangun, pembangunan merupakan keputusan politik, dan pembangunan membutuhkan legalitas dari sektor hukum.[51] Dalam hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum.
Dalam kaitan kondisi politik dan hukum, Philippe Nonet dan Philip Selznick mencetuskan suatu teori mengenai tiga keadaan dasar hukum dalam masyarakat, yaitu:
a.       Hukum represif, yaitu hukum yang merupakan alat kekuasaan represif. Hukum represif banyak mengandalkan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada di pihak rakyat. Pada umumnya, hukum represif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik, hukum diidentikkan dengan raison d’etat.
2)      Perspektif resmi mendominasi segalanya. Penguasa cenderung mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
3)      Kepentingan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan di mana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya, apabila keadilan semacam itu memang ada, adalah terbatas.
4)      Badan-badan khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat-pusat kekuasaan yang bebas.
5)      Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan kelas dengan mengonsolidasikan dan mengesahkan pola-pola subordinasi sosial.
6)      Hukum dan otoritas resmi digunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.[52]
b.      Hukum otonom, yaitu hukum sebagai pranata yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritasnya sendiri. Ciri-cirinya adalah:
1)      Hukum terpisah dari politik. Kemandirian badan peradilan dan terdapat garis tegas fungsi-fungsi legislatif dan yudikatif.
2)      Tertib hukum mendukung “model peraturan”(model of rules). Ia membatasi kreativitas institusi-institusi hukum maupun resiko campur tangan lembaga-lembaga hukum dalam wilayah politik.
3)      “Prosedur adalah jantung hukum”. Keteraturan dan keadilan (fairness) merupakan tujuan utama dan kompetensi utama dari tertib hukum.
4)      “Ketaatan pada hukum”.
c.       Hukum responsif, yaitu hukum yang merupakan sarana respons atas kebutuhan-kebutuhan dari aspirasi masyarakat. Karakteristiknya adalah:
1)      Dinamika perkembangan hukum meningkatkan otoritas tujuan dalam pertimbangan.
2)      Tujuan membuat kewajiban hukum semakin problematik, sehingga mengendurkan klaim hukum terhadap kepatuhan dan membuka kemungkinan bagi suatu konsepsi tatanan semakin tidak kaku dan semakin bersifat perdata.
3)      Hukum memiliki keterbukaan dan fleksibilitas.
4)      Di dalam lingkungan yang penuh tekanan, otoritas yang berkelanjutan dari tujuan hukum dan integritas dari tatanan hukum tergantung pada model institusi hukum yang lebih kompeten.[53]
Ketiga tipe hukum tersebut harus dilihat sebagai berkaitan satu sama lainnya di dalam suatu urutan perkembangan. “Hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif tidak merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda satu sama lainnya, dapat juga diartikan sebagai tahap-tahap evolusi di dalam hubungan hukum dengan tata politik dan tata sosial. Masing-masing tipe hukum berhubungan dengan suatu problem lain dalam tata sosial.
Dalam hukum represif tata tertibnya sendiri yang menarik semua perhatian. Hukum otonom mempermasalahkan problem legitimasi dari pada tata tertib sosial. Legitimasi ini di dasarkan atas ide bahwa tata tertib sosial dapat dibuat sah apabila penggunaan kekuasaan diletakan di bawah pengawasan dari prinsip-prinsip konstitusional, prosedur-prosedur formal, dan institusi-institusi peradilan yang bebas. Ini pada dasarnya adalah adalah cita-cita kekuasaan yang berdasar hukum yang klasik liberal.
Dalam hukum responsif pada akhirnya yang dipermasalahkan adalah tujuan tata tertib sosial. Tipe hukum ini berasal dari suatu hasrat untuk membuat hukum lebih bertujuan di dalam melayani manusia dan institusi untuk mencapai, tidak hanya keadilan yang formal, tetapi juga keadilan yang substantif. Model perkembangannya dilandasi suatu dinamika dari dalam yang mendorong hukum represif ke arah hukum otonom, dan hukum otonom ke arah hukum responsif.
Dalam hal ini setiap tipe hukum yang lebih rendah akan berhadapan dengan problem-problem yang tidak dapat dipecahkannya, kecuali ia bergerak ke suatu tingkat yang lebih tinggi. Hukum represif, misalnya tidak bisa memecahkan problem legitimasi selam ia tetap bersifat refresif; ia hanya mampu memecahkannya apabila ia menjadi hukum otonom. Namun kelemahan utama dari hukum otonom terletak di dalam tendensinya ke arah formalisme hukum, yang akan mengurangi relevansi hukum untuk pemecahan problem, dan yang akan membuatnya tidak peka terhadap tuntutan-tuntutan keadilan sosial.
Hukum otonom hanya akan mampu mengatasi kelemahan ini bila ia menjadi lebih “responsif”. Lagi pula, penggunaan hukum sendiri menggerakan suatu dinamika dari perkembangan. Seorang penguasa yang kuat dapat mengeluarkan aturan-aturan sebagai saran kekuasaannya, akan tetapi ia tidak akan dapat memaksa semua rakyatnya untuk patuh setiap waktu. Dia akan memperoleh tambahan kredibilitas dan aturan-aturannya akan memperoleh tambahan legitimasi serta menarik kemauan untuk menurut sendiri secara sukarela, bilamana aturan tersebut adil, bilaman ia sendiri merasa terikat oleh aturan-aturan tadi, dan bilamana terdapat pengadilan yang tidak berpihak yang akan menerapkan aturan dan memberikan keputusan dalam pertikaian dan kejahatan secara tidak berpihak.[54]


D.    Hierarki Berlakunya Peraturan Perundang-undangan
UUD 1945 pada periode pertama berlaku antara bulan Agustus 1945 samapi dengan 1949, kemudian pada periode kedua berlaku pada tanggal 5 juli 1959 sampai dengan 19 Oktober 1999, dan periode ketiga berlaku sejak Perubahan Pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999 sampai saat ini hanya menetapkan tiga jenis peraturan, yang disebut undang-undangan, peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU), dan Peraturan Pemerintah, yang masing-masing dirumuskan dalam pasal-pasal sebagai berikut.
Pasal 5 ayat (1) sebelum Perubahan UUD 1945:
Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dan kemudian diubah menjadi:
Pasal 20 sesudah Perubahan UUD 1945:
1)    Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
2)    Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
3)    Jika merancang undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
4)    Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
5)    Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut dusetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundang-undangkan.

Pasal 22 ayat (1), - sebelum dan sesudah Perubahan UUD 1945:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, dan.
Pasal 5 Ayat (2)- sebelum dan sesuadah Perubahan UUD 1945:
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagai mana mestinya.


1.      Hierarki Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan UU No. 1 tahun 1950

Hierarki peraturan perundang-undangan mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-undang No. 1 tahun 1950 yaitu peraturan tentang jenis dan bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah pusat, yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950.
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1950 dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1: Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a.       Undang-undang dari Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang.
b.      Peraturan Pemerintah.
c.        Peraturan Menteri.
Pasal 2: Tingkat kekuatan peraturan-peraturan pemerintah pusat ialah menurut urutannya pada pasal 1.
Beradasarkan rumusan dalam pasal 1 dan pasal 2 tersebut, dapat disimpulkan bahwa Peraturan Menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan, yang terletak di bawah peraturan pemerintah. Kedudukan peraturan menteri yang terletak di bawah Peraturan Pemerintah (dan bukan dibawah keputusan Presiden) secara hierarkis dapat dimengerti, oleh karena Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menganut sistem parlementer, sehingga Presiden hanya bertindank sebagai Kepala Negara dan tidak mempunyai kewenangan untuk membentuk keputusan yang bersifat mengatur.

