QANUN JINAYAT PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DALAM SISTEM HUKUM
NASIONAL
Oleh: Rasyid Rizani, S.HI., M.HI
(Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa, NTT)
A.
Latar Belakang Masalah
Secara garis besar sistem hukum
di dunia dibagi menjadi tiga kelompok, di antaranya adalah: (1) sistem-sistem
yang masih mengakui syariah sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya
masih menerapkannya secara utuh; (2) sistem-sistem yang meninggalkan syariah dan
menggantikannya dengan hukum skuler; dan (3) sistem yang mengkompromikan dua
sistem tersebut.
Indonesia adalah negara hukum, yaitu mendasarkan semua
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara pada suatu hukum. Dalam suatu
tatanan hukum tersebut terdapat suatu sistem hukum. Sistem hukum yang dianut di
Indonesia merupakan Mix Law System yang mana di samping berlakunya hukum
perundang-undangan juga berlaku hukum Islam. Eksistensi hukum Islam
termanifestasi di dalam Konstitusi Negara Indonesia yang lazim dikenal dengan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). UUD ini merupakan hukum dasar
yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara guna terwujudnya suatu
pemerintahan yang adil dan rakyat yang sejahtera. Dalam kaitan kehidupan
berbangsa dan bernegara, konstitusi mengatur kehidupan beragama, yaitu
sebagaimana tercantum pada alinea keempat pada Pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Prinsip Ketuhanan yang ditanamkan
dalam UUD 1945 oleh the founding parents merupakan suatu perwujudan akan
pengakuan keagamaan. Dalam perspektif Islam,
hal ini memberikan pengakuan terhadap eksistensi agama Islam sebagai agama resmi dan hukum
Islam sebagai hukum yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan Pembukaan, pasal 29
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya, serta penafsiran Hazairin
atas pasal 29 ayat (1) UUD 45, hukum Islam merupakan sumber pembentukan hukum
nasional di Indonesia. Lebih lanjut menurut penafsirannya pula, di dalam Negara
Republik Indonesia tidak dibenarkan terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan
yang bertentangan dengan hukum Islam bagi umat Islam, demikian juga bagi umat
agama lain. Peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hukum
agama-agama yang berlaku di Indonesia bagi umat masing-masing agama
bersangkutan.
Ketetapan MPR RI No. IV/MPR-RI/1999 tentang
GBHN, Bab IV, Arah Kebijakan, A. Hukum, butir 2, menetapkan bahwa hukum Islam, hukum
Adat, hukum Barat adalah sumber pembentukan hukum nasional.
Menata sistem hukum nasional yang
menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum
Adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan nasional yang
diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan
tuntutan reformasi melalui legislasi.
Hukum Islam amat pantas menjadi
sumber pembentukan hukum nasional, karena dinilai mampu mendasari dan
mengarahkan dinamika masyarakat Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Hukum Islam mengandung dua
dimensi, yakni: pertama, dimensi yang berakar pada nash qat’i, yang bersifat
universal, berlaku sepanjang zaman, kedua, dimensi yang berakar pada nash zanni, yang merupakan wilayah ijtihadi
dan memberikan kemungkinan epistemologis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni
oleh umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara beragam, lantaran faktor sosiologis,
situasi dan kondisi yang berbeda-beda.
Upaya membentuk hukum positif
dengan bersumberkan hukum Islam, sebenarnya telah berlangsung lama di
Indonesia, namun masih bersifat parsial, yaitu: tentang perkawinan, kewarisan,
perwakafan, penyelenggaraan haji, dan pengelolaan zakat. Untuk mengupayakan
pembentukan hukum positif bersumberkan hukum Islam yang lebih luas dan selaras
dengan tuntutan perkembangan zaman diperlukan perjuangan gigih yang berkesinambungan,
perencanaan dan pengorganisasian yang baik, serta komitmen yang tinggi dari
segenap pihak yang berkompeten.
Selanjutnya mengenai Islam dalam
perspektif konstitusi, secara yuridis konstitusional, UUD 1945 memproteksi hak
warga negara mengenai kebebasan bagi pemeluk agama Islam untuk menjalankan
kewajibannya berdasarkan syariat Islam. Eksistensi ideologi Islam secara expressiv
verbis terdapat pada Pembukaan UUD 1945 sekaligus sebagai Pancasila yaitu, “Ketuhanan
yang Maha Esa” yang terkesan mengutip ayat pada Q.S. Al-Ikhlas ayat (1)
yaitu:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ
“Katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang
Maha Esa”.
Lebih lanjut pada pasal 29 ayat
(1) UUD 1945 disebutkan yaitu “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”
sehingga dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yan
tinggi yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
mencerminkan sifat bangsa yang percaya bahwa terdapat kehidupan lain di
masa nanti setelah kehidupan di dunia sekarang. Ini memberi dorongan untuk
mengejar nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka jalan bagi kehidupan
yang baik di masa nanti.
Di samping itu, dalam perspektif
konstitusi terdapat keseimbangan mengenai hubungan negara, hukum, dan agama.
Agama sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam,
terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam Pancasila.
Dalam proses sejarah terbentuknya
hukum nasional Indonesia, hukum Islam merupakan salah satu elemen pendukung
selain hukum adat dan hukum Barat. Hukum Islam telah turut serta memberikan
kontribusi norma-norma dan nilai-nilai hukum yang berlaku di dalam kehidupan
masyarakat Indonesia yang heterogen. Meskipun perlu disadari pula bahwa
mayoritas kuantitas penduduk muslim di suatu negara tidak selalu dapat diasumsikan
berarti juga “mayoritas” dalam politik dan kesadaran melaksanakan hukum
(Islam). Kecenderungan masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan bahwa
mayoritas muslim ingin semakin menegaskan diri dalam arti kekuasaan politik
serta aspirasi pembentukan dan penerapan hukum yang didasarkan dan bersumber
pada norma-norma dan nilai-nilai hukum Islam. Indikator yang mencerminkan
kecenderungan tersebut dapat dilihat dari lahirnya peraturan perundang-undangan
yang dalam ketentuan-ketentuannya menyerap jiwa dan prinsip-prinsip hukum Islam
serta melindungi kepentingan umat Islam. Kecenderungan yang paling signifikan
nampak dalam berbagai aspirasi umat Islam yang mengusulkan pencantuman isi
Piagam Jakarta dalam UUD 1945 serta penerapan hukum pidana Islam.
Berkaitan dengan kontribusi hukum
Islam dalam hukum nasional di Indonesia maka terdapat 3 (tiga) pola legislasi
hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:
1. Hukum
Islam berlaku untuk setiap warganegara dengan beberapa pengecualian. Pola ini
dikenal sebagai pola unifikasi dengan diferensiasi (contoh: Undang-Undang nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan).
2. Hukum
Islam diundangkan dan hanya berlaku bagi umat Islam (contoh: Undang-Undang nomor
44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa
Aceh).
3. Hukum
Islam yang masuk dalam peraturan perundang-undangan nasional dan berlaku untuk
setiap warganegara (contoh: Undang-Undang nomor 23 tahun 1990 tentang Kesehatan).
Sepanjang abad,
Aceh dikenal selain dengan pemberontakannya juga ketaatan beragamanya. Mereka
berjuang
melawan penjajahan Belanda, dan pada awal kemerdekaan Indonesia, mereka memberontak terhadap
pemerintah
pusat karena Jakarta tidak memegang janji untuk memberikan status daerah istimewa kepada Aceh.
Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) yang berjuang untuk memisahkan diri dari Indonesia
muncul pada tahun 1976 dan terus berlanjut maju mundur
hingga ditandatanganinya perjanjian perdamaian di Helsinki
pada tanggal 15 Agustus 2005. Pada pokoknya pemberontakan tersebut selalu
bersifat nasionalis dan pemimpin GAM tidak pernah menunjukkan
ketertarikan yang serius untuk bekerja sama dengan sesama kelompok Muslim di tempat
lain.
Lampu hijau untuk menerapkan
hukum Islam pada tahun 1999 merupakan bagian dari sebuah upaya
setelah jatuhnya
Presiden Soeharto untuk mendapatkan sebuah penyelesaian politik atas
konflik yang terjadi di Aceh. Hal ini
lebih didasarkan atas penilaian dari elit politis Jakarta
dan Aceh mengenai apa yang dapat meredam sebuah daerah yang menderita oleh konflik, pelanggaran
HAM
dan eksploitasi ekonomi selama bertahun-tahun. Hukum Islam mendapatkan
dukungan, khususnya karena sistem peradilan biasa yang
jarang sekali memberikan keadilan bagi masyarakat Aceh,
sudah tidak berfungsi sama sekali akibat perang. Syariat
dipromosikan sebagai sebuah obat mujarab: banyak yang berharap syariat akan
mampu menghapuskan penyakit sosial, menghasilkan sebuah masyarakat yang
egalitarian atau sederajat, dan meminjam kata-kata yang dipakai oleh seorang
akademis, membuat rakyat Aceh menjadi "jujur, hemat, rajin belajar dan
bekerja, setia, cerdas serta matang secara emosi.“
Aceh adalah salah satu daerah
dalam wilayah Republik Indonesia yang memiliki keistimewaan untuk menerapkan
syariat Islam secara kaffah. Legitimasi ini diberikan oleh
pemerintah pusat untuk memenuhi harapan masyarakat Aceh yang menginginkan
daerah ini berlaku hukum syariat sebagaimana dahulu kala di masa kesultanan
Aceh. Akhirnya pemerintah pusat menyetujui dengan membuat UU No. 44 tahun
1999 yang antara lain mengatur tentang syariat Islam di Aceh. Selanjutnya untuk
mengatur tentang pelaksanaan syariat Islam tersebut, dibuatlah Perda No. 5
tahun 2000.
Perda No. 5 tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Syariat Islam menyatakan bahwa seluruh aspek syariat
akan diterapkan, termasuk yang berhubungan dengan ‘aqidah,
ibadah, transaksi
ekonomi, akhlak, pendidikan dan dakwah agama; baitu al-mal;
kemasyarakatan, termasuk cara berbusana bagi Muslim; perayaan
hari raya Muslim; pembelaan Islam; struktur peradilan, peradilan
pidana dan
warisan. Membentuk wilayatu al-hisbah (WH) sebagai badan
pengawasan dan penegakan syariat, tetapi tidak ada perincian mengenai
bagaimana ia berfungsi.
UU No. 18 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (selanjutnya UU PNAD) membawa perkembangan baru di Aceh dalam
sistem peradilan. Pasal 25 –26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syar’iyah NAD
yang merupakan peradilan syariat Islam sebagai bagian dari sistem peradilan
nasional.
Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga
peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang
berlaku untuk pemeluk agama Islam. Kewenangan Mahkamah
Syar’iyah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Qanun PNAD. Qanun PNAD adalah
Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan dari wewenang yang diberikan oleh UU No.
18 tahun 2001 untuk mengatur daerah dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji
materiil terhadap Qanun. Mahkamah Syar’iyah
tersebut terdiri dari:
- Makamah Syar’iyah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda
sebagai pengadilan tingkat pertama;
- Mahkamah
Syar’iyah Propinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada di
ibukota Propinsi, yaitu di Banda Aceh.
Selain undang-undang ini masih
ada beberapa undang-undang yang lain tentang pemberlakuan syariat Islam di
Aceh, termasuk yang terakhir sekali disahkan yaitu UU No. 11 Tahun 2006 tentang
pemerintahan Aceh. Dalam pasal 125 ayat (1) undang-undang ini diatur bahwa
syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah dan akhlak;
ayat (2) syariat Islam tersebut meliputi: ibadah, ahwal al-syakhshiyyah
(hukum keluarga), mu’amalah (hukum perdata), jinayah
(hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan),
dakwah, syiar dan pembelaan Islam.
Qanun No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan
Syariat Islam untuk pertama kalinya memperluas jangkauan wewenang hukum
pengadilan agama hingga di luar hukum keluarga dan warisan, termasuk
transaksi ekonomi yang sebelumnya tidak termasuk dalam yurisdiksi pengadilan
agama, dan juga kasus-kasus pidana (jinayat). Mu’amalat meliputi masalah jual beli;
permodalan; bagi hasil pertanian; pendirian perusahaan; pinjam meminjam; penyitaan properti untuk
membayar hutang; hipotek;
pembukaan lahan; pertambangan; pendapatan; perbankan; perburuhan; dan
bermacam-macam bentuk infaq dan
sedekah.
Pelanggaran pidana
dibagi menjadi tiga kategori. Pelanggaran
hudud meliputi zina, tuduhan palsu tentang berzina; mencuri,
merampok, mengkonsumsi minuman keras, kemurtadan dan
pemberontakan, adalah pelanggaran yang hukumannya ditetapkan dalam
Alquran. Qishash diyat berhubungan dengan masalah
pembunuhan dan penganiayaan, dan biaya dari pelaku kepada keluarga
korban.
Pelanggaran ta’zir adalah pelanggaran di luar hudud
dan qishash, yaitu kejahatan yang mana hukumannya tidak ditetapkan dalam
Alquran, karena itu tergantung kebijaksanaan hakim. Pelanggaran ini termasuk
perjudian, penipuan, pemalsuan dokumen, khalwat, tidak
berpuasa dalam bulan Ramadan dan meninggalkan shalat. Ta’zir juga
dapat termasuk pelanggaran yang mengganggu ketertiban umum atau merusak
kepentingan umum seperti pelanggaran lalu lintas..
Qanun No. 11 tahun 2002
tentang pelaksanaan hukum
Islam di bidang
aqidah, ibadah dan syiar Islam adalah peraturan pertama yang melarang tingkah laku tertentu
di
bawah hukum Islam, antara lain, melarang penyebaran ajaran
sesat. Mengharuskan seluruh pemeluk Islam untuk berbusana Muslim yaitu pakaian yang menutup
aurat
(untuk laki-laki aurat termasuk lutut hingga pusar, untuk
perempuan seluruh tubuh kecuali telapak tangan, kaki dan wajah); tidak
transparan; dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Mewajibkan seluruh
kantor
pemerintah dan institusi-institusi pendidikan untuk mengharuskan busana
Muslim di tempatnya masing-masing. Terakhir, menugaskan Wilayatu al-Hisbah untuk
memberi
imbauan bagi para pelanggar dan memberlakukan hukuman ta’zir bagi
yang mengulangi perbuatannya. Qanun inilah yang digunakan untuk menghukum perempuan
yang tidak memakai jilbab.
Qanun No. 12, 13 dan 14/2003 tentang khamar
(menjual
dan mengkonsumsi minuman keras), maisir (judi) dan khalwat (larangan berduaan di tempat sepi
bagi
yang bukan muhrim) menganggap tiga perbuatan ini sebagai perbuatan. Untuk
pertama kali, hukuman secara Islam ditetapkan dalam peraturan hukum, khususnya hukuman cambuk.
Untuk efektivitas pelaksanaan
qanun ini di samping adanya lembaga penyidikan dan penuntutan, juga dilakukan
pengawasan yang meliputi upaya pembinaan si pelaku jarimah minuman khamar,
maisir dan khalwat oleh pejabat Wilayatu al-Hisbah. Di samping
itu juga kepada masyarakat diberikan peranan untuk mencegah terjadinya jarimah
minuman khamar, maisir dan khalwat dalam rangka memenuhi
kewajiban sebagai seorang muslim untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.
Salah satu contoh, terdapat
perbedaan hukuman dalam qanun nomor 13 tahun 2003 dengan KUHP pasal 303
terhadap jarimah maisir, dalam qanun diancam dengan uqubat
cambuk dan denda, sedangkan dalam KUHP diancam dengan hukuman penjara dan
denda. Ada dua kategori hukuman yang sama-sama dapat diberlakukan, hukuman yang
terdapat dalam qanun nomor 13 tahun 2003 tersebut hanya berlaku khusus di Aceh,
sedangkan hukuman yang terdapat di KUHP pasal 303 berlaku secara umum di
wilayah Indonesia.
Salah satu aliran dalam filsafat
hukum adalah aliran Sociological Jurisprudence, yang mengajarkan tentang
bagaimana hukum itu akan berlaku efektif dalam masyarakat. Menurut aliran ini :
“Hanya
hukum yang sanggup menghadapi ujian akal akan bertahan hidup. Unsur kekal dari hukum adalah pernyataan akal yang berdasar pengalaman dan
diuji oleh pengalaman juga. Pengalaman dikembangkan oleh akal, akal diuji oleh
pengalaman. Sehingga hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, kemudian diumumkan dengan wibawa oleh badan pembentuk undang-undang dalam masyarakat
yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat.
Inti ajarannya adalah Living law in
live.
Melihat perbandingan hukuman dari
dua peraturan tersebut, apabila dihubungkan dengan kutipan ajaran
aliran Sociological Jurisprudence, penulis
memahami bahwa hukum positif
yang baik dan karenanya efektif adalah hukum positif yang sesuai dengan living
law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan
nilai-nilai yang hidup di dalamnya.
Hukum positif yang
berlaku di Indonesia agar tetap efektif dalam menghadapi perubahan
dan perkembangan dinamika masyarakat, haruslah menjadi hukum yang hidup di
masyarakat dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
di masyarakat. Dengan
kata lain, hukum positif baru akan berlaku secara efektif apabila berisikan
atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini berdasarkan dari
tujuan hukum itu sendiri, yaitu :
1. Kepastian
(hukum harus ditegakkan: jika hukum yang ditegakkan dibuat tidak bersumber dari
aspirasi masyarakat luas, maka penegakan hukum menjadi semu);
2. Ketertiban
(hukum harus dipaksakan: jika hukum yang dipaksakan dibuat tidak berdasarkan
aspirasi masyarakat luas, maka pemaksaan menjadi otoriterisme);
3. Kedamaian
(tolok ukur kedamaian apabila kepentingan dan hak semua pihak terlindungi);
Qanun Jinayat adalah manifestasi
dari syariat Islam yang diberlakukan di Aceh. Aceh dapat dikatakan sebagai
Propinsi yang mengakui sistem syariah sebagai hukum asasinya sebagaimana telah
mempunyai payung hukum dengan undang-undang nomor 44 tahun 1999 dan
undang-undang nomor 18 tahun 2001. Dilihat dari perspektif nasional, negara
Indonesia adalah termasuk sistem negara yang ketiga, yaitu yang mengkui syariat
dan sistem hukum nasional berlaku bersama-sama dalam suatu Negara. Sebagaimana
diketahui, Indonesia bukanlah negara yang berideologi Islam, melainkan
Pancasila. Berdasarkan hal tersebut, ada suatu pertanyaan yang memerlukan
analisis mendalam tentang kedudukan Qanun Jinayat itu sendiri dalam peraturan
perundang-undangan di
Indonesia
Bertolak
pada latar belakang yang
telah dipaparkan tersebut,
dapat diambil pokok-pokok permasalahan yang menjadi bahan kajian dalam tulisan ini. Pokok masalah tersebut
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana
kedudukan Qanun Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan materi yang terkandung di dalamnya menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimana
prospek Qanun Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam tinjauan politik
hukum?
B.
Legislasi Hukum Islam di Indonesia
- Pengertian Legislasi
Dalam Faruqi’s
Law Dictionary, kata legislasi dimaknai dengan yasyra’u, yakni
mengundangkan, disebut juga qanunan, taqninan, atau tasyri’an. Istilah ini dalam Kamus
Edisi Lengkap: Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, sering disebut dengan “Wet
Geving” yaitu perundang-undangan.
Dalam
buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu
atau meniadakannya. Sementara dalam A Dictionary of Law dijelaskan
tentang pengertian hukum sebagai "Law is the enforceable body of rules
that govern any society or one of the rules making up the body of law, such as
Act of Parliament." (Hukum adalah suatu kumpulan aturan yang dapat
dilaksanakan untuk mengatur/memerintah masyarakat atau aturan apa pun yang
dibuat sebagai suatu aturan hukum seperti tindakan dari Parlemen).
Bagi
kalangan muslim fundamental, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah hukum
Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada Alquran dan hadist,
untuk kurun zaman tertentu lebih dikonkretkan oleh Nabi Muhammad dalam tingkah
laku Beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul.
- Dasar Legislasi Hukum Islam di Indonesia
Dasar legislasi
hukum Islam dalam UUD 1945 adalah pada pasal 29 ayat (1) dan Perubahannya. Hukum Islam
merupakan sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia. Dalam Negara Republik
Indonesia tidak dibenarkan terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan
yang bertentangan dengan hukum Islam bagi umat Islam, demikian juga bagi
umat-umat agama lain, peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan hukum agama-agama yang berlaku di Indonesia bagi umat masing-masing
agama bersangkutan.
Dalam Ketetapan
MPR RI No. IV/MPR-RI/1999 tentang GBHN, Bab IV, Arah Kebijakan, A. Hukum, butir
2, ditetapkan bahwa hukum Islam, hukum Adat, hukum Barat adalah sumber
pembentukan hukum nasional.
“Menata sistem
hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati
hukum agama dan hukum Adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan
kolonial dan nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan
ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui legislasi.
Islam sebagai
agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, tentu sangat berpengaruh
terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari
syariat yang dikandung agamanya. Melaksanakan syariat agama yang berupa
hukum-hukum, menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang dalam menjalankan
agamanya.
Sebagai
negara berdasar atas hukum yang berfalsafah Pancasila, negara melindungi agama,
penganut agama, bahkan berusaha memasukkan hukum agama ajaran dan hukum agama
Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan
kemajuan dunia saat ini, khususnya negara Indonesia, maka penerapan hukum
pidana Islam yang mulai diberlakukan seperti di Aceh harus mengikuti perubahan
zaman, tidak semata-mata lahirnya produk hukum seperti qanun penerapan syariat
Islam lebih pada kepentingan politik para kelompok. Titik berat penerapan hukum
pidana Islam dan syariat Islam harus memiliki serta menawarkan konsep hukum
yang lebih universal dan mendasarkan pada nilai-nilai esensial manusia.
Prinsip negara hukum sebagaimana
pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.” Persamaan di depan hukum di mana kepada seluruh
warga negara diberikan pelayanan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Namun,
bukan berarti pelembagaan hukum Islam bertentangan dengan prinsip di atas sebab
bunyi pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yakni: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan UUD 1945 ini harus dipandang sebagai
adanya kebebasan bagi kaum muslimin untuk melakukan aktifitas keperdataan
sesuai dengan konsep syariat Islam sebagai keyakinan yang dianutnya.
Penafsiran terhadap pasal 27 ayat
(1) dengan pasal 29 ayat (2) tersebut, tidak
perlu diletakkan pada posisi dikotomis dan kontradiktif, namun dalam hubungan lex
generalis dan lex spesialis. Persamaan di depan hukum bagi seluruh
warga, ini berlaku umum (lex generalis). Sedangkan semua penduduk diberi
hak untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing,
ini berlaku khusus (lex spesialis). Ada kekhususan hukum untuk pemeluk
agama tertentu.
- Landasan Historis
a.
Hukum Islam dalam
Konstitusi
Membicarakan
posisi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak
terlepas dari sejarah tentang keberadaan Piagam Jakarta dengan tujuh kata di
dalamnya: “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Walaupun draf Piagam Jakarta itu sudah disetujui pada
tanggal 22 Juni 1945 untuk menjadi preambule Konstitusi RI, namun pada tanggal
18 Agustus 1945 (sehari setelah proklamasi), tujuh kata tersebut dicoret dan
diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan dicoretnya tujuh kata
tersebut, tentu saja berdampak pada keberlakuan hukum Islam secara legal formal
di Indonesia. Hingga dua dekade pertama sejak merdeka (1945 – 1965), peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi hukum Islam hampir tidak
ada yang signifikan. Paling-paling hanya berkenaan dengan soal administrasi dan
pencatatan seputar masalah perkawinan.
Pembicaraan
mengenai posisi hukum Islam dalam konstitusi muncul kembali pada sidang
Konstituante (1957-1959) yang mempersiapkan UUD baru bagi Indonesia. Diskusi dalam sidang tersebut
mengalami kebuntuan karena tidak tercapainya kesepakatan tentang dasar Negara
dan posisi tujuh kata Piagam Jakarta dalam draf konstitusi yang dibahas oleh
anggota Konstituante. Untuk mengatasi krisis konstitusional tersebut, pada
tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang antara lain
berisikan diktum pernyataan kembali ke UUD 1945. Pernyataan ini didahului oleh
sebuah konsideran yang meyakini bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945
menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan
dengan konstitusi tersebut.
Walaupun
Piagam Jakarta diakomodasi dalam konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
konsensus yang menyeluruh tentang posisi konstitusional hukum Islam tidak
pernah tercapai. Penafsiran terhadap implikasi Dekrit tersebut bagi posisi
hukum Islam berbeda-beda tergantung pada masing-masing golongan dan sesuai
dengan kepentingan politik mereka. Bagi sebagian besar pemimpin Islam pada saat
itu, Dekrit itu bermakna pemulihan fungsi dan isi tujuh kata dalam Piagam
Jakarta yang dicoret sehari setelah proklamasi. Namun, menurut sejumlah besar
politisi bukan berasal dari partai Islam, konsiderans Dekrit yang menyatakan
bahwa Piagam Jakarta menjiwai kembali kepada UUD 1945 itu tidak lebih dari
sebuah dokumen historis dan sekedar pernyataan keyakinan pribadi Presiden
Soekarno yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum untuk membuat
peraturan perundang-undangan bagi umat Islam.
Sungguhpun
Piagam Jakarta diakui menjiwai UUD 1945 sebagaimana termaktub dalam Dekrit
Presiden 1959 dan dipercaya oleh sebagian besar tokoh Muslim sebagai sumber
hukum yang absah, keberadaanya pada masa awal Orde Baru tetap kontroversial.
Presiden Soeharto bahkan sampai memanggil pimpinan partai-partai Islam (NU,
Parmusi, PSII, dan Perti) untuk mencapai kesepakatan mengenai definisi atau
pengertian yang terkandung dalam tujuh kata Piagam Jakarta. Hingga penghujung
tahun 1968, panitia yang terdiri dari partai-partai Islam dan bertugas mengolah
pandangan bersama mengenai Piagam Jakarta itu tidak mampu mencapai kata sepakat
dalam mendefinisikan Piagam itu. Akhirnya ABRI meminta panitia itu untuk
berhenti di situ saja. Menurut pandangan ABRI, perdebatan pemaknaan Piagam
Jakarta hanya akan menambah gawat ketegangan-ketegangan di saat stabilitas Orde
Baru dinilai masih belum mantap. Sejak saat itu, Piagam Jakarta tidak pernah
lagi terdengar sebagai wacana hukum apalagi sebagai referensi peraturan
perundang-undangan nasional.
Tata
hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan
landasan dan arahan politik hukum terhadap pembangunan bidang agama (hukum
agama) dengan jelas. Menurut Mochtar Kusumatmadja, sila Ketuhanan Yang Maha Esa
pada hakekatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang
bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama.
Pasal 29 UUD 1945 menegaskan tentang jaminan yang sebaik-baiknya dari
Pemerintah dan para penyelenggara negara kepada setiap penduduk agar mereka dapat
memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa
negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi agama termasuk hukum-hukumnya,
melindungi dan melayani keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut.
Dalam
menghadapi era globalisasi, hukum nasional Indonesia harus mampu menjawab
tantangan fenomena global yang futuristik demi menjamin kelangsungan
penyelenggaraan kehidupan bernegara secara adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Dengan didampingi oleh kaidah-kaidah hukum Islam,
ditambah dengan nilai-nilai intrinsik dari hukum adat dan modernisasi positif
dalam hukum Barat, maka hendaknya hukum nasional bukan lagi merupakan
kodifikasi dari aturan-aturan yang ada, melainkan sebagai alat modifikasi bagi
terwujudnya kehidupan bernegara di Indonesia secara lebih baik.
Konstitusi
sebagai dasar dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengatur
secara dasar mengenai hukum di Indonesia dan menjadi landasan rujukan terhadap
konstitusionalitas produk hukum di bawahnya.
Konstitusi
memuat berbagai materi yang diatur. Materi muatan konstitusi mengenai kehidupan
umat beragama termasuk hak dan kewajibannya. Secara konstitusional dapat
ditemukan pada UUD 1945, yaitu:
a. Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat, yaitu: “…
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, …”(selaras dengan maksud surah Al-Ikhlas ayat 1:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ
artinya: “Katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan
Yang Satu (Tuhan Yang Maha Esa)”.
b. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yaitu: ”Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,…”(selaras dengan maksud surat
Albaqarah ayat 256:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 sÇËÎÏÈ
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam. Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang salah”.
c. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu: “…
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum, …”.
d. Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yaitu: “Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
b. Eksistensi Hukum Islam di Indonesia
Pasang surut formalisasi hukum Islam di Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh tiga teori yang berkembang sejak zaman kolonial Belanda dahulu, yaitu
teori receptie incomplexu, teori receptie, dan teori receptie
balik (receptie a contrario). Melalui ahli hukum Van den Berg, lahirlah
teori receptie in complexu, yang menyatakan bahwa syariat Islam secara
keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Atas pengaruh teori ini, maka
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan Peradilan Agama yang
ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk Agama Islam. Melalui Peradilan
Agama inilah pertama kali hukum Islam diformalkan di Indonesia. Namun, teori receptie
in complexu tersebut kemudian ditentang oleh van Vollenhoven dan Snouck
Hurgronje sebagai pencipta teori baru yaitu teori receptie yang
menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum adat, yaitu bagi setiap penduduk berlaku hukum
agamanya masing-masing, bagi orang Islam berlaku hukum agama Islam, demikian
juga yang lain.