2.      Hierarki Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966

Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, Tidak disinggung hal-hal mengenai garis-garis besar tentang kebijakan hukum Nasional. Tetapi ketetapan MPR ini menentukan antara lain mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia, Yaitu Pancasila yang dirumuskan sebagai sumber dari segala sumber Hukum, dan mengenai tata urutan peraturan perundangan Republik Indonesia.
Dalam Ketatapan MPRS tersebut diuraikan lebih lanjut dalam lampiran I bahwa perwujudan sumber dari segala sumber hukum Republik Indonesia adalah:
a.       Peroklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
b.      Dekrit 5 Juli 1959.
c.       Undang-undang Dasar Proklamasi.
d.      Surat Perintah 11 Maret 1966.
Selain itu, dalam Lampiran II tentang “Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945” dirumuskan sebagai berikut:
a.       Bentuk-bentuk Paraturan Perundangan.
1)      Bentuk-bentuk peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-undang Dasar 1945 ialah sebagai berikut:
·         Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
·         Ketetapan MPR,
·         Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
·         Undang-Undang.
·         Peraturan Pemerintah,
·         Keputusan Presiden.
Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
·         Peraturan Menteri,
·         Intruksi Menteri,
·         Dan lain-lainnya.
2)      Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam penjelasan autentik undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Dasar Republik Indonesia Adalah bentuk peraturan perundangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan-peraturan bawahan dalam Negara.
3)      Sesuai pula dengan prinsip Negara Hukum, maka setiap peraturan perundangan harus bersumber dan berdasar dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya.
b.      Urutan Undang-undang.
1)      Undang-undang Dasar.
Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal Undang-undang Dasar adalah ketentuan-ketentuan yang tertinggi tingkatnya yang pelaksanaannya dilakukan dengan ketetapan MPR, Undang-undang atau Keputusan Presiden.
2)      Ketetapan MPR.
a)      Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif dilaksanakan dengan undang-undang.
b)      Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dilaksanakan dengan keputusan Presiden.
3)      Undang-undang.
a)      Undang-undang adalah untuk melaksanakan Undang-undang Dasar atau Ketetapan MPR.
b)      Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan-peraturan sebagai pengganti Undang-undang.
(1). Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetjuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(2). Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
4)      Peraturan Pemerintah.
Peraturan pemerintah adalah memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan undang-undang.
5)      Keputusan Presiden.
Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Dasar yang bersangkutan, Ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau Peraturan Pemerintah.
6)      Peraturan-peraturan Pelaksanaan Lainnya.
Peraturan-peraturan Pelaksanaan Lainnya:
Peraturan Menteri, Instruksi Manteri dan lain-lainnya, harus dengan tegas berdasar dan bersumber pada peraturan perundangan yang lebih tinggi
Dengan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 juga mengakui adanya suatu sistem norma hukum yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, di mana suatu norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan diakui pula adanya norma tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi norma-norma dibawahnya seperti Grundnorm dalam teorinya Hans Kelsen dan Staatfundamentalnorm dalam teorinya Hand Nawiasky.
Norma-norma hukum yang berlaku dalam sistem norma menurut Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 adalah berturut-turut Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, peratururan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan-peruturan Pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya.

3.      Hierarki Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan ketetapan MPR No. III/MPR/2000.

Dalam konsideran Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan antara lain dirumuskan sebagaimana berikut:
a.       Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan atas hukum perlu mempertegas sumber hukum yang merupakan pedoman bagi penyusunan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia;
b.      Bahwa untuk dapat mewujudkan supremasi hukum perlu adanya aturan hukum yang merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan tata urutannya;
c.       Bahwa dalam rangka memantapkan perwujudan otonomi daerah perlu menempatkan peraturan daerah dalam tata urutan peraturan perundang-undangan;
d.      Bahwa Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia berdasarkan ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 menimbulkan kerancuan pengertian, sehingga tidak dapat lagi dijadikan landasan penyusunan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan beberapa alasan tersebut, dan berdasarkan Putusan Rapat Paripurna ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sedangkan Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, telah ditetapkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPRGR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundangan Republik Indonesia.
Masalah hierarki peraturan perundang-undangan menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1:
1)      Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk menyusun peraturan perundang-undangan.
2)      Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.
3)      Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuaan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh oleh hikmat kebijaksanaan dalam permsyawaratan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945.

Pasal 2:
Tata urutan peraturan Perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawah ini;
Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1)      Undang-undang Dasar 1945.
2)      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
3)      Undang-undang.
4)      Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang (PERPU).
5)      Peraturan Pemerintah.
6)      Keputusan Presiden.
7)      Peraturan Daerah.
Pasal 3:
1)      Undang-undang dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
2)      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia merupakan putusan majelis Permusyawaratan Rakyat pengemban kedaulatan rakyat yang ditapakan dalam sidang-sidang Majelis permusyawaratan Rakyat.
3)      Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk melaksanakan Undang-undang Dasar 1945 serta ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
4)      Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a)      Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus diajukan ke Dewan Perwaklan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
b)      Dewan perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan tidak mengadakan perubahan.
c)      Jika ditolak dewan Perwakilan Rakyat, peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus dicabut.
5)      Peraturan pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang.
6)      Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan.
7)      Peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum yang diatasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.
a)      Peraturan daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama gubernur.
b)      Peraturan daerah kabupaten / kota dibaut oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/ kota bersama bupati/ walikota..
c)      Peraturan desa atau yang setingkat. Dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang setingkat. Sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten/ kota yang bersangkutan.

Pasal 4:
1)      Sesuai dengan urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi.
2)      Peraturan atau keputusan Mahkamah Agung, badan Pemeriksa keuangan, menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ini.

Peraturan tentang hierarki peraturan perundang-undangan dalam ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan, tidak dapat dilepaskan dengan keempat pasal diatas. Oleh karena ketentuan dalam keempat pasal tersebut sangat erat kaitannya. Selain itu, berdasarkan keempat pasal tersebut terdapat permasalahan yang sangat mendasar, sehingga memerlukan kajian dan pemahaman yang bebar terhadap ketentuan yang dirumuskan didalamnya dan prektek ketatanegaraan yang berlaku di Negara Republik Indonesia, khusunya dalam sistem perundang-undangan.

4.      Hierarki Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan UU No. 10 tahun 2004.
Setelah selesainya perubahan keempat Undang-undang Dasar 1945 dan ditetapkannya ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan setatus hukum ketetapan majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, maka Dewan Perwailan Rakyat mengajukan rancangan undang-undang tentang tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Setelah melalui proses pembahasan, rancangan undang-undang tersebut kemudian disahkan dan diundangkan menjadi Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan Perundangan-undangan, yang dinyatakan muali berlaku pada tanggal 1 November 2004.
Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan pula tentang jenis dan hierarki peraturan perundangan-undangan dalam pasal 7. yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 7:
1)      Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a)      Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b)      Undang-undang/Peraturan Pemerintahan Pengganti undang-undang;
c)      Peraturan Pemerintah
d)     Peraturan Presiden
e)      Peraturan Daerah.
2)      Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a)      Peraturan Daerah Provinsi dibaut oleh dewan perwakilan rakyat daerah perwakilan rakyat daerah provinsi bersama gubernur;
b)      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati walikota;
c)      Peraturan desa/peraturan yang setingkat, diabuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/peraturan yang setingkat diatur dengan perundangan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
4)      Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
5)      Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dalam penjelasan pasal 7 dinyatakan bahwa ayat (1), ayat (2) huruf b dan huruf c, serta ayat (3) adalah “Cukup jelas”, sedangkan ayat-ayat yang lainnya diberi penjelasan sebagai berikut:
Ayat (2): Huruf a: termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.
Ayat (4). Jenis peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikelaurkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dewan Perwakilan Rakyat, dewan perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa keuangan, Bank Indonesia, menteri, Kepala badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota, Bupati/ Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Dalam hal pemberlakuan hukum, hukum ketatanegaraan Indonesia menganut teori berjenjang (Stufen Theory) dari Hans Kelsen. Teori tersebut mengandung ajaran- ajaran sebagai berikut:
a.       Dasar berlakunya dan legalitas suatu norma terletak pada norma yang yang ada di atasnya (dari bawah ke atas), atau
b.      Suatu norma yang menjadi dasar berlakunya dan legalitas norma yang ada di bawahnya (dari atas ke bawah)
c.       Secara acak, diambil dua norma saja, bisa dari bawah bisa dari atas atau dari atas ke bawah seperti pada uraian pada huruf a dan b di atas.
Hierarki Peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara terperinci meliputi:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.       Peraturan Pemerintah;
d.      Peraturan Presiden;
e.       Peraturan Daerah.
Teori berjenjang ini kemudian menimbulkan asas hukum lex supperiori derogat lex inferiori (hukum yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya). Nampak jelas bahwa ditetapkan jenis-jenis peraturan perundang undangan dengan tidak memasukkan Tap MPR sebagai peraturan perundang undangan dan Peraturan Daerah merupakan peraturan perundang undangan yang paling bawah, sehingga keberadaannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berada di atasnya. Jika bertentangan, ia dapat dibatalkan demi hukum. Menurut ketentuan pasal 1 angka 8 Undang-Undang nomor 10 tahun 2004, Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Jenis dan hierarki Peraturan Daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e, meliputi:
a.       Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah propinsi bersama dengan gubernur.
b.      Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/ kota bersama bupati/walikota.
c.       Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Pengakuan dan penerimaan negara terhadap keberadaan hukum syariat Islam, memerlukan format atau bentuk hukum tertentu yang disepakati bersama, dimana Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya, dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Berdasarkan prinsip lex superiore derogat lex infiriore, maka secara hirarkis peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi. Akan tetapi, dalam hukum juga berlaku prinsip lex specialis derogat lex generalis yang berarti bahwa peraturan yang khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Sudikno Mertokosumo mengibaratkan sistem hukum sebagai gambar mozaik, yaitu gambar yang dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil untuk kemudian dihubungkan kembali, sehingga tampak utuh seperti semula. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas hubungannya dengan yang lain, tetapi kait mengait dengan bagian yang lainnya. Tiap bagian tidak mempunyai arti di luar kesatuan itu. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi. Kalau sampai terjadi konflik, maka akan diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri.[55]
Istilah keluarga sistem hukum biasa dipergunakan oleh para ahli perbandingan hukum untuk menyebutkan suatu tatanan organisasional yang paling penting dalam rangka penganalisisan sistem-sistem hukum di berbagai negara di dunia. Di dunia ini biasanya dikemukakan ada tiga keluarga sistem hukum, yaitu: (1) Civil Law System; (2) Common Law System; (3) Socialist Law System. Adapun kelompok sistem hukum yang ketiga, Socialist Law System dianggap berakar pada Civil Law System. Kriteria yang lebih luas diberikan oleh Esmein (1905) dengan membedakannya ke dalam lima keluarga sistem hukum, yaitu: (1) Romanistic; (2) Germanic; (3) Anglo Saxon; (4) Slavic; dan (5) Islam. Zweigert dan Kotz (1977) mengklasifikasikannya menjadi delapan keluarga sistem hukum, yaitu: (1) Romanistic; (2) Germanic; (3) Nodic; (4) Common Law Families; (5) Socialist; (6) Far Eastern Systems; (7) Islamic Systems; dan (8) Hindu Law. Sedangkan David dan Brieley mengadopsi sistem klasifikasi berdasarkan ideologi dan teknis hukum, sehingga muncul enam keluarga sistem hukum, yaitu: (1) Romano-Germanic; (2) Common Law; (3) Socialist; (4) Islamic; (5) Hindu dan Jewish; dan (6) Far East dan Black African.[56]
Ada sejumlah faktor yang dapat dijadikan indikator untuk menggolongkan sistem hukum negara-negara tertentu menjadi satu keluarga tersendiri. Faktor-faktor tersebut meliputi:
a.       Latar belakang sejarah dan pembangunan sistem hukumnya.
b.      Karakteristik khas dari cara berpikirnya.
c.       Pranata-pranatanya yang berbeda.
d.      Jenis-jenis sumber hukum yang dikenal dan penggunaannya.
e.       Ideologinya.[57]