Dengan
demikian, menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus
diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum Adat. Atas pengaruh teori ini, maka
pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan staatsblad Nomor 116.
Staatsblad ini mencabut wewenang yang dimiliki oleh Peradilan Agama dalam
persoalan waris dan masalah- masalah lain yang berhubungan dengan harta benda,
terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah
perkawinan dan perceraian. Sebagai pertentangan terhadap teori receptie,
kemudian muncul teori receptie a contrario yang dikemukakan oleh Sajuti
Thalib. Teori ini merupakan pengembangan dari teori Hazairin yang intinya
menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya. Dengan
demikian hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Hal ini sejalan dengan konsep Urf yang dikenal dalam Islam.
Teori
receptie a contrario ini dianggap berpengaruh besar terhadap lahirnya
Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Pasca runtuhnya rezim orde baru, di Aceh terjadi konflik besar
antara kelompok penuntut disintegrasi, atau yang kemudian dikenal dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah. Konflik yang berlangsung bertahun
tahun itu banyak menimbulkan korban, baik dari pemerintah, GAM maupun penduduk
sipil. Tuntutan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
yang sulit sekali untuk dibungkam berakhir pada pemberian otonomi khusus dari
pemerintah Indonesia kepada Aceh dengan Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 ini.
Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 memberi jaminan hukum tentang pelaksanaan
syariat Islam sebagai hukum materiil yang digunakan di Aceh, mengembangkan dan
mengatur pendidikan sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan dan
menyelenggarakan kehidupan adat dan peran serta kedudukan ulama dalam penerapan
kebijakan daerah. Apalagi kemudian diperkuat lagi dengan Undang-Undang nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan keleluasaan kepada Aceh
untuk membuat qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. Undang-Undang
tersebut menegaskan bahwa bidang ahwal al-syakhshiyyah, mu'amalah,
dan jinayah (masalah kejahatan) yang didasarkan atas syariat
Islam dapat diatur dengan qanun. Sampai tahun 2006, qanun yang sudah disahkan
di Aceh berupa Qanun nomor 11 tahun 2003 tentang aturan Syariat Islam, Qanun nomor
12 tahun 2003 tentang maisir, Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang khamar atau
minuman keras, serta Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat atau menyepi dengan
lawan jenis.
Dalam sejarah perjalanan hukum di
Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan
eksistensi. Teori eksistensi merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia, masa
lalu, masa kini, dan masa datang bahwa hukum Islam itu ada dalam hukum nasional
Indonesia baik tertulis maupun yang tidak tertlis dalam berbagai lapangan kehidupan
hukum dan praktek hukum. Teori
eksistensi dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang
adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia yaitu:
a.
Ada dalam arti
sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia.
b.
Ada dalam arti
adanya dengan kemandiriannya yang diakui adanya kekuatan dan wibawanya oleh
hukum nasional dan diberi status sebagai hukum Nasional.
c.
Ada dalam arti
hukum nasional dan norma hukum Islam (agama) yang berfungsi sebagai penyaring
bahan-bahan hukum nasional di Indonesia.
d.
Ada dalam arti
sebagai bahan utama dan unsur utama.
Jadi, secara eksistensial,
Kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional merupakan sub sistem dari hukum
nasional. Oleh karenanya, maka hukum Islam juga mempunyai peluang untuk
memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional,
meskipun harus diakui problema dan kendalanya yang belum pernah usai.
Secara sosiologis, kedudukan
hukum Islam di Indonesia melibatkan kesadaran keberagaman bagi masyarakat, penduduk
yang sedikit banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum, baik norma
agama maupun norma hukum. Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan
dari warga masyarakat yang harus dikembangkan secara searah, serasi
dan tidak dibiarkan saling bertentangan.
Dalam peraturan perundang-perundangan
terlihat kecenderungan makin kuatnya kedudukan hukum Islam dalam hukum
nasional. Ada tiga pola bentuk hubungan antara hukum agama dengan hukum
nasional, yaitu:
a.
Hukum agama khusus
untuk kaum beragama tertentu.
b.
Hukum agama
masuk dalam hukum agama secara umum yang memerlukan pelaksanaan secara khusus.
c.
Hukum agama
masuk dalam perundang-undangan yang berlaku untuk seluruh penduduk Indonesia.
Keberagaman yang bersandar pada nilai asasi manusia adalah modal faktual bagi
kehidupan bangsa dan bernegara, sehingga dalam bidang hukum yang agama-agama
yang mempunyai ajaran dan ketentuannya sendiri harus berwujud pluralitas hukum.
Pembangunan hukum yang tidak mungkin dicapai unifikasi sedapat mungkin
diupayakan terciptanya keharmonisan hukum.
Selain karena alasan sosiologis
dan alasan praktis-pragmatis, keeratan hubungan antara ulama dan umara serta
agama dan hukum dapat dilihat secara filosofis-politis dan yuridis. Secara
filosofis-politis, keeratan hubungan keduanya dapat dilihat dari perspektif
Pancasila yang menurut doktrin ilmu hukum di Indonesia merupakan sumber dari
segala sumber hukum. Di dalam Pancasila itu sendiri, agama mempunyai posisi
yang sentral. Di dalamnya, terkandung prinsip yang menempatkan agama dan
ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam posisi yang pertama dan utama. Demikian juga
dengan tinjauan yuridis, kedudukan agama dalam konteks
hukum dan keeratan hubungan antara keduanya dijamin menurut Pembukaan UUD 1945
dan pasal 29.
Untuk mewujudkan hukum Islam
dapat menjadi lebih prospektif dalam kodifikasi hukum nasional pada masa akan datang,
para legislator di tingkat pusat dan daerah rnerupakan prasyarat utama.
Putusan-putusan Pengadilan/Hakim yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat yang Islami turut berperan pula.
Penerapan formal hukum Islam
dapat diklasifikasikan menjadi lima level sebagai berikut:
a.
Masalah-masalah
hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian dan kewarisan.
b.
Urusan-urusan
ekonomi dan lembaga keuangan, seperti zakat, wakaf dan perbankan Islam.
c.
Praktik-praktik kewajiban
beragama, seperti berjilbab dan berpuasa Ramadhan, ataupun
pelarangan-pelarangan resmi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam,
seperti mengkonsumsi minuman beralkohol dan barang-barang
yang mengandung pornografi.
d.
Penerapan hukum
pidana Islam, terutama yang berkenaan dengan jenis-jenis sanksi hudud
dan qishash.
e.
Penggunaan Islam
sebagai dasar Negara dan sistem pemerintahan.
Lima level penerapan hukum Islam
tersebut disusun secara hirarkis, mulai dari yang terendah hingga yang
tertinggi bobotnya. Dua level pertama merupakan aturan hukum dalam wilayah
privat dan tiga level berikutnya meruapakan aturan hukum yang bersifat publik.
Hukum Islam dalam legislasi nasional hingga saat ini setidaknya telah mencapai
level kedua dengan relatif mantap. Namun, dalam legislasi regional atau lokal
melalui Qanun dan Perda di sejumlah wilayah tertentu, terlihat hukum Islam
sudah sampai pada level ketiga walaupun belum stabil sepenuhnya, bahkan di Aceh
sudah sampai pada level keempat.
Lembaga yang menjalankan dan
mengawasi terlaksananya hukum Islam yang diakui keberlakuannya oleh Negara
adalah Peradilan Agama, dan khusus untuk wilayah Aceh dilakukan oleh Mahkamah
Syar’iyah. Yurisdiksi Peradilan Agama, berdasarkan pasal 49 UU No. 50 tahun 2009
perubahan kedua atas UU No. 7 tahun 1989 meliputi kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (1) perkawinan; (2) waris;
(3) wasiat; (4) hibah; (5) wakaf; (6) zakat; (7) infaq; (8) shadaqah; dan (9)
ekonomi syariah.
Namun, sebagaimana diatur dalam pasal 50 UU ini disebutkan, pada ayat (1): dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa
lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek
sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum. Pada ayat (2); Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama
Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama
perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.
Adapun
untuk Mahkamah Syar’iyah memiliki keistimewaan tersendiri yang berbeda dari
Pengadilan Agama di propinsi lain di luar Aceh. Perbedaan pertama adalah soal
Nomenklatur. Mahkamah Syar’iyah kembali menjadi nomenklatur resmi peradilan
Islam di Aceh berdasarkan Keppres nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah
Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Propinsi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sedangkan perbedaan kedua adalah tentang kewenangan hukum yang dimiliki
Mahkamah Syar’iyah. Selain memiliki kewenangan sebagaimana peradilan agama di
luar Aceh, berdasarkan pasal 128 ayat (3) UU nomor 11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, memiliki kewenangan yang meliputi tiga bidang, yaitu: (1) Ahwal
al-Syakhshiyyah (hukum keluarga); (2) Mu’amalah
(hukum perdata); dan (3) Jinayah (hukum pidana) yang didasarkan
atas syariat Islam.
Perkara-perkara
yang dimaksud dalam ketiga bidang itu lebih lanjut diatur oleh qanun. Sejauh
ini, qanun yang telah ada berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyah yaitu:
a. Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat
Islam bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam.
b. Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan minuman
keras.
c. Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan perjudian.
d. Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat.
e. Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.
- Landasan Yuridis
a.
Landasan Formil dan Materiil
Konstitusional Peraturan Perundang-undangan
Landasan formil konstitusional peraturan
perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan legitimasi prosedural terhadap
pembentukan peraturan perundang-undangan yang dicantumkan dalam dasar hukum
“mengingat”. Kalau pembuatan atau prosedur pembuatannya tidak benar atau
menyimpang dari UUD 1945 dan UU Susduk DPR, DPD, dan DPRD dan jabarannya dalam
Peraturan Tata Tertib DPR/DPD (untuk UU) dan tata tertib DPRD (untuk Perda)
serta prosedur yang ditentukan dalam UU No. 10 tahun 2004 dan UU Pemerintahan
Daerah (bagi Perda), maka UU dan/atau Perda tersebut dapat dibatalkan secara
menyeluruh oleh Mahkamah Konstitusi (untuk UU) atau oleh Mahkamah Agung (untuk
Perda).
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka landasan formil
konstitusional peraturan perundang-undangan untuk:
a. Undang-Undang
Dasar (UUD) adalah pasal 3 ayat (1) UUD 1945 jo pasal 37 UUD 1945.
b. Undang-Undang (UU)
adalah pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (untuk RUU yang datang dari
Presiden/Pemerintah), pasal 20 UUD 1945, pasal 21 UUD 1945 (untuk RUU yang
datang dari DPR).
c. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah pasal 22 UUD 1945.
d. Peraturan
Pemerintah (PP) adalah pasal 5 ayat (2) UUD 1945.
e. Peraturan Presiden
(Perpres) adalah pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
f. Peraturan Daerah
(Perda) adalah pasal 18 ayat (6) UUD 1945.
Landasan materiil konstitusional peraturan
perundang-undangan ini kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans
“menimbang” dan dituangkan dalam norma-norma dalam pasal dan/atau ayat dalam
Batang Tubuh dan dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan suatu peraturan
perundang-undangan kalau kurang jelas.
Pencantuman pasal-pasal UUD 1945 sebagai landasan
materiil konstitusional peraturan perundang-undangan tersebut disesuaikan
dengan materi muatan yang akan dijabarkan dalam Batang Tubuh peraturan
peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya, akan dibentuk Qanun nomor 13
tentang maisir (perjudian), dicantumkan pasal 29 UUD 1945 karena pasal
ini memuat tentang agama.
Pasal-pasal UUD yang dijadikan landasan materiil
konstitusional tersebut kemudian diuraikan secara ringkas dalam konsiderans
“menimbang”, dan dijabarkan atau dituangkan lebih lanjut dalam pasal dan/atau
ayat dalam “Batang Tubuh” sampai dengan “Penjelasan” peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan kalau diperlukan.
Landasan formil dan materiil konstitusional peraturan
perundang-undangan kemudian diberikan landasan UU yaitu UU No. 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam lampiran UU No. 10
tahun 2004 ditentukan:
a. Butir 17:
Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi
latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan.
b. Butir 18:
Pokok-pokok pikiran pada konsiderans UU atau Perda memuat unsur-unsur
filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.
Butir 17-18 tersebut mencerminkan bahwa Peraturan Perundang-undangan
tertentu (khususnya UU dan Perda) harus mempunyai landasan formil dan materiil
konstitusional yang dituangkan dalam “menimbang” dan dasar hukum “mengingat”.
b.
Unsur-Unsur dalam Pembuatan
Peraturan Perundang-undangan
1) Unsur Filosofis
Unsur filosofis yang termuat dalam latar belakang
pembuatan suatu UU/Perda merupakan hakikat dari landasan formil dan materiil
konstitusional peraturan perundang-undangan. Unsur filosofis diuraikan secara
singkat dalam “menimbang” ini terkandung dalam:
1) Pembukaan UUD 1945
(tersurat/tersirat)
2) Aturan/norma dasar
(tersurat/tersirat) dalam pasal-pasal UUD 1945.
3) Kehidupan
masyarakat yang secara prinsip telah “dirangkum” dan “dimuat” dalam nilai-nilai
yang ada pada setiap sila dari Pancasila, atau:
4) Setiap
benda/situasi/kondisi yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam
rangka mencari kebenaran di atas kebenaran dari yang kan diatur (relatif).
Setiap
masyarakat selalu mempunyai “rechtsidee’, yakni apa yang masyarakat
harapkan dari hukum, misalnya hukum diharapkan untuk menjamin adanya keadilan,
kemanfaatan, dan ketertiban maupun kesejahteraan. Semua ini bersifat filosofis,
artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum
diharapkan mencerminkan sistem nilai baik sebagai sarana yang melindungi
nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.
Dasar
filosofis merupakan dasar filsafat atau pandangan hidup yang menjadi dasar
cita-cita sewaktu menuangkan hasrat ke dalam suatu rancangan / draft peraturan
perundang-undangan. Dasar filosofis bangsa Indonesia adalah Pancasila, sehingga
pada prinsipnya tidak dibuat dan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan
yang dibuat jika bertentangan dengan Pancasila sebagai filsafat dan dasar
negara Indonesia.
Peraturan Daerah dikatakan mempunyai landasan filosofis (filosofishe
grondslang) apabila rumusannya atau normanya mendapat pembenaran (rechtsvaardiging)
dikaji secara filosofis. Jadi, ia mempunyai alasan yang dapat dibenarkan
apabila sejalan dengan nilai-nilai yang baik. Misalnya, menganiaya hewan
sebelum disembelih untuk keperluan suatu pesta adat (paham yang berakar dari living
law). Jika larangan ini dikuatkan melalui Peraturan Daerah, maka ia
memperoleh landasan filosofis.
Seperti yang dikatakan oleh Astim Riyanto, guru besar ilmu hukum tata
negara spesialis hukum konstitusi, dalam pelatihan kesekretariatan Universitas
Pendidikan Indonesia pada tanggal 28 Januari 2009, bahwa landasan filosofis
berkaitan dengan harapan-harapan masyarakat akan kemanfaatan (kebahagiaan),
keadilan, dan kesejahteraan yang diwujudkan oleh hukum. Berarti suatu
perundang-undangan bernilai filosofis apabila membawa kemanfaatan, keadilan dan
kesejahteraan.
2) Unsur Sosiologis
Unsur sosiologis yang dimuat dalam latar belakang dibuatnya UU/Perda adalah konstatsi fakta atau keadaan nyata
dalam masyarakat. Misalnya: dalam Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat
unsur sosiologisnya adalah khalwat yang merupakan perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan
jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu
yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau
yang berpeluang pada tejadinya perbuatan perzinaan.
Apabila
para warga masyarakat mematuhi hukum di mana hukum itu diberlakukan. Soerjono
Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar
sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum:
1) Teori kekuasaan, secara sosiologis kaidah hukum
berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh masyarakat.
2) Teori pengakuan, kaidah hukum berlaku berdasarkan
penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.
Landasan
sosiologis merupakan landasan yang terdiri atas fakta-fakta yang merupakan
tuntutan kebutuhan masyarakat yang mendorong perlunya pembuatan peraturan
perundang-undangan (Perda ataupun Qanun), yaitu bahwa ada sesuatu yang pada
dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu pengaturan. Seperti di Aceh diatur tentang qanun larangan minum khamar,
maisir (judi) dan khlawat (mesum), karena masyarakat memerlukan
peraturan tersebut. Masyarakat Aceh dikenal dengan keberagamaannya untuk
menerapkan syariat Islam dalam formalisasi hukum pidana.
Suatu Peraturan Daerah dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila
ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal
ini penting agar Peraturan Daerah yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak
menjadi huruf mati belaka. Hal ini berarti bahwa Peraturan Daerah yang dibuat
harus dipahami oleh masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang
bersangkutan. Pada prinsipnya, hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum
yang hidup (living law) dalam masyarakat, dan jika tidak sesuai dengan
tata nilai, keyakinan dan kesadaran masyarakat tidak aka nada artinya, tidak
mungkin dapat diterapkan karena tidak dipatuhi dan ditaati.
3) Unsur Yuridis
Unsur yuridis yang dimuat dalam latar belakang
dibuatnya UU/Perda adalah berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang
ada baik yang menjadi dasar hukum “mengingat’ maupun yang berkaitan secara langsung
dengan substansi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yang harus diganti/dicabut atau diubah karena
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam masyarakat.
Apabila ketentuannya didasarkan pada norma yang lebih tinggi
tingkatannya (Hans Kelsen), atau bila terbentuk menurut cara yang telah
ditetapkan (W. Zevenbergen), atau apabila menunjukkan keharusan antara suatu
kondisi dan akibatnya (J.H.A. Logemann). Keberlakuan yuridis dari kaidah hukum
oleh Bagir Manan diperinci dalam syarat-syarat:
1) Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan
perundang-undangan.
2) Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis atau
peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau
diperintah oleh peraturan perundang-undangan lebih tinggi tingkatannya atau
sederajat.
3) Keharusan mengikuti tata cara tertentu.
4) Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dasar
yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukum/ dasar hukum untuk
pembuatan/perancangan suatu peraturan perundang-undangan.
Terkait
dengan hal tersebut, bahwa setiap norma hukum dianggap sah karena ia diciptakan
dengan cara ditentukan oleh norma lain. Suatu norma hukum yang lebih tinggi
menjadi dasar keabsahan norma yang dibentuknya (norma yang lebih rendah).
Landasan
yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber hukum/dasar hukum untuk
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Landasan yuridis ini dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Landasan yuridis dan sudut formal, yaitu landasan
yuridis yang memberikan kewenangan bagi instansi/pejabat tertentu untuk membuat
peraturan tertentu, misalnya pasal 136 UU No. 32 tahun 2004
memberikan landasan yuridis dan sudut formal kepada Pemerintah Daerah dan DPRD
untuk membuat peraturan daerah.
2) Landasan yuridis dan sudut materiil, yaitu landasan
yang memberikan dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu, seperti pasal 136
ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 memberikan kewenangan dibuatnya Perda tentang
Pembentukan Kelurahan.
Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan peraturan
karena akan menunjukkan, adanya kewenangan dari pembuat peraturan, adanya
kesesuaian bentuk dengan materi yang diatur, untuk menghindari peraturan itu
batal demi hukum dan agar tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang
lebih tinggi. Dengan demikian, landasan yuridis merupakan dasar hukum ataupun
legalitas landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi
derajatnya.
Landasan yuridis mensyaratkan agar setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memiliki dasar keabsahan, baik dasar keabsahan yang
bersifat formal maupun yang bersifat material. Dasar keabsahan formal berkaitan
dengan prosedur atau tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan
keabsahan yang bersifat material berkaitan dengan isi (substansi) atau materi
muatan dalam peraturan suatu perundang-undangan.
Suatu peraturan perundang-undangan dapat memenuhi kualifikasi yuridis
apabila: (1) mempunyai kekuatan hukum sah; (2) mempunyai kekuatan hukum
berlaku; dan (3) mempunyai kekuatan hukum mengikat. Suatu peraturan
perundang-undangan dikatakan mempunyai kekuatan hukum sah apabila peraturan
perundang-undangan tersebut dibentuk oleh lembaga/institusi/badan yang
berwenang. Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai kekuatan
hukum berlaku apabila peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Suatu
perundang-undangan dikatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila
peraturan perundang-undangan tersebut diundangkan/diumumkan. Suatu peraturan
perundang-undangan yang memenuhi kualifikasi yuridis akan berdampak kepada
adanya ketertiban hukum, kepastian hukum, dan perlindungan hukum, sehingga
hukum berfungsi sebagai alat pembaharuan masyarakat (law is a tool of social
engineering).
Selain landasan formil dan materiil konstitusional
tersebut, juga diberikan alas hukum yaitu dalam butir 26 UU No. 10 tahun 2004
yang berbunyi: dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan
Perundang-undangan dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan
pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan tersebut berisi landasan
formil dan materiil konstitusional apabila menyangkut UUD. Sedangkan, apabila
menyangkut Peraturan Perundang-undangan lain di bawah UUD dan TAP MPR disebut
landasan formil dan materiil yuridis.
Lon L.
Fuller memandang dari sudut pembentuk peraturan perundang-undangan, melihat
hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat. Asas-asas tersebut menurutnya
terkandung dalam principles of legality, yaitu :
1) Tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan
yang bersifat adhoc.
2) Peraturan yang sudah dibuat itu harus diumumkan.
3) Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut.
4) Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang
bisa dimengerti.
5) Suatu sistem tidak boleh mengandung
peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan
yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7) Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah
peraturan, sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.
8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan
dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Hamid S.
Attamimi dalam disertasinya setelah membahas berbagai bahan menyangkut asas
hukum dan asas pembentukan peraturan perundangan di Indonesia, merumuskan
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut di Indonesia,
meliputi:
1)
Asas-asas formal, dengan perincian: asas tujuan yang jelas; asas perlunya
pengaturan; asas organ/lembaga yang tepat; asas materi muatan yang tepat; asas dapatnya
dilaksanakan; dan asas dapatnya dikenali
2)
Asas-asas materiil, dengan perincian: asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma
fundamental negara; asas sesuai dengan hukum dasar negara; asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas
hukum; dan asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem konstitusi.
Agar suatu ketentuan hukum dapat berfungsi sebagaimana yang dikehendaki,
maka terhadap ketentuan hukum tersebut harus memenuhi ketiga dasar keberlakuan
hukum sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
1. Bila hukum hanya berlaku secara yuridis,
maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati (dode regal).
2. Jika hukum berlaku secara sosiologis,
(maka mungkin hukum berlaku dalam arti teori kekuasaan), maka kaidah tersebut
menjadi aturan pemaksa.
3. Apabila hanya berlaku secara filosofis,
maka mungkin hukum tersebut hanya
merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).
C. Pengaruh Politik terhadap
Hukum
Hukum adalah produk politik,
sehingga ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh
politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum.
Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek yaitu proses pembentukan ius
contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum yang akan
dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan
masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public
policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose
to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan
hukum.
Hukum adalah hasil tarik-menarik
berbagai kekuatan politik yang mengejawantah dalam produk hukum. Dalam hal ini
Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau
keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan
kepentingan-kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan
undang-undang menjadi medan perbenturan dan pergumulan kepentingan-kepentingan.
Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan
kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan
dalam badan pembuat undang-undang menjadi penting karena pembuatan
undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut
rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu.
Di samping konfigurasi kekuatan
dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari
luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut
dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik
secara sosial, politik maupun ekonomi. Di Indonesia intervensi
pemerintah dalam bidang politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara
berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah
sangat dominan di dalam mewarnai politik hukum di Indonesia.
Menurut Mahfud MD sebagaimana
dikutip oleh Zainal Abidin Abu Bakar bahwa politik hukum juga mencakup pengertian
tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi
kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum. Juga mempertimbangkan etik
hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum
itu bagi masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan
ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat.
Hukum
tidak mungkin dapat dipisahkan dengan politik, terutama dengan masyarakat yang
sedang membangun, pembangunan merupakan keputusan politik, dan pembangunan
membutuhkan legalitas dari sektor hukum. Dalam hubungan tolak tarik antara politik dan hukum,
maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki
konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum.
Dalam
kaitan kondisi politik dan hukum, Philippe Nonet dan Philip Selznick
mencetuskan suatu teori mengenai tiga keadaan dasar hukum dalam masyarakat,
yaitu:
a. Hukum represif, yaitu hukum yang merupakan alat
kekuasaan represif. Hukum represif banyak mengandalkan paksaan tanpa memikirkan
kepentingan yang ada di pihak rakyat. Pada umumnya, hukum represif mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
1) Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi
kekuasaan politik, hukum diidentikkan dengan raison d’etat.
2) Perspektif resmi mendominasi segalanya. Penguasa
cenderung mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
3) Kepentingan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan di
mana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya,
apabila keadilan semacam itu memang ada, adalah terbatas.
4) Badan-badan khusus seperti polisi misalnya menjadi
pusat-pusat kekuasaan yang bebas.
5) Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan kelas
dengan mengonsolidasikan dan mengesahkan pola-pola subordinasi sosial.
6) Hukum dan otoritas resmi digunakan untuk menegakkan
konformitas kebudayaan.
b. Hukum otonom, yaitu hukum sebagai pranata yang mampu
menjinakkan represi dan melindungi integritasnya sendiri. Ciri-cirinya adalah:
1) Hukum terpisah dari politik. Kemandirian badan
peradilan dan terdapat garis tegas fungsi-fungsi legislatif dan yudikatif.
2) Tertib hukum mendukung “model peraturan”(model of
rules). Ia membatasi kreativitas institusi-institusi hukum maupun resiko
campur tangan lembaga-lembaga hukum dalam wilayah politik.
3) “Prosedur adalah jantung hukum”. Keteraturan dan
keadilan (fairness) merupakan tujuan utama dan kompetensi utama dari
tertib hukum.
4) “Ketaatan pada hukum”.
c. Hukum responsif, yaitu hukum yang merupakan sarana
respons atas kebutuhan-kebutuhan dari aspirasi masyarakat. Karakteristiknya
adalah:
1) Dinamika perkembangan hukum meningkatkan otoritas
tujuan dalam pertimbangan.
2) Tujuan membuat kewajiban hukum semakin problematik,
sehingga mengendurkan klaim hukum terhadap kepatuhan dan membuka kemungkinan bagi
suatu konsepsi tatanan semakin tidak kaku dan semakin bersifat perdata.
3) Hukum memiliki keterbukaan dan fleksibilitas.
4) Di dalam lingkungan yang penuh tekanan, otoritas yang
berkelanjutan dari tujuan hukum dan integritas dari tatanan hukum tergantung
pada model institusi hukum yang lebih kompeten.
Ketiga tipe hukum tersebut harus dilihat sebagai berkaitan satu sama
lainnya di dalam suatu urutan perkembangan. “Hukum represif, hukum otonom dan
hukum responsif tidak merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda satu sama lainnya,
dapat juga diartikan sebagai tahap-tahap evolusi di dalam hubungan hukum dengan
tata politik dan tata sosial. Masing-masing tipe hukum berhubungan dengan suatu
problem lain dalam tata sosial.
Dalam hukum represif tata tertibnya sendiri yang menarik semua perhatian.
Hukum otonom mempermasalahkan problem legitimasi dari pada tata tertib sosial.
Legitimasi ini di dasarkan atas ide bahwa tata tertib sosial dapat dibuat sah
apabila penggunaan kekuasaan diletakan di bawah pengawasan dari prinsip-prinsip
konstitusional, prosedur-prosedur formal, dan institusi-institusi peradilan
yang bebas. Ini pada dasarnya adalah adalah cita-cita kekuasaan yang berdasar
hukum yang klasik liberal.
Dalam hukum responsif pada akhirnya yang dipermasalahkan adalah tujuan tata
tertib sosial. Tipe hukum ini berasal dari suatu hasrat untuk membuat hukum
lebih bertujuan di dalam melayani manusia dan institusi untuk mencapai, tidak
hanya keadilan yang formal, tetapi juga keadilan yang substantif. Model
perkembangannya dilandasi suatu dinamika dari dalam yang mendorong hukum
represif ke arah hukum otonom, dan hukum otonom ke arah hukum responsif.