Membuat hukum pidana Islam masuk sebagai satu formulasi dalam sebuah peraturan Negara memang menimbulkan beberapa pertanyaan, apalagi ketika penerapan hukum pidana Islam tersebut diterapkan di Negara yang tidak memberlakukan sistem hukum pidana Islam seperti Indonesia.
Dalam kerangka membicarakan kedudukan hukum pidana Islam sebagai cabang dari hukum Islam dalam sistem hukum nasional, pada tahun 1950 dalam konferensi kementrian kehakiman di Salatiga, Hazairin telah mengemukakan pandangan beliau mengenai masalah hubungan hukum agama (Islam) dengan hukum adat. Kata Hazairin (dikutip):
“Hukum agama masih terselip di dalam hukum adat yang memberikan tempat dan persandaran baginya, tetapi sekarang kita lihat hukum agama itu bersiap hendak membongkar dirinya dari ikatan adat itu. Arti istimewanya hukum agama itu ialah bahwa hukum agama itu bagi rakyat Islam dirasakannya sebagai bagian dari perkara imannya……”[58]

Dari pernyataan tersebut, Hazairin hendak mengatakan agar berlakunya hukum Islam untuk orang Islam Indonesia tidak disandarkan pada hukum adat, tetapi pada penunjukkan peraturan perundang-undangan sendiri. Sama halnya dengan dengan berlakunya hukum adat di Indonesia berdasarkan sokongan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Muhammad Daud Ali dalam Buku Hukum Islam.[59]

Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa di Indonesia:
a.       Hukum Islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum adat.
b.      Republik Indonesia dapat mengatur sesuatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.
c.       Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum nasional Indonesia adalah sederajat dengan hukum adat dan hukum Barat.
d.      Hukum Islam menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang di samping hukum adat, bukan hukum barat dan lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam Negara Republik Indonesia.[60]
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka jelaslah bahwa formulasi hukum Islam dalam hal ini hukum pidana Islam yang dilakukan dan diserahakan pelaksanaanya kepada Mahkamah Syar’iyah berada dalam posisi legal, karena dalam UU No. 18 tahun 2001 dinyatakan bahwa Pemerintah daerah Aceh diberikan wewenang untuk membuat suatu peraturan berdasarkan sistemnya sendiri. Hal ini juga menunjukkan bahwa undang-undang ini merupakan delegasi terhadap pemerintahan Istimewa Aceh yang menggunakan dasar hukum Islam dalam menentukan ketentuan pidana.


E.     Kedudukan Qanun Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Sistem Hukum Nasional

1.      Analisis Qanun Jinayat Berdasarkan Otonomi Daerah

Aceh adalah daerah propinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
Pelaksanaan syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara yuridis berdasarkan UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah diganti dengan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No. 62, TLN 4633).
Sebagaimana telah diatur dalam pasal 31 UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Aceh menyebutkan, bahwa ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan pemerintah ditetapkan dengan peraturan pemerintah, sedangkan yang menyangkut kewenangan pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 1 ayat (8) UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, disebutkan pengertian Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Pemerintahan Aceh diberikan kekuasaan dan wewenang yang lebih dari daerah lain di Indonesia untuk membuat peraturan daerah yang disebut dengan Qanun, sebagai peraturan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan diberikan kebebasan untuk membuat Qanun sebagai pelaksanaan dari UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Qanun merupakan peraturan setingkat dengan Peraturan Daerah yang khusus dibuat sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintahan daerah, dan hal-hal yang menyangkut dengan kewenangan pemerintah yang diatur dalam undang-undang otonomi khusus ini ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pelaksanaan otonomi khusus yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada Propinsi Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan undang-undang otonomi khusus Pemerintahan Propinsi Aceh tidak perlu lagi menunggu peraturan pemerintah sebagai pedoman penyelenggaraan pelaksanaan Pemerintahan Daerah Propinsi Aceh. Qanun disebutkan setingkat dengan peraturan daerah sebagai peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tingkat daerah dibuat untuk penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Undang-undang tersebut menitikberatkan pada otonomi khusus bagi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pelaksanaannya diletakkan pada daerah Kabupaten dan Kota atau nama lain secara provisional. Menurut Undang-undang ini, Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah peraturan daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dapat menyampingkan peraturan perundang-undangan lain, dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap Qanun.[61]
Supardan Modeong menyebutkan bahwa apabila dilihat dari sudut prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan, antara Peraturan Daerah (Perda) dengan Qanun adalah sama, yaitu peraturan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Daerah bersama-sama dengan Gubernur untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka otonomi daerah. Namun ditinjau dari sudut kekuasaan, mengatur Qanun berbeda dengan mengatur Perda, karena Qanun tidak tunduk pada Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres), sedangkan Peraturan Daerah tunduk kepada dua hal tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana peraturan perundang-undangan yang lain mempunyai kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan, maka demikian sama juga halnya dengan Qanun.[62]
Pemerintah pusat berwenang melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penyelenggaraan pelaksanaan pemerintahan daerah Propinsi Aceh. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 249 UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh: “Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal 218 UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan sebagai berikut:
1.      Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintahan yang meliputi:
a.       Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah,
b.      Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

2.      Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.

Pencegahan atau pembatalan yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap dua hal yaitu;
·         Pengawasan pencegahan (preventive) dan pencegahan yang bersifat membatalkan (repressive). Pengawasan pencegahan yaitu pengawasan yang bersifat mencegah supaya pemerintah daerah tidak mengambil kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·         Pengawasan yang bersifat pembatalan/pencabutan adalah pengawasan pencabutan atau pembatalan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintahan daerah.[63]
Posisi Peraturan Daerah dengan Qanun setingkat sebagai dasar penyelenggaraan pelaksanaan pemerintahan daerah yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi, bila bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut dapat dibatalkan atau dicabut oleh Mahkamah Agung sebagai kekuasaan judicial review terhadap peraturan yang lebih rendah dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga dapat dicabut oleh pemerintah pusat terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 pasal 31 ayat (2) dinyatakan bahwa “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.” Sedangkan pengertian Qanun, dalam pasal 1 angka 8 dinyatakan “Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus”.
Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah peraturan untuk melaksanakan otonomi khusus dalam hal yang menjadi kewenangan pemerintah propinsi. Dengan demikian walaupun dari satu segi qanun adalah peraturan daerah, tetapi dari segi lain qanun tidak tunduk kepada peraturan pemerintah karena qanun berada langsung di bawah undang-undang.
Memperhatikan realitas tersebut, penulis berpendapat bahwa peran negara untuk mewujudkan dan menegaskan syariat Islam merupakan condition sine quanon karena kewajiban negara atau pemerintah adalah sangat penting untuk melaksanakan hukum Islam di seluruh wilayah yang menjadi daerah kekuasaan hukum (yurisdiksi). Dalam kontek inilah tentunya negara berfungsi untuk memberikan kesejahteraan kepada warganya, karena sebagai suatu institusi sosial bukan hanya berurusan dengan seperangkat hukum dan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan, melainkan juga menyangkut kehidupan sosial manusia sebagai warga negara.
Penerapan syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu aspek kekhususan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga menerapkan otonomi khusus dibidang syariat Islam ini diharapkan menjadi refleksi pencitraan penerapan syariat Islam untuk kemaslahatan dan kesejahteraan ummat manusia.
Qanun tersebut sama sekali tidak melanggar undang-undang yang berlaku secara nasional, dan juga tidak melanggar hak asasi manusia. Mengenai soal hak asasi manusia, semua yang masuk dalam rumusan HAM ketika dibawa ke ranah lokal, itu memerlukan penyesuaian. Dalam konteks jinayat sekarang ini juga telah disesuaikan sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan ketentuan jinayat tidak akan melanggar HAM. Pengesahan Qanun tersebut merupakan klimaks irasionalitas politik perundang-undangan nasional Indonesia, yang menggenapi praktik positivisasi agama dalam negara. Meskipun Qanun diperbolehkan secara khusus di Aceh, tapi tidak boleh menyimpang dari hukum pidana nasional. Misalnya untuk perzinaan ada aturan hukumnya pada KUHP.
Sebagaimana dalam doktrin-doktrin ilmu hukum, keberlakuan hukum secara filosofis, sosiologis dan yuridis merupakan syarat mutlak untuk dapat membentuk peraturan yang baik, namun dalam kenyataannya ada peraturan daerah yang hanya mencerminkan satu keberlakuan saja antara lain hanya mencerminkan keberlakuan secara yuridis namun mengesampingkan keberlakuan secara sosiologis dan filosofis, begitupula sebaliknya.
Qanun Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah mencerminkan keberlakuan secara yuridis karena pembentukannya didasarkan pada norma yang lebih tinggi tingkatannya dan terbentuk menurut cara yang ditetapkan sesuai wewenang propinsi Aceh sebagai daerah pelaksana otonomi khusus. Adapun secara sosiologis, dikarenakan masyarakat di Aceh memang telah menerima syariah Islam sejak dahulu dan kondisi masyarakat Aceh yang homogen tentu saja lebih mendukung pelaksanaan Peraturan Daerah syariah Islam. Selain itu penerapan syariah Islam di Aceh terkait erat dengan political expediency Pemerintah Pusat guna mempertahankan NAD (Nangroe Aceh Darussalam) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara filosofis, uqubat yang terdapat dalam Qanun Jinayat tersebut sesuai dengan maqasid syariah yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.