Dalam
hal ini setiap tipe hukum yang lebih rendah akan berhadapan dengan
problem-problem yang tidak dapat dipecahkannya, kecuali ia bergerak ke suatu
tingkat yang lebih tinggi. Hukum represif, misalnya tidak bisa memecahkan
problem legitimasi selam ia tetap bersifat refresif; ia hanya mampu
memecahkannya apabila ia menjadi hukum otonom. Namun kelemahan utama dari hukum
otonom terletak di dalam tendensinya ke arah formalisme hukum, yang akan
mengurangi relevansi hukum untuk pemecahan problem, dan yang akan membuatnya
tidak peka terhadap tuntutan-tuntutan keadilan sosial.
Hukum otonom hanya akan mampu mengatasi kelemahan ini bila ia menjadi lebih
“responsif”. Lagi pula, penggunaan hukum sendiri menggerakan suatu dinamika
dari perkembangan. Seorang penguasa yang kuat dapat mengeluarkan aturan-aturan
sebagai saran kekuasaannya, akan tetapi ia tidak akan dapat memaksa semua
rakyatnya untuk patuh setiap waktu. Dia akan memperoleh tambahan kredibilitas
dan aturan-aturannya akan memperoleh tambahan legitimasi serta menarik kemauan
untuk menurut sendiri secara sukarela, bilamana aturan tersebut adil, bilaman
ia sendiri merasa terikat oleh aturan-aturan tadi, dan bilamana terdapat
pengadilan yang tidak berpihak yang akan menerapkan aturan dan memberikan
keputusan dalam pertikaian dan kejahatan secara tidak berpihak.
D.
Hierarki Berlakunya Peraturan Perundang-undangan
UUD 1945 pada periode pertama berlaku antara bulan
Agustus 1945 samapi dengan 1949, kemudian pada periode kedua berlaku pada
tanggal 5 juli 1959 sampai dengan 19 Oktober 1999, dan periode ketiga berlaku
sejak Perubahan Pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999 sampai saat ini hanya
menetapkan tiga jenis peraturan, yang disebut undang-undangan, peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU), dan Peraturan Pemerintah, yang
masing-masing dirumuskan dalam pasal-pasal sebagai berikut.
Pasal 5 ayat (1) sebelum Perubahan UUD 1945:
Presiden memegang
kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
dan kemudian diubah menjadi:
Pasal 20 sesudah Perubahan UUD 1945:
1)
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang.
2)
Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
3)
Jika merancang undang-undang itu tidak mendapat
persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
4)
Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang
telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
5)
Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan undang-undang tersebut dusetujui, rancangan undang-undang
tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundang-undangkan.
Pasal 22 ayat (1), - sebelum dan sesudah Perubahan UUD
1945:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, dan.
Pasal 5 Ayat (2)- sebelum dan sesuadah Perubahan UUD
1945:
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagai mana mestinya.
1. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan UU No. 1 tahun 1950
Hierarki peraturan perundang-undangan mulai dikenal
sejak dibentuknya Undang-undang No. 1 tahun 1950 yaitu peraturan tentang jenis
dan bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah pusat, yang
ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950.
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1950 dirumuskan
sebagai berikut:
Pasal 1: Jenis
peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a.
Undang-undang dari Peraturan pemerintah Pengganti
Undang-undang.
b.
Peraturan Pemerintah.
c.
Peraturan Menteri.
Pasal 2: Tingkat
kekuatan peraturan-peraturan pemerintah pusat ialah menurut urutannya pada
pasal 1.
Beradasarkan rumusan dalam pasal 1 dan pasal 2
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Peraturan Menteri merupakan salah satu jenis
peraturan perundang-undangan, yang terletak di bawah peraturan pemerintah.
Kedudukan peraturan menteri yang terletak di bawah Peraturan Pemerintah (dan
bukan dibawah keputusan Presiden) secara hierarkis dapat dimengerti, oleh
karena Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menganut sistem parlementer, sehingga
Presiden hanya bertindank sebagai Kepala Negara dan tidak mempunyai kewenangan
untuk membentuk keputusan yang bersifat mengatur.
2. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum
DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia, Tidak disinggung hal-hal mengenai
garis-garis besar tentang kebijakan hukum Nasional. Tetapi ketetapan MPR ini
menentukan antara lain mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia, Yaitu
Pancasila yang dirumuskan sebagai sumber dari segala sumber Hukum, dan
mengenai tata urutan peraturan perundangan Republik Indonesia.
Dalam Ketatapan MPRS tersebut diuraikan lebih lanjut
dalam lampiran I bahwa perwujudan sumber dari segala sumber hukum Republik
Indonesia adalah:
a.
Peroklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
b.
Dekrit 5 Juli 1959.
c.
Undang-undang Dasar Proklamasi.
d.
Surat Perintah 11 Maret 1966.
Selain itu, dalam Lampiran II tentang “Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar
1945” dirumuskan sebagai berikut:
a.
Bentuk-bentuk Paraturan Perundangan.
1)
Bentuk-bentuk peraturan Perundangan Republik Indonesia
menurut Undang-undang Dasar 1945 ialah sebagai berikut:
·
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
·
Ketetapan MPR,
·
Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang,
·
Undang-Undang.
·
Peraturan Pemerintah,
·
Keputusan Presiden.
Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
·
Peraturan Menteri,
·
Intruksi Menteri,
·
Dan lain-lainnya.
2)
Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang
dijelaskan dalam penjelasan autentik undang-undang Dasar 1945, Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Adalah bentuk peraturan perundangan yang tertinggi,
yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan-peraturan bawahan dalam
Negara.
3)
Sesuai pula dengan prinsip Negara Hukum, maka setiap
peraturan perundangan harus bersumber dan berdasar dengan tegas pada peraturan
perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya.
b.
Urutan Undang-undang.
1)
Undang-undang Dasar.
Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam
pasal-pasal Undang-undang Dasar adalah ketentuan-ketentuan yang tertinggi
tingkatnya yang pelaksanaannya dilakukan dengan ketetapan MPR, Undang-undang
atau Keputusan Presiden.
2)
Ketetapan MPR.
a)
Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam
bidang legislatif dilaksanakan dengan undang-undang.
b)
Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam
bidang eksekutif dilaksanakan dengan keputusan Presiden.
3)
Undang-undang.
a)
Undang-undang adalah untuk melaksanakan Undang-undang
Dasar atau Ketetapan MPR.
b)
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan peraturan-peraturan sebagai pengganti Undang-undang.
(1). Peraturan pemerintah itu harus
mendapat persetjuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(2). Jika tidak mendapat persetujuan, maka
peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
4)
Peraturan Pemerintah.
Peraturan pemerintah adalah memuat aturan-aturan umum
untuk melaksanakan undang-undang.
5)
Keputusan Presiden.
Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat
khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang
Dasar yang bersangkutan, Ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau Peraturan
Pemerintah.
6)
Peraturan-peraturan Pelaksanaan Lainnya.
Peraturan-peraturan Pelaksanaan Lainnya:
Peraturan Menteri, Instruksi Manteri dan lain-lainnya,
harus dengan tegas berdasar dan bersumber pada peraturan perundangan yang lebih
tinggi
Dengan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 juga mengakui adanya suatu sistem norma hukum
yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, di mana suatu norma itu berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan diakui pula adanya
norma tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi norma-norma dibawahnya
seperti Grundnorm dalam teorinya Hans Kelsen dan Staatfundamentalnorm
dalam teorinya Hand Nawiasky.
Norma-norma hukum yang berlaku dalam sistem norma
menurut Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 adalah berturut-turut Undang-Undang
Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, peratururan
Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan-peruturan Pelaksana lainnya
seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya.
3. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan ketetapan MPR No. III/MPR/2000.
Dalam konsideran Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan antara
lain dirumuskan sebagaimana berikut:
a.
Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan atas hukum perlu mempertegas sumber hukum yang merupakan pedoman
bagi penyusunan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia;
b.
Bahwa untuk dapat mewujudkan supremasi hukum perlu adanya
aturan hukum yang merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan tata urutannya;
c.
Bahwa dalam rangka memantapkan perwujudan otonomi
daerah perlu menempatkan peraturan daerah dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan;
d.
Bahwa Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia berdasarkan ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 menimbulkan kerancuan pengertian, sehingga tidak dapat
lagi dijadikan landasan penyusunan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan beberapa alasan tersebut, dan berdasarkan
Putusan Rapat Paripurna ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sedangkan Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, telah ditetapkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
tentang sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai
pengganti Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPRGR mengenai
sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundangan
Republik Indonesia.
Masalah hierarki peraturan perundang-undangan menurut
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1:
1)
Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk
menyusun peraturan perundang-undangan.
2)
Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan
tidak tertulis.
3)
Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila
sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu
Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuaan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permsyawaratan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang
tubuh Undang-undang Dasar 1945.
Pasal 2:
Tata urutan peraturan Perundang-undangan merupakan
pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawah ini;
Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia adalah:
1)
Undang-undang Dasar 1945.
2)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia.
3)
Undang-undang.
4)
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang (PERPU).
5)
Peraturan Pemerintah.
6)
Keputusan Presiden.
7)
Peraturan Daerah.
Pasal 3:
1)
Undang-undang dasar 1945 merupakan hukum dasar
tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam
penyelenggaraan negara.
2)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
merupakan putusan majelis Permusyawaratan Rakyat pengemban kedaulatan rakyat
yang ditapakan dalam sidang-sidang Majelis permusyawaratan Rakyat.
3)
Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
bersama Presiden untuk melaksanakan Undang-undang Dasar 1945 serta ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
4)
Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang dibuat
oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a)
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus
diajukan ke Dewan Perwaklan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
b)
Dewan perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak
peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan tidak mengadakan perubahan.
c)
Jika ditolak dewan Perwakilan Rakyat, peraturan
pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus dicabut.
5)
Peraturan pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk
melaksanakan perintah undang-undang.
6)
Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh
Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan
administrasi negara dan administrasi pemerintahan.
7)
Peraturan daerah merupakan peraturan untuk
melaksanakan aturan hukum yang diatasnya dan menampung kondisi khusus dari
daerah yang bersangkutan.
a)
Peraturan daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan
rakyat daerah provinsi bersama gubernur.
b)
Peraturan daerah kabupaten / kota dibaut oleh dewan
perwakilan rakyat daerah kabupaten/ kota bersama bupati/ walikota..
c)
Peraturan desa atau yang setingkat. Dibuat oleh badan
perwakilan desa atau yang setingkat. Sedangkan tata cara pembuatan peraturan
desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten/ kota yang
bersangkutan.
Pasal 4:
1)
Sesuai dengan urutan peraturan perundang-undangan ini,
maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
aturan hukum yang lebih tinggi.
2)
Peraturan atau keputusan Mahkamah Agung, badan
Pemeriksa keuangan, menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ini.
Peraturan tentang hierarki peraturan
perundang-undangan dalam ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum
dan tata urutan peraturan perundang-undangan, tidak dapat dilepaskan
dengan keempat pasal diatas. Oleh karena ketentuan dalam keempat pasal tersebut
sangat erat kaitannya. Selain itu, berdasarkan keempat pasal tersebut terdapat
permasalahan yang sangat mendasar, sehingga memerlukan kajian dan pemahaman
yang bebar terhadap ketentuan yang dirumuskan didalamnya dan prektek
ketatanegaraan yang berlaku di Negara Republik Indonesia, khusunya dalam sistem
perundang-undangan.
4. Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan UU No. 10 tahun 2004.
Setelah selesainya perubahan keempat Undang-undang
Dasar 1945 dan ditetapkannya ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan
terhadap materi dan setatus hukum ketetapan majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, maka Dewan Perwailan
Rakyat mengajukan rancangan undang-undang tentang tata cara pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Setelah melalui proses pembahasan, rancangan
undang-undang tersebut kemudian disahkan dan diundangkan menjadi Undang-undang
No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan Perundangan-undangan, yang
dinyatakan muali berlaku pada tanggal 1 November 2004.
Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan pula tentang
jenis dan hierarki peraturan perundangan-undangan dalam pasal 7. yang
dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 7:
1)
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah
sebagai berikut:
a)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b)
Undang-undang/Peraturan Pemerintahan Pengganti
undang-undang;
c)
Peraturan Pemerintah
d)
Peraturan Presiden
e)
Peraturan Daerah.
2)
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e meliputi:
a)
Peraturan Daerah Provinsi dibaut oleh dewan perwakilan
rakyat daerah perwakilan rakyat daerah provinsi bersama gubernur;
b)
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati walikota;
c)
Peraturan desa/peraturan yang setingkat, diabuat oleh
badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama
lainnya.
3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan
peraturan desa/peraturan yang setingkat diatur dengan perundangan daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan.
4)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
5)
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah
sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dalam penjelasan pasal 7 dinyatakan bahwa ayat (1),
ayat (2) huruf b dan huruf c, serta ayat (3) adalah “Cukup jelas”, sedangkan
ayat-ayat yang lainnya diberi penjelasan sebagai berikut:
Ayat (2): Huruf a: termasuk dalam jenis
Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di daerah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.
Ayat (4). Jenis peraturan
Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang
dikelaurkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dewan Perwakilan Rakyat,
dewan perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
keuangan, Bank Indonesia, menteri, Kepala badan, Lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah
undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota, Bupati/
Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Dalam hal
pemberlakuan hukum, hukum ketatanegaraan Indonesia menganut teori berjenjang (Stufen
Theory) dari Hans Kelsen. Teori tersebut mengandung ajaran- ajaran sebagai
berikut:
a. Dasar berlakunya dan legalitas suatu norma
terletak pada norma yang yang ada di atasnya (dari bawah ke atas), atau
b. Suatu norma yang menjadi dasar berlakunya
dan legalitas norma yang ada di bawahnya (dari atas ke bawah)
c. Secara acak, diambil dua norma saja, bisa
dari bawah bisa dari atas atau dari atas ke bawah seperti pada uraian pada
huruf a dan b di atas.
Hierarki
Peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
secara terperinci meliputi:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Teori berjenjang ini
kemudian menimbulkan asas hukum lex supperiori derogat lex inferiori
(hukum yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang di
atasnya). Nampak jelas bahwa ditetapkan jenis-jenis peraturan perundang
undangan dengan tidak memasukkan Tap MPR sebagai peraturan perundang undangan
dan Peraturan Daerah merupakan peraturan perundang undangan yang paling bawah,
sehingga keberadaannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang
undangan yang berada di atasnya. Jika bertentangan, ia dapat dibatalkan demi
hukum. Menurut ketentuan pasal 1 angka 8 Undang-Undang nomor 10 tahun 2004,
Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Jenis dan
hierarki Peraturan Daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e,
meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh
dewan perwakilan rakyat daerah propinsi bersama dengan gubernur.
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat
oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/ kota bersama bupati/walikota.
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat,
dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa
atau nama lainnya.