2.      Analisis Qanun Jinayat berdasarkan Landasan Formil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan

Dalam Qanun Jinayat No. 12 tahun 2003 tentang khamar dan sejenisnya, qanun nomor 13 tahun 2003 tentang maisir, dan qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum), yang menjadi landasan formil konstitusionalnya terdapat persamaan, yaitu sebagai berikut:
a.       Alquran dan Hadits
b.      Pasal 29 UUD 1945.
c.       UU No. 24 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (LN RI tahun 1956 Nomor 64, Tambahan LN Nomor 1103).
d.      UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (LN RI tahun 1981 Nomor 76, Tambahan LN Nomor 3209).
e.       UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN RI tahun 1999 Nomor 60, Tambahan LN Nomor 3839).
f.       UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (LN RI tahun 1999 Nomor 172, Tambahan LN Nomor 3892).
g.      UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (LN RI tahun 2001 Nomor 114, Tambahan LN Nomor 4134).
h.      PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (LeN RI tahun 1983 Nomor 36, Tambahan LN Nomor 3258).
i.        PP No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi vertikal di daerah (LN RI tahun 1988 Nomor 10, Tambahan LN Nomor 3373).
j.        PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (LN RI Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan LN Nomor 3952).
k.      Keppres No. 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden (LN RI Tahun 1999 Nomor 70).
l.        Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1986 tentang Ketentuan Umum Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah.
m.    Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);
n.      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 2 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4);
o.      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5).
Adapun untuk Qanun Jinayat No.12 tahun 2003 tentang khamar dan sejenisnya, terdapat tambahan landasan formil konstitusionalnya yaitu :
a.       Keppres No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
b.      Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah.
Sedangkan untuk Qanun Jinayat No. 13 tahun 2003 tentang maisir, yang menjadi landasan formil konstitusionalnya dapat dirinci antara lain:
a.       UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (LN RI Tahun 1974 Nomor 54, Tambahan LN Nomor 3040).
b.      Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (LN tahun 1981 Nomor 10, Tambahan LN Nomor 3192).
Berdasarkan landasan-landasan formil konstitusional tersebut, penulis berpendapat bahwa qanun jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara yuridis mempunyai payung hukum yang kuat. Alquran dan hadits dijadikan sebagai landasan pertama yang merupakan sumber dasar hukum Islam. Hal tersebut bersesuaian dengan falsafah Pancasila sebagaimana terdapat dalam pasal 29 UUD 1945 yang mengatur tentang agama. Kemudian mengenai wewenang yang diberikan Undang-undang untuk Aceh dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (pasal 1 UU No. 24 tahun 1956) menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU No. 22 tahun 1999 jo pasal 1 angka (7) UU No. 44 tahun 1999).
Otonomi khusus untuk melaksanakan hukum pidana Islam tersebut selanjutnya diberi payung hukum sebagaimana dalam pasal 1 angka (8) UU No.18 tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 tahun 2006. Dalam pasal tersebut disebutkan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Selanjutnya untuk mengatur tentang pelaksanaan syariat Islam tersebut, dibuatlah Perda No. 5 tahun 2000. Sebagai badan pelaksana agar hukum Islam tersebut dapat ditegakkan dipayung hukumi dengan qanun No. 10 tahun 2002 dan qanun No. 11 tahun 2002.
Landasan formil konstitusional merupakan landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid atau competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan lembaga/badan tertentu mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dasar hukum kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan. Tanpa disebutkan dalam peraturan perundangan sebagai landasan yuridis formal, suatu lembaga/badan adalah tidak berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan. Dalam hal ini, qanun jinayat Propinsi NAD telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
Di dalam landasan yuridis formal selain menetapkan lembaga/badan yang berwenang membentuk, juga secara garis besar ditetapkan proses dan prosedur penetapannya. Demikian pula dalam pembentukan qanun jinayat Aceh tersebut  ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD (Pasal 136 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) karena kalau suatu Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala Daerah tanpa disetujui oleh DPRD maka Peraturan Daerah tersebut batal demi hukum (van rechtwegenietig).
3.      Analisis Qanun Jinayat berdasarkan Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan

Dalam Qanun Jinayat No. 12 tahun 2003 tentang khamar dan sejenisnya, yang menjadi landasan materiil konstitusionalnya adalah tujuan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang sejahtera, aman, tenteram, adil dan tertib guna mencapai ridha Allah. Selain itu juga, mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya merupakan pelanggaran terhadap syariat Islam, merusak kesehatan, akal dan kehidupan masyarakat dan berpeluang timbul maksiat lainnya.
Dalam Qanun Jinayat No. 13 tahun 2003 tentang maisir, yang menjadi landasan materiil konstitusionalnya adalah di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah perlu ditetapkan suatu peraturan, sehingga dapat mencegah seseorang melakukan perjudian yang merupakan salah satu perbuatan mungkar dan dilarang dalam syariat Islam dan agama lain, serta bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan maksiat lainnya.
Dalam Qanun Jinayat No. 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum), yang menjadi landasan materiil konstitusionalnya adalah guna terwujudnya tata kehidupan masyarakat yang tertib, aman, tenteram, sejahtera dan adil untuk mencapai ridha Allah yaitu dengan melaksanakan syariat Islam. Perbuatan khalwat/mesum termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarang dalam syariat Islam dan bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masayarakat Aceh karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan zina.
Hal tersebut juga sejalan dengan landasan materiil sebagaimana diatur dalam Perda Aceh No. 5 tahun 2000, bahwa kehidupan rakyat Aceh yang religius dan menjunjung tinggi ajaran Islam, merupakan modal dalam meningkatkan peran serta masyarakat untuk mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan serta memantapkan kemampuan daerah dalam menghadapi tantangan global.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat landasan-landasan materiil konstitusional qanun jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sejalan dengan maqasid syariah yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Hal tersebut juga sesuai dengan prinsip dalam doktrin Islam “hablun min Allah wa hablun min annas”, yaitu aspek ibadah dan aspek muamalah. Dengan kata lain, realisasi prinsip kesejahteraan itu semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat.
Qanun hanya mengatur apa yang didelegasikan oleh UU No. 18 tahun 2001, dan tugasnya hanya apa yang dikuasakan, sehingga tidak serta merta digeneralisasikan setingkat dengan Peraturan Pemerintah. Secara formal yuridis, syariat Islam di Aceh telah dilaksanakakan melalui Qanun Aceh yang oleh undang-undang ditetapkan berada langsung di bawah undang-undang. Dengan kata lain pemberlakuan syariat di Aceh sekarang ini adalah dalam kerangka pelaksanaan UUD 1945, dan hirarkis perundang-undangan Indonesia, bukan semata-mata karena perintah Allah atau perintah agama. Dengan demikian Alquran dan Sunnah sebagai dalil syara’ dan di bawah itu ijtihad para ulama sebagai dasar dan landasan penulisan qanun.
Qanun-qanun jinayat tersebut dibentuk sebagai upaya preventif agar pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Efektif dalam arti hukumannya tidak memerlukan adanya penjara yang tentunya memerlukan biaya, baik biaya konsumtif maupun biaya-biaya lainnya yang timbul karena perbuatan jinayat tersebut. Efisien artinya, hukuman yang diberikan dapat langsung sock terapi kepada pelaku jinayat, karena dicambuk di hadapan khalayak ramai.
Selain memberikan efek-efek sebagaimana telah disebutkan tersebut, qanun jinayat juga merupakan bentuk nilai-nilai hukum pidana Islam yang dilaksanakan di sebuah negara yang bukan berasaskan Islam. hal tersebut sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam UUD 1945 dan sesuai dengan teori eksestensi yang berarti hukum Islam itu ada di tengah-tengah hukum Nasional.