Pengakuan dan penerimaan negara terhadap keberadaan hukum syariat Islam,
memerlukan format atau bentuk hukum tertentu yang disepakati bersama, dimana
Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di
atasnya, dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan prinsip lex superiore derogat lex infiriore, maka secara
hirarkis peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi. Akan tetapi, dalam
hukum juga berlaku prinsip lex specialis derogat lex generalis yang
berarti bahwa peraturan yang khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu
peraturan yang bersifat umum.
Sudikno
Mertokosumo mengibaratkan sistem hukum sebagai gambar mozaik, yaitu gambar yang
dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil untuk kemudian dihubungkan kembali,
sehingga tampak utuh seperti semula. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri
lepas hubungannya dengan yang lain, tetapi kait mengait dengan bagian yang
lainnya. Tiap bagian tidak mempunyai arti di luar kesatuan itu. Di dalam
kesatuan itu tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi. Kalau sampai
terjadi konflik, maka akan diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri.
Istilah keluarga sistem hukum
biasa dipergunakan oleh para ahli perbandingan hukum untuk menyebutkan suatu
tatanan organisasional yang paling penting dalam rangka penganalisisan
sistem-sistem hukum di berbagai negara di dunia. Di dunia ini biasanya
dikemukakan ada tiga keluarga sistem hukum, yaitu: (1) Civil Law System; (2)
Common Law System; (3) Socialist Law System. Adapun kelompok
sistem hukum yang ketiga, Socialist Law System dianggap berakar pada Civil
Law System. Kriteria yang lebih luas diberikan oleh Esmein (1905) dengan
membedakannya ke dalam lima keluarga sistem hukum, yaitu: (1) Romanistic; (2)
Germanic; (3) Anglo Saxon; (4) Slavic; dan (5) Islam. Zweigert
dan Kotz (1977) mengklasifikasikannya menjadi delapan keluarga sistem hukum,
yaitu: (1) Romanistic; (2) Germanic; (3) Nodic; (4) Common
Law Families; (5) Socialist; (6) Far Eastern Systems; (7) Islamic
Systems; dan (8) Hindu Law. Sedangkan David dan Brieley mengadopsi
sistem klasifikasi berdasarkan ideologi dan teknis hukum, sehingga muncul enam
keluarga sistem hukum, yaitu: (1) Romano-Germanic; (2) Common Law; (3)
Socialist; (4) Islamic; (5) Hindu dan Jewish; dan
(6) Far East dan Black African.
Ada
sejumlah faktor yang dapat dijadikan indikator untuk menggolongkan sistem hukum
negara-negara tertentu menjadi satu keluarga tersendiri. Faktor-faktor tersebut
meliputi:
a. Latar
belakang sejarah dan pembangunan sistem hukumnya.
b. Karakteristik
khas dari cara berpikirnya.
c. Pranata-pranatanya
yang berbeda.
d. Jenis-jenis
sumber hukum yang dikenal dan penggunaannya.
Membuat hukum pidana Islam masuk
sebagai satu formulasi dalam sebuah peraturan Negara memang menimbulkan
beberapa pertanyaan, apalagi ketika penerapan hukum pidana Islam tersebut
diterapkan di Negara yang tidak memberlakukan sistem hukum pidana Islam seperti
Indonesia.
Dalam kerangka membicarakan
kedudukan hukum pidana Islam sebagai cabang dari hukum Islam dalam sistem hukum
nasional, pada tahun 1950 dalam konferensi kementrian kehakiman di Salatiga,
Hazairin telah mengemukakan pandangan beliau mengenai masalah hubungan hukum
agama (Islam) dengan hukum adat. Kata Hazairin (dikutip):
“Hukum agama masih terselip di
dalam hukum adat yang memberikan tempat dan persandaran baginya, tetapi
sekarang kita lihat hukum agama itu bersiap hendak membongkar dirinya dari
ikatan adat itu. Arti istimewanya hukum agama itu ialah bahwa hukum agama itu
bagi rakyat Islam dirasakannya sebagai bagian dari perkara imannya……”
Dari pernyataan tersebut,
Hazairin hendak mengatakan agar berlakunya hukum Islam untuk orang Islam
Indonesia tidak disandarkan pada hukum adat, tetapi pada penunjukkan peraturan
perundang-undangan sendiri. Sama halnya dengan dengan berlakunya hukum adat di Indonesia
berdasarkan sokongan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut senada dengan
yang disampaikan oleh Muhammad Daud Ali dalam Buku Hukum Islam.
Dari beberapa uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa di Indonesia:
a. Hukum
Islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dapat
berlaku langsung tanpa harus melalui hukum adat.
b. Republik
Indonesia dapat mengatur sesuatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang
pengaturan itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.
c. Kedudukan
hukum Islam dalam sistem hukum nasional Indonesia adalah sederajat dengan hukum
adat dan hukum Barat.
d. Hukum
Islam menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang di samping
hukum adat, bukan hukum barat dan lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam
Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan penjelasan tersebut,
maka jelaslah bahwa formulasi hukum Islam dalam hal ini hukum pidana Islam yang
dilakukan dan diserahakan pelaksanaanya kepada Mahkamah Syar’iyah berada dalam
posisi legal, karena dalam UU No. 18 tahun 2001 dinyatakan bahwa Pemerintah
daerah Aceh diberikan wewenang untuk membuat suatu peraturan berdasarkan
sistemnya sendiri. Hal ini juga menunjukkan bahwa undang-undang ini merupakan
delegasi terhadap pemerintahan Istimewa Aceh yang menggunakan dasar hukum Islam
dalam menentukan ketentuan pidana.
E.
Kedudukan Qanun
Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Sistem Hukum Nasional
1.
Analisis Qanun Jinayat Berdasarkan Otonomi Daerah
Aceh
adalah daerah propinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat
istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
dipimpin oleh seorang Gubernur.
Pelaksanaan
syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara yuridis berdasarkan
UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah
diganti dengan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No. 62,
TLN 4633).
Sebagaimana
telah diatur dalam pasal 31 UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Aceh menyebutkan, bahwa ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut
kewenangan pemerintah ditetapkan dengan peraturan pemerintah, sedangkan yang
menyangkut kewenangan pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan
dengan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 1 ayat (8)
UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, disebutkan pengertian Qanun
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan
undang-undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka
penyelenggaraan otonomi khusus.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, Pemerintahan Aceh diberikan kekuasaan dan wewenang yang
lebih dari daerah lain di Indonesia untuk membuat peraturan daerah yang disebut
dengan Qanun, sebagai peraturan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri
dengan diberikan kebebasan untuk membuat Qanun sebagai pelaksanaan dari UU No.
18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Qanun merupakan peraturan setingkat
dengan Peraturan Daerah yang khusus dibuat sesuai dengan kewenangan yang
diberikan kepada pemerintahan daerah, dan hal-hal yang menyangkut dengan
kewenangan pemerintah yang diatur dalam undang-undang otonomi khusus ini
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Qanun Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam sebagai peraturan pelaksanaan penyelenggaraan
pelaksanaan otonomi khusus yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada
Propinsi Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan
undang-undang otonomi khusus Pemerintahan Propinsi Aceh tidak perlu lagi
menunggu peraturan pemerintah sebagai pedoman penyelenggaraan pelaksanaan
Pemerintahan Daerah Propinsi Aceh. Qanun disebutkan setingkat dengan peraturan
daerah sebagai peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tingkat
daerah dibuat untuk penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Undang-undang
tersebut menitikberatkan pada otonomi khusus bagi Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, pelaksanaannya diletakkan pada daerah Kabupaten dan Kota atau nama
lain secara provisional. Menurut Undang-undang ini, Qanun Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam adalah peraturan daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang
dapat menyampingkan peraturan perundang-undangan lain, dan Mahkamah Agung berwenang
melakukan uji materil terhadap Qanun.
Supardan Modeong
menyebutkan bahwa apabila dilihat dari sudut prosedur pembuatan peraturan
perundang-undangan, antara Peraturan Daerah (Perda) dengan Qanun adalah sama,
yaitu peraturan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Daerah bersama-sama dengan
Gubernur untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka
otonomi daerah. Namun ditinjau dari sudut kekuasaan, mengatur Qanun berbeda
dengan mengatur Perda, karena Qanun tidak tunduk pada Peraturan Pemerintah (PP)
dan Keputusan Presiden (Keppres), sedangkan Peraturan Daerah tunduk kepada dua
hal tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana peraturan perundang-undangan yang
lain mempunyai kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan, maka demikian sama juga
halnya dengan Qanun.
Pemerintah pusat
berwenang melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penyelenggaraan
pelaksanaan pemerintahan daerah Propinsi Aceh. Sebagaimana disebutkan dalam
pasal 249 UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh: “Pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintah kabupaten/kota
dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Pasal 218 UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan sebagai
berikut:
1.
Pengawasan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintahan yang
meliputi:
a.
Pengawasan atas
pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah,
b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala
daerah.
2.
Pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh aparat pengawas
intern Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.
Pencegahan atau
pembatalan yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap dua hal yaitu;
·
Pengawasan pencegahan
(preventive) dan pencegahan yang bersifat membatalkan (repressive).
Pengawasan pencegahan yaitu pengawasan yang bersifat mencegah supaya pemerintah
daerah tidak mengambil kebijakan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
·
Pengawasan yang
bersifat pembatalan/pencabutan adalah pengawasan pencabutan atau pembatalan
terhadap kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintahan daerah.
Posisi Peraturan
Daerah dengan Qanun setingkat sebagai dasar penyelenggaraan pelaksanaan pemerintahan
daerah yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang
lebih tinggi, bila bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut
dapat dibatalkan atau dicabut oleh Mahkamah Agung sebagai kekuasaan judicial
review terhadap peraturan yang lebih rendah dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan juga dapat dicabut oleh pemerintah pusat
terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 pasal 31 ayat (2) dinyatakan
bahwa “Ketentuan
pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.” Sedangkan pengertian Qanun, dalam pasal 1
angka 8 dinyatakan “Qanun
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan
undang-undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka
penyelenggaraan otonomi khusus”.
Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
adalah peraturan untuk melaksanakan otonomi khusus dalam hal yang menjadi
kewenangan pemerintah propinsi. Dengan demikian walaupun dari satu segi qanun
adalah peraturan daerah, tetapi dari segi lain qanun tidak tunduk kepada
peraturan pemerintah karena qanun berada langsung di bawah undang-undang.
Memperhatikan realitas tersebut, penulis berpendapat bahwa peran negara untuk
mewujudkan dan menegaskan syariat Islam merupakan condition sine quanon karena kewajiban negara atau pemerintah adalah sangat penting
untuk melaksanakan hukum Islam di seluruh wilayah yang menjadi daerah kekuasaan
hukum (yurisdiksi). Dalam kontek inilah tentunya negara berfungsi untuk memberikan
kesejahteraan kepada warganya, karena sebagai suatu institusi sosial bukan
hanya berurusan dengan seperangkat hukum dan prinsip-prinsip yang berhubungan
dengan masalah kemasyarakatan, melainkan juga menyangkut kehidupan sosial
manusia sebagai warga negara.
Penerapan syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan
salah satu aspek kekhususan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konteks
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga menerapkan otonomi khusus dibidang
syariat Islam ini diharapkan menjadi refleksi pencitraan penerapan syariat
Islam untuk kemaslahatan dan kesejahteraan ummat manusia.
Qanun tersebut sama sekali tidak melanggar undang-undang
yang berlaku secara nasional, dan juga tidak melanggar hak asasi manusia.
Mengenai soal hak asasi manusia, semua yang masuk dalam rumusan HAM ketika
dibawa ke ranah lokal, itu memerlukan penyesuaian. Dalam konteks jinayat
sekarang ini juga telah disesuaikan sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan
ketentuan jinayat tidak akan melanggar HAM. Pengesahan Qanun
tersebut merupakan klimaks irasionalitas politik perundang-undangan nasional
Indonesia, yang menggenapi praktik positivisasi agama dalam negara. Meskipun Qanun diperbolehkan secara khusus di Aceh,
tapi tidak boleh menyimpang dari hukum pidana nasional.
Misalnya untuk perzinaan ada aturan hukumnya
pada KUHP.
Sebagaimana
dalam doktrin-doktrin ilmu hukum, keberlakuan hukum secara filosofis,
sosiologis dan yuridis merupakan syarat mutlak untuk dapat membentuk peraturan
yang baik, namun dalam kenyataannya ada peraturan daerah yang hanya
mencerminkan satu keberlakuan saja antara lain hanya mencerminkan keberlakuan
secara yuridis namun mengesampingkan keberlakuan secara sosiologis dan
filosofis, begitupula sebaliknya.
Qanun
Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah mencerminkan keberlakuan secara
yuridis karena pembentukannya didasarkan pada norma yang lebih tinggi
tingkatannya dan terbentuk menurut cara yang ditetapkan sesuai wewenang
propinsi Aceh sebagai daerah pelaksana otonomi khusus. Adapun secara
sosiologis, dikarenakan masyarakat di Aceh memang telah menerima syariah Islam
sejak dahulu dan kondisi masyarakat Aceh yang homogen tentu saja lebih
mendukung pelaksanaan Peraturan Daerah syariah Islam. Selain itu penerapan syariah
Islam di Aceh terkait erat dengan political expediency Pemerintah Pusat
guna mempertahankan NAD (Nangroe Aceh Darussalam) dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Secara filosofis, uqubat yang terdapat dalam Qanun
Jinayat tersebut sesuai dengan maqasid syariah yaitu menjaga agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.
2.
Analisis Qanun Jinayat berdasarkan Landasan Formil
Konstitusional Peraturan Perundang-undangan
Dalam
Qanun Jinayat No. 12 tahun 2003 tentang khamar dan sejenisnya, qanun nomor 13
tahun 2003 tentang maisir, dan qanun nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat
(mesum), yang menjadi landasan formil konstitusionalnya terdapat persamaan,
yaitu sebagai berikut:
a.
Alquran
dan Hadits
b.
Pasal 29
UUD 1945.
c.
UU No. 24
tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan
Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (LN RI tahun 1956 Nomor 64,
Tambahan LN Nomor 1103).
d.
UU No. 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (LN RI tahun 1981
Nomor 76, Tambahan LN Nomor 3209).
e.
UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN RI tahun 1999 Nomor 60, Tambahan LN
Nomor 3839).
f.
UU No. 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh
(LN RI tahun 1999 Nomor 172, Tambahan LN Nomor 3892).
g.
UU No. 18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (LN RI tahun 2001 Nomor 114, Tambahan LN
Nomor 4134).
h.
PP No. 27
Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (LeN RI tahun 1983 Nomor 36, Tambahan LN
Nomor 3258).
i.