4.      Analisis Qanun Jinayat berdasarkan Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan sebagai Negara kekuasaan (machtstaat). Sebagai negara hukum, memiliki sistem hukum yang dikenal dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional adalah sistem hukum yang mengabdi pada kepentingan nasional. Sistem hukum nasional adalah sistem hukum yang berdasarkan pada konstitusi UUD 1945. Sistem hukum nasional terdiri atas sub sistem hukum antara lain; sub sistem peraturan perundang-undangan, sub sistem legislasi, sub sistem ini memiliki fungsi masing-masing dan membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan sistem hukum.
Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional. Peraturan perundang-undangan yang dibuat berdasarkan UUD 1945 adalah bagian dari sistem hukum nasional, baik peraturan perundang-undangan itu dibuat pada skala nasional maupun skala daerah.
Pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap berlakunya Perda yang berlaku dalam UU Pemerintahan Daerah sama juga terhadap Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Posisi Qanun dengan Peraturan daerah yang berlaku berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah setingkat dan semua keputusan dan kebijakan yang diambil daerah tetap berada dalam pengawasan pemerintah pusat. Karena itu kedudukan peraturan daerah dalam tata urutan pembentukan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia telah diatur dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 tetang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:

1.      Jenis dan hiearki Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
c.       Peraturan Pemerintah
d.      Peraturan Presiden
e.       Peraturan Daerah.
Tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut dengan sendirinya menempatkan Qanun sebabagai sub-sistem dalam tata peraturan perundang-undangan nasional. Sehingga Qanun setingkat dan sebagai peraturan daerah “plus” tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya.[64]
Sebagaimana disebutkan oleh Faisal Nasution:
“Keberadaan peraturan daerah di dalam sistem hukum nasional Indonesia adalah disebabkan Indonesia sebagai negara kesatuan menganut sistem desentralisasi pemerintahan pada bagian dari wilayah negaranya. Dengan dianutnya sistem desentralisasi yang selanjutnya melahirkan asas otonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (2) UUD 1945, maka setiap pemerintahan daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan pemerintahan yang menjadi otonomi daerahnya. Dalam hal bentuk pengaturan inilah pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah”.[65]
Mengutip pendapat Jimly Asshiddiqie, apabila mengikuti pemberlakuannya Qanun, para pembuat kebijakan, pencari keadilan dan juga para pengamat hukum secara umum sudah dapat memahami bahwa pemberlakuan Qanun dalam rangka penyelenggaraan pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat menyampingkan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi, yang dalam keadaan biasa tidak dapat disingkirkan oleh peraturan daerah. Akan tetapi, sebagai konsekuensi diberikan otonomi khusus kepada Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka produk legislatif daerah ini dapat saja menyimpang dan produk eksekutif di tingkat pusat. Misalnya suatu materi Qanun yang telah ditetapkan secara sah ternyata bertentangan isinya dengan materi Keputusan Presiden yang bersinggungan dengan otonomi khusus, maka Mahkamah Agung tentu harus menyatakan bahwa Qanun itulah yang berlaku untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sedangkan Keputusan Presiden atau Peraturan Menteri berlaku secara umum di seluruh Indonesia.[66]
Berdasarkan sistem norma hukum berjenjang (stufentheory) yang dianut Indonesia, suatu produk perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan kewenangan pemerintah daerah terkait dengan otonomi daerah, maka semua kewenangan daerah, baik kewenangan yang menjadi urusan wajib dan urusan pilihan dari masing-masing pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota, dapat menjadi materi muatan peraturan daerah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.
Dalam teori perundang-undangan, Peraturan Daerah (dalam hal ini Qanun Jinayat Aceh) merupakan bagian dari peraturan karena bersifat mengatur (regeling) bukan bagian dari ketetapan atau keputusan (beschikking). Artinya, norma hukum yang dikandung dalam Peraturan Daerah adalah norma hukum umum. Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum, addressat-nya untuk umum, orang banyak, atau semua warga negara. Berbeda dengan ketetapan atau keputusan (beschikking) dimana addresat-nya tertuju pada seseorang, beberapa orang, atau perindividu. Oleh karena itu, pembatalan sebuah peraturan harus dengan instrumen peraturan. Demikian pula pembatalan sebuah ketetapan atau keputusan seharusnya dilakukan dengan ketetapan atau keputusan serupa.
Meskipun Qanun Aceh adalah produk perundang-undangan di daerah, namun ia memiliki karakteristik dan kekuasaan tersendiri. Qanun Aceh yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dapat dibatalkan oleh presiden melalui Peraturan Presiden (Perpres) bila bertentangan dengan kepentingan umum, bertentangan dengan hierarki perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan antar sesama Qanun.
Sedangkan Qanun yang mengatur tentang penyelenggaraan kehidupan masyarakat Aceh, seperti Qanun syariat Islam tidak dapat serta merta dibatalkan oleh pemerintah. Qanun Syariat dapat dibatalkan melalui mekanisme yudicial review di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berwenang melakukan uji mareti (yudisial review) terhadap peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah undang-undang seperti peraturan Pemerintah (PP), peraturan Presiden (Perpres) dan lain-lain.
Qanun Aceh juga diberi kekuatan yuridis untuk mengatur materi-materi muatan, yang tidak dapat diatur dalam peraturan daerah pada umumnya. Walaupun Qanun Aceh adalah produk peraturan perundang-undangan di daerah, namun dia diberi kekuatan untuk mengatur ancaman pidana melampaui apa yang biasanya diatur oleh peraturan daerah pada umumnya. Kekuasaan yang dimiliki Qanun Aceh untuk mengatur meteri tertentu, bukanlah sesuatu yang menyimpang atau keluar dari hukum nasional. Ia tetap menjadi bagian hukum nasional karena kekuasaan itu diberikan kepada Qanun atas perintah undang-undang.
Berdasarkan logika yuridis tersebut, dapat dipahami bahwa ketentuan hukuman cambuk misalnya, yang diatur dalam Qanun Aceh yang ada selama ini adalah bagian dari hukum nasional karena keberadaannya diperintahkan secara implisit oleh undang-undang nasional baik UU No. 18 tahun 2001 (sebelum dicabut) maupun berdasarkan UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
Jadi, secara yuridis keberadaan hukum cambuk di Aceh cukup kuat, karena memiliki landasan yuridis yaitu UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Namun yang menjadi persoalan utama adalah konstruksi teoritis hukuman cambuk di aceh yang kelihatannya sebagian kalangan menganggap belum memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Keberadaan Qanun Nanggroe Aceh Darussalam dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia merupakan bentuk pengakuan pemerintah terhadap realitas hukum di daerah. Otonomi khusus merupakan payung bagi keberadaan Qanun di Aceh dalam percaturan perundang-undangan Indonesia. Bahkan konstitusi mengamanatkan bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus.
Kemandirian dalam berotonomi tidak berarti daerah dapat membuat Peraturan Daerah atau Qanun yang terlepas dari sistem perundang-undangan secara nasional. Peraturan Daerah atau Qanun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan sistem perundang-undangan secara nasional. Oleh karena itu tidak boleh ada perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya atau kepentingan umum.
Ruang lingkup kewenangan Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam membuat Qanun Jinayat telah diberikan batasan berdasarkan undang-undang. Namun ditemukan berbagai kekhasan dalam materi muatan Qanun yang secara khusus mencerminkan berbagai potensi yang dimiliki oleh suatu daerah otonom. Materi muatan Qanun tersebut sangat dipengaruhi oleh kultur budaya dan dinamika sosial politik.

5.      Analisis Substansi Hukum yang terdapat dalam Qanun Jinayat

a.      Qanun No. 12 tahun 2003 tentang Khamar dan sejenisnya.
Menurut pendapat penulis, Qanun No. 12 tahun 2003 tentang Khamar (minuman keras dan sejenisnya), secara substantif tidak memiliki kontradiksi dengan produk perundang-undangan lainnya. Penyebutan produk perundang-undangan lain dalam konsideran qanun ini menunjukkan bahwa qanun tersebut secara materil melandaskan diri pada produk undang-undang tersebut. Keputusan Presiden No. 3 tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah, dilihat dari sudut pendelegasian kewenangan penyusunan perundang-undangan, telah mengkonfirmasi bahwa qanun khamar tidak mengalami kontradiksi dengan undang-undang lainnya.
Secara umum, materi muatan Qanun Khamar sama persis dengan isi Keppres tersebut. Perbedaan yang paling prinsip terletak pada lingkup larangannya. Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 5 Keppres No. 3 tahun 1997, disebutkan bahwa memproduksi dan mengedarkan dan mengkonsumsi masih diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Larangan mengkonsumsi juga tidak berlaku di tempat-tempat khusus, seperti hotel, bar, dan lain sebagainya. Keppres hanya tegas melarang memperjualbelikan minuman beralkohol kepada siapa saja yang masih berusia di bawah dua puluh lima tahun. Hal itu berarti, sebenarnya tidak ada larangan meminum alkohol, sejauh mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Sementara itu Qanun tentang khamar, secara tegas melarang kepada siapa saja (subyek hukum qanun, umat Islam yang berdomisili di Propinsi NAD) untuk meminum minuman beralkohol. Tidak hanya mengkonsumsi, badan hukum atau badan usaha juga dilarang memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan, dan mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya.
Larangan secara total yang diatur oleh Qanun khamar juga dibenarkan oleh Keppres No. 3 tahun 1997. Di dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa secara implisit penggunaan minuman beralkohol sepenuhnya diserahkan kepada pengaturan dan izin yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati. Dengan demikian, sekali lagi, larangan minuman beralkohol di NAD, sebagai produk politik di tingkat lokal, memiliki justifikasi yuridis dan tidak bertentangan dengan produk perundang-undangan di atasnya.

b.      Qanun No. 13 tahun 2003 tentang Maisir.
Menurut pendapat penulis, Qanun No. 13 tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) juga tidak memiliki kontradiksi materil dengan perundang-undangan lainnya. Perjudian tidak hanya dilarang di Aceh, tapi di seluruh wilayah hukum Indonesia. Di samping mencantumkan Alquran dan Sunnah sebagai landasan utama, secara tegas konsideran qanun maisir juga mencantumkan UU No. 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Tidak ada yang baru dan berbeda dari qanun ini kecuali soal jenis pidana yang ditetapkan.
Hal tersebut dapat dilihat pada definisi dan larangan perjudian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 303 ayat (3):
“Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya”.

Dalam Pasal 1 ayat (20) Qanun No. 13 tahun 2003 tentang Maisir  disebutkan:
“Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/ atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran”.

Berdasarkan dua perbandingan tersebut, tidak ada perbedaan prinsipil jenis kejahatan antara yang diatur dalam KUHP dan qanun maisir. Berbeda dengan larangan minuman beralkohol, praktik judi sama sekali tidak dibenarkan di bumi Indonesia. Bahkan pasal 1 KUHP secara tegas “menyatakan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan”.
Selaras dengan uraian tersebut. Hal serupa dapat ditemukan pada konsideran UU No. 7 tahun 1974 pada bagian “Menimbang”, sebagai berikut:
1)   Bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan Agama, Kesusilaan dan Moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, Bangsa dan Negara;
2)   Bahwa oleh karena itu perlu diadakan usaha-usaha untuk menertibkan perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju kepenghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia;

Penegasan bahwa judi dilarang di semua wilayah Indonesia hingga lingkungan yang sekecil-kecilnya sampai menuju penghapusan sama sekali merupakan tujuan yang menggambarkan bahwa kejahatan umum perjudian ini jelas tidak dikehendaki kehadirannya. Dengan demikian, kehadiran qanun tentang maisir sama sekali tidak bertentangan dengan produk hukum lainnya. Hal tersebut dapat dilihat pada konsideran Qanun No. 13 tahun 2003 tentang maisir pada bagian “menimbang”, disebutkan:
1)      Bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, antara lain di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan dan peran Ulama dalam penetapan kebijakan daerah;

2)      Bahwa Maisir termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarang dalam Syariat Islam dan agama lain serta bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan maksiat lainnya;

c.       Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).
Menurut pendapat penulis, Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum), jika dilihat dari jenis perbuatan melawan hukumnya, bukan suatu hal yang baru. Hal yang sama ditemui dalam aturan kesusilaan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam qanun tersebut, khalwat didefinisikan sebagai perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Sementara dalam KUHP, hal-hal “kecil” seperti seperti melukis, menggambar, menuliskan kata, yang dapat membangkitkan birahi seseorang dapat dipidana (lihat Bab VI tentang Pelanggaran Kesusilaan pasal 532-536) yang merupakan perbuatan a susila bahkan mendapat hukuman.
Keduanya memiliki perbedaan orientasi hukum. Perbuatan khalwat akan tetap ditindak, baik dilakukan di tempat umum (terbuka) maupun di tempat tertutup. Artinya, orientasi hukum pengaturan khalwat adalah untuk kemaslahatan dan kemanfaatan pribadi seseorang dan juga orang lain. Manfaat pribadi agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada perbuatan zina yang dilarang oleh agama dan mengakibatkan dosa dan siksa di kemudian hari. Sementara manfaat bagi orang lain adalah melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan atau perbuatan yang merusak kehormatan.
Sebagaimana dikemukakan pada pasal 3 qanun tentang khalwat, tujuan larangan khalwat salah satunya adalah melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan seperti zina. [67]
Dalam KUHP perbuatan a susila akan ditindak sebagai pelanggaran hukum ketika dilakukan di muka umum. Sementara jika dilakukan ditempat tertutup tidak lagi menjadi obyek hukum. Orientasi hukum pidana tentang pengaturan kesusilaan ini mengarah pada upaya melindungi orang lain untuk tidak terganggu atau terpengaruh oleh tindakan yang menyebabkan timbulnya birahi orang lain.
Perbandingan antara Qanun tentang khalwat dan KUHP itu menunjukkan bahwa secara materil pengaturan khalwat tidak memiliki justifikasi dari produk perundang-undangan di atasnya. Bahkan dalam konsideran qanun tersebut tidak disebutkan KUHP sebagaimana ulasan di atas, padahal KUHP juga mengatur hal serupa. Konsideran utama yang disebutkan qanun itu adalah Alquran dan Sunnah serta perda No. 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Karena itu, secara materil qanun ini hanya memiliki justifikasi syariat Islam semata, meskipun ia tetap tidak bisa dipersoalkan (uji materil) karena berdasarkan UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001, NAD ditetapkan sebagai daerah yang diperintahkan oleh hukum untuk menjalankan syariat Islam.
Pengaturan khalwat jika dihadapkan pada UU No. 9 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, mengalami kontradiksi signifikan. Hak pribadi seseorang menjadi sangat terancam akibat adanya pengaturan yang sangat longgar. Restriksi terhadap akses perempuan ke wilayah publik, sebagai sesuatu yang sangat ditentang oleh UU RI No. 7 tahun 1984, telah menjadi fakta lapangan di Aceh.
Jika di satu sisi kehadiran qanun khalwat dianggap memiliki justifikasi politik, karena ia merupakan manifestasi dari pendelegasian kewenangan dalam penyusunanan peraturan daerah, sebagaimana diatur dalam UU Otonomi Khusus, maka di sisi lain ruang untuk mempersoalkan kontradiksi yang diidap dalam qanun juga dibenarkan oleh undang-undang yang sama.