PP No. 6
Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi vertikal di daerah (LN RI tahun
1988 Nomor 10, Tambahan LN Nomor 3373).
j.
PP No. 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah
Otonom (LN RI Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan LN Nomor 3952).
k.
Keppres
No. 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan
Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan
Keputusan Presiden (LN RI Tahun 1999 Nomor 70).
l.
Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1986 tentang Ketentuan Umum Mengenai
Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah.
m.
Peraturan
Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun
2000 Nomor 30);
n.
Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan
Syari’at Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003
Nomor 2 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 4);
o.
Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan
Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5).
Adapun
untuk Qanun Jinayat No.12 tahun 2003 tentang khamar dan sejenisnya, terdapat
tambahan landasan formil konstitusionalnya yaitu :
a.
Keppres
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
b.
Instruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan,
Penertiban, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah.
Sedangkan
untuk Qanun Jinayat No. 13 tahun 2003 tentang maisir, yang menjadi landasan
formil konstitusionalnya dapat dirinci antara lain:
a.
UU No. 7
Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (LN RI Tahun 1974 Nomor 54, Tambahan LN
Nomor 3040).
b.
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (LN tahun
1981 Nomor 10, Tambahan LN Nomor 3192).
Berdasarkan
landasan-landasan formil konstitusional tersebut, penulis berpendapat bahwa
qanun jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara yuridis mempunyai payung
hukum yang kuat. Alquran dan hadits dijadikan sebagai landasan pertama yang
merupakan sumber dasar hukum Islam. Hal tersebut bersesuaian dengan falsafah
Pancasila sebagaimana terdapat dalam pasal 29 UUD 1945 yang mengatur tentang
agama. Kemudian mengenai wewenang yang diberikan Undang-undang untuk Aceh dalam
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (pasal 1 UU No. 24 tahun 1956)
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU No. 22 tahun 1999 jo pasal 1
angka (7) UU No. 44 tahun 1999).
Otonomi
khusus untuk melaksanakan hukum pidana Islam tersebut selanjutnya diberi payung
hukum sebagaimana dalam pasal 1 angka (8) UU No.18 tahun 2001 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 11 tahun 2006. Dalam pasal tersebut disebutkan Qanun Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan
undang-undang di wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka
penyelenggaraan otonomi khusus. Selanjutnya untuk mengatur tentang
pelaksanaan syariat Islam tersebut, dibuatlah Perda No. 5
tahun 2000. Sebagai badan pelaksana agar hukum Islam tersebut
dapat ditegakkan dipayung hukumi dengan qanun No. 10 tahun 2002 dan qanun
No. 11 tahun 2002.
Landasan
formil konstitusional merupakan landasan hukum (yuridische gelding) yang
menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid atau competentie) pembuatan
peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan lembaga/badan tertentu
mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau
tidak. Dasar hukum kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan sangat
diperlukan. Tanpa disebutkan dalam peraturan perundangan sebagai landasan
yuridis formal, suatu lembaga/badan adalah tidak berwenang (onbevoegdheid)
mengeluarkan peraturan. Dalam hal ini, qanun jinayat Propinsi NAD telah
memenuhi unsur-unsur tersebut.
Di dalam
landasan yuridis formal selain menetapkan lembaga/badan yang berwenang
membentuk, juga secara garis besar ditetapkan proses dan prosedur penetapannya.
Demikian pula dalam pembentukan qanun jinayat Aceh tersebut ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD (Pasal 136 UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah) karena kalau suatu Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala
Daerah tanpa disetujui oleh DPRD maka Peraturan Daerah tersebut batal demi
hukum (van rechtwegenietig).
3.
Analisis Qanun Jinayat berdasarkan Landasan
Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan
Dalam
Qanun Jinayat No. 12 tahun 2003 tentang khamar dan sejenisnya, yang menjadi
landasan materiil konstitusionalnya adalah tujuan mengaplikasikan syariat Islam
dalam kehidupan masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang
sejahtera, aman, tenteram, adil dan tertib guna mencapai ridha Allah. Selain
itu juga, mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya merupakan pelanggaran
terhadap syariat Islam, merusak kesehatan, akal dan kehidupan masyarakat dan
berpeluang timbul maksiat lainnya.
Dalam
Qanun Jinayat No. 13 tahun 2003 tentang maisir, yang menjadi landasan materiil
konstitusionalnya adalah di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama,
kehidupan adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah
perlu ditetapkan suatu peraturan, sehingga dapat mencegah seseorang melakukan
perjudian yang merupakan salah satu perbuatan mungkar dan dilarang dalam
syariat Islam dan agama lain, serta bertentangan pula dengan adat istiadat yang
berlaku dalam masyarakat Aceh. Perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang
kepada perbuatan maksiat lainnya.
Dalam
Qanun Jinayat No. 14 tahun 2003 tentang khalwat (mesum), yang menjadi landasan
materiil konstitusionalnya adalah guna terwujudnya tata kehidupan masyarakat
yang tertib, aman, tenteram, sejahtera dan adil untuk mencapai ridha Allah
yaitu dengan melaksanakan syariat Islam. Perbuatan khalwat/mesum
termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarang dalam syariat Islam dan
bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masayarakat Aceh
karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan zina.
Hal
tersebut juga sejalan dengan landasan materiil sebagaimana diatur dalam Perda
Aceh No. 5 tahun 2000, bahwa kehidupan rakyat Aceh yang religius dan menjunjung
tinggi ajaran Islam, merupakan modal dalam meningkatkan peran serta masyarakat
untuk mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan serta memantapkan
kemampuan daerah dalam menghadapi tantangan global.
Berdasarkan
uraian tersebut, penulis berpendapat landasan-landasan materiil konstitusional
qanun jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sejalan dengan maqasid syariah
yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Hal tersebut
juga sesuai dengan prinsip dalam doktrin Islam “hablun min Allah wa hablun min annas”, yaitu aspek ibadah dan aspek muamalah. Dengan kata lain,
realisasi prinsip kesejahteraan itu semata-mata bertujuan untuk mewujudkan
keadilan sosial dalam masyarakat.
Qanun hanya mengatur apa yang
didelegasikan oleh UU No. 18 tahun 2001, dan tugasnya hanya apa yang dikuasakan, sehingga
tidak serta merta digeneralisasikan setingkat dengan Peraturan Pemerintah. Secara formal yuridis, syariat
Islam di Aceh telah dilaksanakakan melalui Qanun Aceh yang oleh undang-undang
ditetapkan berada langsung di bawah undang-undang. Dengan kata lain
pemberlakuan syariat di Aceh sekarang ini adalah dalam kerangka pelaksanaan UUD
1945, dan hirarkis perundang-undangan Indonesia, bukan semata-mata karena
perintah Allah atau perintah agama. Dengan demikian Alquran dan Sunnah sebagai dalil syara’ dan di bawah itu
ijtihad para ulama sebagai dasar dan landasan penulisan qanun.
Qanun-qanun jinayat tersebut dibentuk sebagai upaya
preventif agar pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat dilaksanakan secara
efektif dan efisien. Efektif dalam arti hukumannya tidak memerlukan adanya
penjara yang tentunya memerlukan biaya, baik biaya konsumtif maupun biaya-biaya
lainnya yang timbul karena perbuatan jinayat tersebut. Efisien artinya, hukuman
yang diberikan dapat langsung sock terapi kepada pelaku jinayat, karena
dicambuk di hadapan khalayak ramai.
Selain memberikan efek-efek sebagaimana telah
disebutkan tersebut, qanun jinayat juga merupakan bentuk nilai-nilai hukum
pidana Islam yang dilaksanakan di sebuah negara yang bukan berasaskan Islam.
hal tersebut sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam UUD 1945 dan sesuai
dengan teori eksestensi yang berarti hukum Islam itu ada di tengah-tengah hukum
Nasional.
4.
Analisis Qanun Jinayat berdasarkan Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Indonesia
adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan sebagai Negara kekuasaan (machtstaat). Sebagai negara hukum, memiliki sistem hukum yang dikenal dengan
sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional adalah sistem hukum yang mengabdi
pada kepentingan nasional. Sistem hukum nasional adalah sistem hukum yang
berdasarkan pada konstitusi UUD 1945. Sistem hukum nasional terdiri atas sub
sistem hukum antara lain; sub sistem peraturan perundang-undangan, sub sistem
legislasi, sub sistem ini memiliki fungsi masing-masing dan membentuk satu
kesatuan yang dikenal dengan sistem hukum.
Peraturan
perundang-undangan merupakan salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional.
Peraturan perundang-undangan yang dibuat berdasarkan UUD 1945 adalah bagian dari
sistem hukum nasional, baik peraturan perundang-undangan itu dibuat pada skala
nasional maupun skala daerah.
Pengawasan yang
dilakukan pemerintah pusat terhadap berlakunya Perda yang berlaku dalam UU
Pemerintahan Daerah sama juga terhadap Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Posisi Qanun dengan Peraturan daerah yang berlaku berdasarkan UU No. 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah setingkat dan semua keputusan dan kebijakan
yang diambil daerah tetap berada dalam pengawasan pemerintah pusat. Karena itu
kedudukan peraturan daerah dalam tata urutan pembentukan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia telah diatur dalam pasal 7 ayat (1) UU
No. 10 tahun 2004 tetang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai
berikut:
1.
Jenis dan
hiearki Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
c.
Peraturan
Pemerintah
d.
Peraturan
Presiden
e.
Peraturan
Daerah.
Tata urutan
peraturan perundang-undangan tersebut dengan sendirinya menempatkan Qanun
sebabagai sub-sistem dalam tata peraturan perundang-undangan nasional. Sehingga
Qanun setingkat dan sebagai peraturan daerah “plus” tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya.
Sebagaimana
disebutkan oleh Faisal Nasution:
“Keberadaan peraturan daerah di
dalam sistem hukum nasional Indonesia adalah disebabkan Indonesia sebagai
negara kesatuan menganut sistem desentralisasi pemerintahan pada bagian dari
wilayah negaranya. Dengan dianutnya sistem desentralisasi yang selanjutnya
melahirkan asas otonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (2) UUD 1945,
maka setiap pemerintahan daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri
urusan-urusan pemerintahan yang menjadi otonomi daerahnya. Dalam hal bentuk
pengaturan inilah pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah”.
Mengutip
pendapat Jimly Asshiddiqie, apabila mengikuti pemberlakuannya Qanun, para
pembuat kebijakan, pencari keadilan dan juga para pengamat hukum secara umum
sudah dapat memahami bahwa pemberlakuan Qanun dalam rangka penyelenggaraan
pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat
menyampingkan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi, yang
dalam keadaan biasa tidak dapat disingkirkan oleh peraturan daerah. Akan
tetapi, sebagai konsekuensi diberikan otonomi khusus kepada Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, maka produk legislatif daerah ini dapat saja menyimpang dan
produk eksekutif di tingkat pusat. Misalnya suatu materi Qanun yang telah
ditetapkan secara sah ternyata bertentangan isinya dengan materi Keputusan
Presiden yang bersinggungan dengan otonomi khusus, maka Mahkamah Agung tentu
harus menyatakan bahwa Qanun itulah yang berlaku untuk Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, sedangkan Keputusan Presiden atau Peraturan Menteri berlaku secara
umum di seluruh Indonesia.
Berdasarkan sistem norma hukum
berjenjang (stufentheory) yang dianut Indonesia, suatu produk
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Berdasarkan kewenangan pemerintah daerah terkait dengan
otonomi daerah, maka semua kewenangan daerah, baik kewenangan yang menjadi
urusan wajib dan urusan pilihan dari masing-masing pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten/kota, dapat menjadi materi muatan peraturan daerah sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan
kepentingan umum.
Dalam teori
perundang-undangan, Peraturan Daerah (dalam hal ini Qanun Jinayat Aceh) merupakan
bagian dari peraturan karena bersifat mengatur (regeling) bukan bagian
dari ketetapan atau keputusan (beschikking). Artinya, norma hukum yang
dikandung dalam Peraturan Daerah adalah norma hukum umum. Norma hukum umum
adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum, addressat-nya untuk
umum, orang banyak, atau semua warga negara. Berbeda dengan ketetapan atau
keputusan (beschikking) dimana addresat-nya tertuju pada
seseorang, beberapa orang, atau perindividu. Oleh karena itu, pembatalan sebuah
peraturan harus dengan instrumen peraturan. Demikian pula pembatalan sebuah
ketetapan atau keputusan seharusnya dilakukan dengan ketetapan atau keputusan
serupa.
Meskipun Qanun Aceh adalah produk perundang-undangan di daerah, namun ia
memiliki karakteristik dan kekuasaan tersendiri. Qanun Aceh yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan dapat dibatalkan oleh presiden melalui
Peraturan Presiden (Perpres) bila bertentangan dengan kepentingan umum,
bertentangan dengan hierarki perundang-undangan yang lebih tinggi atau
bertentangan antar sesama Qanun.
Sedangkan Qanun
yang mengatur tentang penyelenggaraan kehidupan
masyarakat Aceh, seperti Qanun syariat Islam tidak dapat serta merta dibatalkan
oleh pemerintah. Qanun Syariat dapat dibatalkan melalui mekanisme yudicial review di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berwenang melakukan uji mareti (yudisial
review) terhadap peraturan perundang-undangan yang
kedudukannya berada di bawah undang-undang seperti peraturan Pemerintah (PP),
peraturan Presiden (Perpres) dan lain-lain.
Qanun Aceh juga diberi kekuatan yuridis untuk mengatur materi-materi
muatan, yang tidak dapat diatur dalam peraturan daerah pada umumnya. Walaupun
Qanun Aceh adalah produk peraturan perundang-undangan di daerah, namun dia
diberi kekuatan untuk mengatur ancaman pidana melampaui apa yang biasanya
diatur oleh peraturan daerah pada umumnya. Kekuasaan yang dimiliki Qanun Aceh
untuk mengatur meteri tertentu, bukanlah sesuatu yang menyimpang atau keluar
dari hukum nasional. Ia tetap menjadi bagian hukum nasional karena kekuasaan
itu diberikan kepada Qanun atas perintah undang-undang.