F.     Prospek Qanun Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam dalam tinjauan Politik Hukum

1.      Landasan Politik Hukum Qanun Jinayat
Landasan politik hukum yang menjadi dasar qanun jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Piagam Jakarta dengan tujuh kata di dalamnya: “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tujuh kata tersebut dicoret dan sempat berdampak pada keberlakuan hukum Islam secara legal formal di Indonesia.  Melalui periode yang berliku, Piagam Jakarta tersebut kembali menjiwai UUD 1945 sebagaimana termaktub dalam Dekrit Presiden 1959.
Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif.
Pada dasarnya pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam dalam bidang hukum, kesadaran berhukum pada syariat Islam secara sosiologis dan kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan dewasa ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam di samping kearifan lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil menawarkan konsep hukum dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan li al ‘alamin).
Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui pluralitas hukum dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum adat dan hukum agama untuk lingkungan tertentu dan subyek hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan satu unifikasi hukum untuk beberapa bidang kehidupan. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima sebagai bagian dari tatanan hukum nasional.[68]
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa pemberian otonomi khusus kepada NAD dengan memberlakukan syariat Islam secara formal, merupakan perkembangan ke arah adopsi yang makin luas terhadap sistem hukum Islam yang bersesuaian dengan dinamika kesadaran hukum dalam masyarakat Indonesia yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan serta diwujudkan dalam esensi kelembagaan hukum yang dikembangkan dapat dikaitkan pula dengan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat filosofis dan ketatanegaraan.
Secara umum UUD 1945 mengakui dan menganut ide Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak saja ditegaskan dalam rumusan Pembukaan UUD yang menyebut secara eksplisit adanya pengakuan ini, tetapi juga dengan tegas mencantumkan ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu sebagai sila pertama dan utama dalam rumusan Pancasila. Bahkan, dalam Pasal 29 UUD 1945 ditegaskan pula bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam pasal 9 ditentukan: “bahwa setiap Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatan diwajibkan untuk bersumpah 'Demi Allah'”. Ide Ke-Maha Esaan Tuhan itu bahkan dikaitkan pula dengan ide Ke-Maha Kuasaan Tuhan yang tidak lain merupakan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam pemikiran kenegaraan Indonesia.
Prinsip Kedaulatan Tuhan itu berbeda dari paham teokrasi barat yang dijelmakan dalam kekuasaan Raja. Maka dalam sistem pemikiran ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, hal itu dijelmakan dalam prinsip-prinsipkedaulatan rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang selanjutnya akan menentukan haluan-haluan dalam penyelenggaraan negara berupa produk-produk hukum tertinggi, yang akan menjadi sumber bagi penataan dan pembinaan sistem hukum nasional. MPR-lah yang dijadikan sumber kewenangan hukum bagi upaya pemberlakuan sistem hukum Islam itu dalam kerangka sistem hukum nasional.
Dari perspektif Hukum Islam, proses pemikiran demikian dapat dikaitkan dengan pemahaman mengenai konsep 'theistic democracy' yang berdasar atas hukum atau pun konsep 'divine nomocracy' yang demokratis yang berhubungan erat dengan penafsiran inovatif terhadap ayat Alquran yang mewajibkan ketaatan kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada 'ulu al-amri'. Pengertian 'ulu al-amri' yang seringkali disalahpahami sebagai konsep mengenai 'pemimpin' (waliyu amri), justru dipahami sebagai konsep mengenai 'perwakilan kepemimpinan' atau 'para pemimpin yang mewakili rakyat (ulu al-amri). Karena itu, konsep parlemen dalam pengertian modern dapat diterima dalam kerangka pemikiran Hukum Islam, melalui mana norma-norma hukum Islam itu diberlakukan dengan dukungan otoritas kekuasaan umum, yaitu melalui pelembagaannya menjadi 'qanun' atau peraturan perundang-undangan negara.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa eksistensi hukum Islam dalam kerangka Sistem Hukum Nasional Indonesia sangat kuat kedudukannya, baik secara filosofis, sosiologis, politis, maupun yuridis. Meluasnya kesadaran mengenai reformasi hukum nasional dewasa ini justru memberikan peluang yang makin luas bagi sistem hukum Islam untuk berkembang makin luas dalam upaya memberikan sumbangan terhadap perwujudan cita-cita menegakkan supremasi sistem hukum sesuai amanat reformasi.
Sehubungan dengan itu, maka pengakuan dan penerimaan negara terhadap keberadaan subsistem hukum syariat Islam di Indonesia, memerlukan format atau bentuk hukum tertentu yang disepakati bersama. Dalam pasal 2 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan, disebutkan adanya tata urutan yang mencakup: UUD, Ketetapan MPR, Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah. Keputusan Presiden, dan Peraturan Daerah.
Dalam Pasal 2 ayat (7) Ketetapan MPR tersebut ditegaskan bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya, dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Memang benar, berdasarkan prinsip 'lex superiore derogat lex infiriore' maka secara hirarkis peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi. Akan tetapi, dalam hukum juga berlaku prinsip 'lex specialis derogat lex generalis' yang berarti bahwa peraturan yang khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. Karena itu, meskipun sudah ada peraturan yang tingkatannya lebih tinggi mengatur suatu hal, tetapi jikalau misalnya kondisi khusus daerah istimewa Aceh menghendaki ketentuan yang khusus dan berbeda, maka kekhususan itu dapat ditampung pengaturannya dalam bentuk Peraturan Daerah.
Berkenaan dengan pemberlakuan syariat Islam Aceh telah pula ditetapkan undang-undang yang bersifat khusus yan memungkinkan hal itu dilaksanakan segera. Karena itu, sejak berlakunya kebijakan otonomi daerah dan undang-undang khusus tersebut, pembentukan Peraturan Daerah yang berisi materi hukum syariat Islam sudah dapat segera dilakukan di Aceh. Tinggal lagi tugas para pakar membantu Gubernur dan para anggota DPRD di Aceh untuk menyusun agenda perancangan yang berkenaan dengan pembentukan Peraturan Daerah tersebut. Idealnya, Peraturan Daerah itu tidak lagi mengatur hukum syariat Islam dalam judul besarnya melainkan sudah mengatur hal-hal yang rinci dan spesifik.


2.      Otonomi Khusus Aceh dalam tinjauan Politik Hukum.
Dengan pemberlakuan syariat Islam dan dibentuknya lembaga Mahkamah Syar’iyah tampaknya ide tentang satu kesatuan hukum (unfikasi) itu lama-kelamaan akan kehilangan relevansinya atau runtuh dengan sendirinya.[69] Hal tersebut dapat dilihat pada adanya pluralisme dalam politik hukum nasional adalah pernyataan pada butir ke-2 TAP MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara tentang Arah Kebijakan Bidang Hukum yaitu :
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.

Menurut penulis, redaksi “menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat” dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 tidak bisa lagi dipahami seperti pemahaman-pemahaman sebelumnya bahwa hukum agama dan hukum adat merupakan bahan baku pembentukan hukum nasional. Namun, lebih dari sekedar itu, kedua sistem hukum itu diakui keberadaannya dan dapat saja diberlakukan secara positif bila masyarakat menghendakinya. Sehingga pemahaman terhadap pengertian unifikasi pun dengan sendirinya mengalami pergeseran pula. Apalagi bila fenomena itu dikaitkan dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
Sebagaimana diketahui, undang-undang tersebut secara konseptual telah memberikan suasana yang dalam beberapa hal berbeda dengan era sebelumnya. Hal itu dikarenakan dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah itu mengamanatkan untuk memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk mengembangkan berbagai potensinya dan mengubah paradigma pemerintahan yang sangat sentralistik dan serba terpusat. Dijelaskan dalam kedua UU tentang Otonomi Daerah tersebut, hanya bidang-bidang yang berkaitan dengan politik luar negeri, hankam, moneter, fiskal, peradilan, dan agama menjadi wewenang pusat, sisanya dikelola di daerah.
Kendati bidang peradilan dan agama menjadi kewenangan pusat, tetapi realitas berbicara sebaliknya. Pemahaman tentang peradilan hanyalah sebatas hierarki proses peradilan semata-mata bukan materi hukumnya. Artinya, konsep otonomi daerah mengisyaratkan dan memberi wewenang kepada daerah untuk mencari penyelesaian-penyelesaian sengketa hukum alternatif yang diharapkan lebih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Inilah yang secara nyata tergambarkan dalam kasus Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam. Artinya, pemberlakuan syariah Islam di Aceh melalui pemberian status otonomi khusus, terlepas adanya unsur-unsur politis di dalamnya, adalah gambaran nyata bahwa era pluralisme hukum akan bergulir terus dan merupakan keniscayaan dari diberlakukannya otonomi daerah.
Dengan demikian, bila unifikasi selama ini diasumsikan sebagai adanya satu kesatuan hukum di seluruh wilayah Nusantara, maka setelah berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah itu, unifikasi lebih dipahami sebagai satu kesatuan wilayah hukum nasional, terutama dikaitkan dengan aspek pembinaan aparatur dan hierarki kekuasaanya. Artinya, kendati Mahkamah Syar’iyah berhak untuk mengadakan sistem peradilan tersendiri tetapi muaranya tetap ke Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta.
Berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang mempunyai budaya Islam yang kuat. penerapan dan pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan salah satu bentuk kontrak sosial yang diciptkan dari keinginan masyarakat luas yang kemudian didukung dan dikembangkan dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan atas syariat Islam sebagai imam yang mengendalikan pelaksanaan tersebut.
Implementasi syariat Islam di Aceh merupakan sebuah upaya solusi konflik sosial. Konflik sosial dan pergolakan masyarakat Aceh untuk menentang pemerintah pusat dengan tujuan untuk merdeka tersebut diimplementasikan melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintahan pusat mengeluarkan UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus sebagai solusi politik. Tindak lanjut kesepakatan damai antara pemerintah pusat dengan Aceh adalah dengan dikeluarkannya UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pemberian hak melaksanakan syariat Islam di Aceh, secara yuridis merupakan perwujudan dari UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan keistimewaan atau Otonomi Khusus Aceh.
Berdasarkan hal-hal tersebut, konfigurasi politik di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah upaya pemerintah pusat untuk meredam pemberontakan dari masyarakat Aceh/GAM yang ingin melepaskan diri dari negara Kesatuan Republik Indonesia. Apabila melihat prospek qanun jinayat ini ke depannya, penulis berpendapat seperti diraikan terdahulu pada bab-bab sebelumnya bahwa secara filosofis, sosiologis syariat Islam merupakan nilai-nilai dan kebiasaan yang sudah lama tertanam dalam tradisi masyarakat Aceh yang berakar kuat, kemudian secara yuridis telah dilindungi oleh UU NO. 44 tahun 1999, perda No. 5 tahun 2000, kemudian UU No. 18 tahun 2001, selanjutnya UU No. 11 tahun 2006, untuk materi-materinya diatur dalam qanun-qanun. Kembali kepada sebuah pernyataan dari aliran Sociological Jurisprudence yang mengatakan:
Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal akan bertahan hidup. Unsur kekal dari hukum adalah pernyataan akal yang berdasar pengalaman dan diuji oleh pengalaman juga. Pengalaman dikembangkan oleh akal, akal diuji oleh pengalaman. Sehingga hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, kemudian diumumkan dengan wibawa oleh badan pembentuk undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat. Inti ajarannya adalah Living law in live.
Penulis memahami bahwa  Hukum positif yang baik dan karenanya efektif, adalah hukum positif yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup didalamnya, agar hukum positif yang berlaku di Indonesia tetap efektif dalam menghadapi perubahan dan perkembangan dinamika masyarakat haruslah menjadi hukum yang hidup di masyarakat dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi di Aceh saat ini.
Jadi, menurut penulis prospek qanun jinayat ini ke depannya akan bertahan dan berkembang karena sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 serta undang-undang lainnya, juga didukung dengan hukum yang hidup dalam masyarakat Aceh.






[1]J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York: New York University Press, 1975), h. 82 – 83 dalam tulisan “Studi Kritis terhadap pemberlakuan Syariat Islam sebagai Hukum Materiil dan Pembentukan Mahkamah Syar’iyah sebagai Lembaga Peradilan Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam”, disajikan sebagai bentuk partisipasi dalam kegiatan pemilihan peneliti remaja VI tahun 2007 yang diselenggarakan oleh LIPI.
[2]Lihat Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Lihat juga Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta, Rajawali Pers: 2009), h. 52-53.
[3]Realitas hukum kita di Indonesia, memberlakukan beberapa hukum di Indonesia, yaitu: Hukum Perundang-undangan (Ciri Eropa Continental), Hukum Adat (Customary Law), Hukum Islam (Moslem Law), dan Yurisprudensi Hakim. Sehingga para pakar hukum modern memasukkan Indonesia ke dalam Mix Law System atau Sistem Hukum Campuran. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum(Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana: 2009), h. 204.
[4]Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Segi tentang Prinsip-Prinsip dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 150-152.
[5]Hatta mengusulkan pengubahan rancangan Pembukaan UUD 1945. Hal ini dilakukan karena menerima keberatan dari kalangan rakyat Indonesia timur, tentang rumusan kalimat dalam Piagam Jakarta “dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Sehingga pada pertemuan bersejarah tersebut kemudian disetujui dengan melalui suatu kesepakatan yang luhur menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
[6]M. Sularno, Syariat Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia, Al-Mawardi, XVI, (2006), h. 211-212.
[7]Ibid.
[8]Al-Yasa’ Abu Bakar, Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005), h. 84.
[9]LIPI, Studi Kritis terhadap Pemberlakuan Syariat Islam sebagai Hukum Materiil dan Pembentukan Mahkamah Syar’iyah sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam, makalah dibuat sebagai bentuk partisiapasi dalam kegiatan pemilihan peneliti remaja VI tahun 2007, h. 1.
[10]Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Asas lex specialis derogaat lex generalis mempunyai arti bahwa peraturan yang khusus mengenyampingkan yang umum. Perlu dipikirkan kembali sejauh mana atau batasan-batasan dari suatu qanun sehingga dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan lain.  
[11]Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Logos, 2003), Cet. I, h. 152.
[12]Harith Suleiman Faruqi, Faruqi’s Law Dictionaru English-Arabic, ed. IV, (Beirut: Librarie Duliban, 1991), h. 415.
[13]Yan Paramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, (Jakarta: Aneka Semarang, 1997), h. 916.
[14]HA. Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru van Hoeve, FIKIMA, 1997), h. 571.
[15]Elizabeth A. Martin (editor) a Dictionary of Law, (New York: Oxford University Press, Â Fourth Edition, 1997), h. 259.  
[16]Indonesia, Tap MPR RI, Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999 beserta Perubahan Pertama atas UUD Negara RI Tahun 1945, (Jakarta: BP Panca Usaha. 1999) hal. 64.
[17]Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang Kusut), (Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), h. 5 dan 11.  
[18]Ismail Suny, Sekitar UUPA ((Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 114.
[19]Arskal Salim, “Pluralisme Hukum di Indonesia: Keberadaan Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional”, Harmoni, (Oktober – Desember, 2008,) h. 19.
[20]Ibid.
[21]Ibid, h. 21-22.
[22]Reza Fikri Febriansyah, makalah, Eksistensi Hukum Islam dalam Struktur Hukum Nasional Indonesia”, http// www.legalitas.org/2011/01/20.
[23] Secara Hierarki Produk hukum di bawah konstitusi (UUD 1945) dapat berupa: Undang-Undang (UU), PP Pengganti Undang-undang (Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (perda). Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10. Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[24]Suparman Ustman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 111. 
[25]Iehtijanto, “Pengembangan Teori berlakunya hukum Islam di Indonesia”, dalam  Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. ke-2, h. 137. 
[26]Ibid.
[27]Muchsin, “Kontribusi Hukum Islam terhadap Perkembangan Hukum Nasional”, Makalah, h. 18. t.d.
[28]Arskal Salim, “Pluralisme Hukum di Indonesia: Keberadaan Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional”, op. cit, h. 26.
[29]Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 tentang  Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, pasal 4 ayat (2): Pengujian Materiil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 4 ayat (3): Pengujian Formil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan  undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Kata “hal-hal lain” dapat berarti luas yaitu mencakup “menimbang”, “mengingat”, salah ketik, salah format, dan lain-lain.  
[30]Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill-co, 1992), h.17.
[31]Ibid, h. 12.
[32]Tim Peneliti Universitas Hasanuddin, hasil penelitian, Esensi dan urgensitas peraturan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan Universitas Hasanuddin, 2009, h. 31.
[33]Astim Riyanto, makalah, “Teknik Perancangan Peraturan Perundang-undangan”, disajikan dalam Pelatihan Kesekretariatan Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 28 Januari 2009 di Bandung, h. 5. 
[34]Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 88 – 89.
[35]Attamimi dalam Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis diserati Manual) Konsepsi Teoritis menuju Artikulasi Empiris, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), Cet. ke-2, h. 25. 
[36]Tim Peneliti Universitas Hasanuddin, hasil penelitian, Esensi dan urgensitas peraturan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, op.cit, h. 32.
[37]Bagir Manan dalam Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis diserati Manual) Konsepsi Teoritis menuju Artikulasi Empiris, op.cit, h. 6.
[38]Ibid, h. 24.
[39]Bagir Manan dalam Tim Peneliti Universitas Hasanuddin, hasil penelitian, Esensi dan urgensitas peraturan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, op. cit, h. 32.
[40]Widodo Ekatjahjana, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dasar-dasar dan Teknik Penyusunannya, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), h. 20.
[41]Astim Riyanto, makalah, “Teknik Perancangan Peraturan Perundang-undangan”, op. cit, h. 7.
[42]Tulisan Machmud Aziz dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vo.6 No.3 – September 2009, h. 591-593
[43]Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, (sebuah sketsa), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2003), Cet. II, h. 75. Lihat juga Agus Brotosusilo, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1986), h. 6.
[44]Attamimi dalam Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis diserati Manual) Konsepsi Teoritis menuju Artikulasi Empiris, op.cit, h. 17.
[45]Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis diserati Manual) Konsepsi Teoritis menuju Artikulasi Empiris op. cit, h. 11.
[46]Sri Wahyuni, “Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam)”,  Jurnal Mimbar Hukum, No. 59, Th. XIV, (al-Hikmah, 2003), h. 74. 
[47]Jazuni, Legislsi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), h. 9-10. 
[48]Tjuk Wirawan, Politik Hukum di Indonesia, (Jember: UPT Unej, 2004), h. 8. 
[49]Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 1-2. 
[50]Zainal Abidin Abu Bakar, “Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum, No. 9, Thn. IV, (Jakarta: Al-Hikmah, 1993), h. 56. 
[51]Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Sosiologis dan Filosofis), (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 2002), h. 99.
[52]Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, (New York; Harper and Raw Publisher, 7978), h. 29 – 52 dalam Ibid, h. 3.
[53]Ibid, h. 3 – 4.
[54]Sunarmi, makalah, “Membangun sistem peradilan di Indonesia”, http://www. library.usu.ac.id/download/fh/perdata-sunarmi3.pdf/2011/02/14.
[55]Sudikno Mertokusomo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1991), Edisi 3, h. 102 – 103.
[56]Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung: CV. Utomo, 1999), h. 162 – 163.
[57]Ibid.
[58]Konferensi pers kementrian kehakiman tahun 1950 dalam makalah, “Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah Dibuat sebagai Bentuk Partisiapasi dalam Kegiatan Pemilihan Peneliti Remaja VI Tahun 2007 yang Diselenggarakan oleh LIPI, h. 8.
[59]Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 235-236.
[60]Ibid.
[61]Lihat selengkapnya pada klausul penjelasan Umum UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
[62]Supardan Modeong, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, (Jakarta: Perca, 2003), h. 69.  
[63]Hanif  Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: Media Press, 1999), h. 27.  
[64]Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, 2002), h. 9. 
[65]Faisal Akbar Nasution, Peluang Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Syariah dalam Sistem Hukum Tata Negara Republik Indonesia, makalah disampaikan pada Komisi Fadwa Majelis Ulama Indonesia Propinsi Sumatera Utara, Muzakarah Ilmiah Rutin, Edisi Khusus Ramadhan 1427 H/2006 M. Medan 08 Oktober 2006.   
[66]Jimly Asshiddiqie, Reformasi dan Reposisi Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, (Jakarta: UI Press, 2000), h. 29.  
[67]Lihat pasal 3 huruf b Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).
[68]Todung Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional dan RUUPA (Dalam Buku Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila yang disusun oleh Zuffran Sabrie), (Jakarta: Pustaka Antara, 1990, h. 107. 
[69]Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 128.