Berdasarkan
logika yuridis tersebut, dapat dipahami bahwa ketentuan hukuman cambuk
misalnya, yang diatur dalam Qanun Aceh yang ada selama ini adalah bagian dari
hukum nasional karena keberadaannya diperintahkan secara implisit oleh
undang-undang nasional baik UU No. 18 tahun 2001 (sebelum dicabut) maupun
berdasarkan UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
Jadi,
secara yuridis keberadaan hukum cambuk di Aceh cukup kuat, karena memiliki
landasan yuridis yaitu UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Namun yang
menjadi persoalan utama adalah konstruksi teoritis hukuman cambuk di aceh yang
kelihatannya sebagian kalangan menganggap belum memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Keberadaan
Qanun Nanggroe Aceh Darussalam dalam sistem peraturan perundang-undangan di
Indonesia merupakan bentuk pengakuan pemerintah terhadap realitas hukum di
daerah. Otonomi khusus merupakan payung bagi keberadaan Qanun di Aceh dalam
percaturan perundang-undangan Indonesia. Bahkan konstitusi mengamanatkan bahwa
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
istimewa dan khusus.
Kemandirian
dalam berotonomi tidak berarti daerah dapat membuat Peraturan Daerah atau Qanun
yang terlepas dari sistem perundang-undangan secara nasional. Peraturan Daerah
atau Qanun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan sistem
perundang-undangan secara nasional. Oleh karena itu tidak boleh ada perda yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya
atau kepentingan umum.
Ruang lingkup kewenangan
Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam membuat Qanun Jinayat telah
diberikan batasan berdasarkan undang-undang. Namun ditemukan berbagai kekhasan
dalam materi muatan Qanun yang secara khusus mencerminkan berbagai potensi yang
dimiliki oleh suatu daerah otonom. Materi muatan Qanun tersebut sangat
dipengaruhi oleh kultur budaya dan dinamika sosial politik.
5.
Analisis Substansi Hukum yang terdapat dalam Qanun Jinayat
a.
Qanun No. 12 tahun 2003 tentang Khamar dan sejenisnya.
Menurut
pendapat penulis, Qanun No. 12 tahun 2003 tentang Khamar (minuman keras dan
sejenisnya), secara substantif tidak memiliki kontradiksi dengan produk
perundang-undangan lainnya. Penyebutan produk perundang-undangan lain dalam
konsideran qanun ini menunjukkan bahwa qanun tersebut secara materil
melandaskan diri pada produk undang-undang tersebut. Keputusan Presiden No. 3
tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 4 tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban,
Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah, dilihat dari sudut
pendelegasian kewenangan penyusunan perundang-undangan, telah mengkonfirmasi
bahwa qanun khamar tidak mengalami kontradiksi dengan undang-undang lainnya.
Secara
umum, materi muatan Qanun Khamar sama persis dengan isi Keppres tersebut.
Perbedaan yang paling prinsip terletak pada lingkup larangannya. Hal tersebut
dapat dilihat pada pasal 5 Keppres No. 3 tahun 1997, disebutkan bahwa
memproduksi dan mengedarkan dan mengkonsumsi masih diperbolehkan dengan
syarat-syarat tertentu. Larangan mengkonsumsi juga tidak berlaku di tempat-tempat
khusus, seperti hotel, bar, dan lain sebagainya. Keppres hanya tegas melarang
memperjualbelikan minuman beralkohol kepada siapa saja yang masih berusia di
bawah dua puluh lima tahun. Hal itu berarti, sebenarnya tidak ada larangan
meminum alkohol, sejauh mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Sementara
itu Qanun tentang khamar, secara tegas melarang kepada siapa saja
(subyek hukum qanun, umat Islam yang berdomisili di Propinsi NAD) untuk meminum
minuman beralkohol. Tidak hanya mengkonsumsi, badan hukum atau badan usaha juga
dilarang memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan,
mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan, dan
mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya.
Larangan
secara total yang diatur oleh Qanun khamar juga dibenarkan oleh Keppres
No. 3 tahun 1997. Di dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa secara implisit
penggunaan minuman beralkohol sepenuhnya diserahkan kepada pengaturan dan izin
yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati. Dengan demikian, sekali lagi,
larangan minuman beralkohol di NAD, sebagai produk politik di tingkat lokal,
memiliki justifikasi yuridis dan tidak bertentangan dengan produk
perundang-undangan di atasnya.
b.
Qanun No. 13 tahun 2003 tentang Maisir.
Menurut
pendapat penulis, Qanun No. 13 tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) juga tidak
memiliki kontradiksi materil dengan perundang-undangan lainnya. Perjudian tidak
hanya dilarang di Aceh, tapi di seluruh wilayah hukum Indonesia. Di samping
mencantumkan Alquran dan Sunnah sebagai landasan utama, secara tegas konsideran
qanun maisir juga mencantumkan UU No. 7 tahun 1974 tentang Penertiban
Perjudian. Tidak ada yang baru dan berbeda dari qanun ini kecuali soal jenis
pidana yang ditetapkan.
Hal
tersebut dapat dilihat pada definisi dan larangan perjudian yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 303 ayat (3):
“Yang
disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya
kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena
permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala
pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak
diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala
pertaruhan lainnya”.
Dalam Pasal 1 ayat (20) Qanun No. 13 tahun 2003
tentang Maisir disebutkan:
“Maisir
(perjudian) adalah kegiatan dan/ atau perbuatan yang bersifat taruhan antara
dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran”.
Berdasarkan
dua perbandingan tersebut, tidak ada perbedaan prinsipil jenis kejahatan antara
yang diatur dalam KUHP dan qanun maisir. Berbeda dengan larangan minuman
beralkohol, praktik judi sama sekali tidak dibenarkan di bumi Indonesia. Bahkan
pasal 1 KUHP secara tegas “menyatakan semua tindak pidana perjudian sebagai
kejahatan”.
Selaras
dengan uraian tersebut. Hal serupa dapat ditemukan pada konsideran UU No. 7
tahun 1974 pada bagian “Menimbang”, sebagai berikut:
1)
Bahwa
perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan Agama, Kesusilaan dan Moral
Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, Bangsa
dan Negara;
2)
Bahwa
oleh karena itu perlu diadakan usaha-usaha untuk menertibkan perjudian,
membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju
kepenghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia;
Penegasan
bahwa judi dilarang di semua wilayah Indonesia hingga lingkungan yang
sekecil-kecilnya sampai menuju penghapusan sama sekali merupakan tujuan yang
menggambarkan bahwa kejahatan umum perjudian ini jelas tidak dikehendaki
kehadirannya. Dengan demikian, kehadiran qanun tentang maisir sama
sekali tidak bertentangan dengan produk hukum lainnya. Hal tersebut dapat
dilihat pada konsideran Qanun No. 13 tahun 2003 tentang maisir pada bagian
“menimbang”, disebutkan:
1)
Bahwa
Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untuk Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan Undang-undang Nomor 44
Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, antara lain di bidang
penyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan dan peran Ulama
dalam penetapan kebijakan daerah;
2)
Bahwa
Maisir termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarang dalam Syariat Islam
dan agama lain serta bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam
masyarakat Aceh karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada
perbuatan maksiat lainnya;
c.
Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).
Menurut
pendapat penulis, Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum), jika dilihat
dari jenis perbuatan melawan hukumnya, bukan suatu hal yang baru. Hal yang sama
ditemui dalam aturan kesusilaan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Dalam qanun tersebut, khalwat didefinisikan sebagai perbuatan
bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang
bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Sementara dalam KUHP, hal-hal
“kecil” seperti seperti melukis, menggambar, menuliskan kata, yang dapat
membangkitkan birahi seseorang dapat dipidana (lihat Bab VI tentang Pelanggaran
Kesusilaan pasal 532-536) yang merupakan perbuatan a susila bahkan mendapat
hukuman.
Keduanya
memiliki perbedaan orientasi hukum. Perbuatan khalwat akan tetap
ditindak, baik dilakukan di tempat umum (terbuka) maupun di tempat tertutup.
Artinya, orientasi hukum pengaturan khalwat adalah untuk kemaslahatan
dan kemanfaatan pribadi seseorang dan juga orang lain. Manfaat pribadi agar
seseorang tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada perbuatan zina yang
dilarang oleh agama dan mengakibatkan dosa dan siksa di kemudian hari.
Sementara manfaat bagi orang lain adalah melindungi masyarakat dari berbagai
bentuk kegiatan dan atau perbuatan yang merusak kehormatan.
Sebagaimana
dikemukakan pada pasal 3 qanun tentang khalwat, tujuan larangan khalwat
salah satunya adalah melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan
dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan seperti zina.
Dalam
KUHP perbuatan a susila akan ditindak sebagai pelanggaran hukum ketika
dilakukan di muka umum. Sementara jika dilakukan ditempat tertutup tidak lagi
menjadi obyek hukum. Orientasi hukum pidana tentang pengaturan kesusilaan ini
mengarah pada upaya melindungi orang lain untuk tidak terganggu atau
terpengaruh oleh tindakan yang menyebabkan timbulnya birahi orang lain.
Perbandingan
antara Qanun tentang khalwat dan KUHP itu menunjukkan bahwa secara
materil pengaturan khalwat tidak memiliki justifikasi dari produk
perundang-undangan di atasnya. Bahkan dalam konsideran qanun tersebut tidak
disebutkan KUHP sebagaimana ulasan di atas, padahal KUHP juga mengatur hal
serupa. Konsideran utama yang disebutkan qanun itu adalah Alquran dan Sunnah
serta perda No. 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Karena itu,
secara materil qanun ini hanya memiliki justifikasi syariat Islam semata,
meskipun ia tetap tidak bisa dipersoalkan (uji materil) karena berdasarkan UU
No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001, NAD ditetapkan sebagai daerah yang
diperintahkan oleh hukum untuk menjalankan syariat Islam.
Pengaturan
khalwat jika dihadapkan pada UU No. 9 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, UU No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, mengalami kontradiksi signifikan.
Hak pribadi seseorang menjadi sangat terancam akibat adanya pengaturan yang
sangat longgar. Restriksi terhadap akses perempuan ke wilayah publik, sebagai
sesuatu yang sangat ditentang oleh UU RI No. 7 tahun 1984, telah menjadi fakta
lapangan di Aceh.
Jika di
satu sisi kehadiran qanun khalwat dianggap memiliki justifikasi politik,
karena ia merupakan manifestasi dari pendelegasian kewenangan dalam
penyusunanan peraturan daerah, sebagaimana diatur dalam UU Otonomi Khusus, maka
di sisi lain ruang untuk mempersoalkan kontradiksi yang diidap dalam qanun juga
dibenarkan oleh undang-undang yang sama.
F.
Prospek Qanun
Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam dalam tinjauan Politik Hukum
1.
Landasan Politik Hukum Qanun Jinayat
Landasan politik hukum yang
menjadi dasar qanun jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Piagam Jakarta dengan tujuh kata di dalamnya: “dengan
kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tujuh kata
tersebut dicoret dan sempat berdampak pada keberlakuan hukum Islam secara legal
formal di Indonesia. Melalui periode yang berliku, Piagam Jakarta tersebut kembali menjiwai UUD 1945 sebagaimana termaktub dalam Dekrit Presiden 1959.
Merekonstruksi catatan sejarah
yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan
hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum
Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem
hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh,
yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian
dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal
formal dan positif.
Pada dasarnya
pelembagaan hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan merupakan
tuntutan dari kenyataan nilai-nilai dan fikrah (pemikiran) umat Islam
dalam bidang hukum, kesadaran berhukum pada syariat Islam secara sosiologis dan
kultural tidak pernah mati dan selalu hidup dalam sistem politik manapun, baik
masa kolonialisme Belanda, Jepang maupun masa kemerdekaan dan masa pembangunan
dewasa ini. Hal ini menunjukkan nilai-nilai ajaran Islam di samping kearifan
lokal dan hukum adat memiliki akar kuat untuk tampil menawarkan konsep hukum
dengan nilai-nilai yang lebih universal, yakni berlaku dan diterima oleh siapa
saja serta di mana saja, karena Islam merupakan sistem nilai yang ditujukan
bagi tercapainya kesejahteraan seluruh alam (rahmatan li al ‘alamin).
Pembangunan hukum nasional secara
obyektif mengakui pluralitas hukum dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan
hukum adat dan hukum agama untuk lingkungan tertentu dan subyek hukum tertentu
adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan satu unifikasi hukum untuk
beberapa bidang kehidupan. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima
sebagai bagian dari tatanan hukum nasional.
Berdasarkan
uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa pemberian otonomi khusus kepada NAD dengan
memberlakukan syariat Islam secara formal, merupakan perkembangan ke arah
adopsi yang makin luas terhadap sistem hukum Islam yang bersesuaian dengan
dinamika kesadaran hukum dalam masyarakat Indonesia yang dituangkan dalam
berbagai bentuk peraturan perundang-undangan serta diwujudkan dalam esensi
kelembagaan hukum yang dikembangkan dapat dikaitkan pula dengan
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat filosofis dan ketatanegaraan.
Secara umum UUD
1945 mengakui dan menganut ide Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara. Ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak saja
ditegaskan dalam rumusan Pembukaan UUD yang menyebut secara eksplisit adanya
pengakuan ini, tetapi juga dengan tegas mencantumkan ide Ketuhanan Yang Maha
Esa itu sebagai sila pertama dan utama dalam rumusan Pancasila. Bahkan, dalam
Pasal 29 UUD 1945 ditegaskan pula bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, dan dalam pasal 9 ditentukan: “bahwa setiap Presiden dan Wakil Presiden
sebelum memangku jabatan diwajibkan untuk bersumpah 'Demi Allah'”. Ide Ke-Maha
Esaan Tuhan itu bahkan dikaitkan pula dengan ide Ke-Maha Kuasaan Tuhan yang
tidak lain merupakan gagasan Kedaulatan Tuhan dalam pemikiran kenegaraan
Indonesia.
Prinsip
Kedaulatan Tuhan itu berbeda dari paham teokrasi barat yang dijelmakan dalam
kekuasaan Raja. Maka dalam sistem pemikiran ketatanegaraan berdasarkan UUD
1945, hal itu dijelmakan dalam prinsip-prinsipkedaulatan rakyat. Selanjutnya,
prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke dalam sistem kelembagaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Selanjutnya, prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke
dalam sistem kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang selanjutnya akan
menentukan haluan-haluan dalam penyelenggaraan negara berupa produk-produk
hukum tertinggi, yang akan menjadi sumber bagi penataan dan pembinaan sistem
hukum nasional. MPR-lah yang dijadikan sumber kewenangan hukum bagi upaya
pemberlakuan sistem hukum Islam itu dalam kerangka sistem hukum nasional.
Dari perspektif
Hukum Islam, proses pemikiran demikian dapat dikaitkan dengan pemahaman
mengenai konsep 'theistic democracy' yang berdasar atas hukum atau pun
konsep 'divine nomocracy' yang demokratis yang berhubungan erat dengan
penafsiran inovatif terhadap ayat Alquran yang mewajibkan ketaatan kepada
Allah, kepada Rasulullah, dan kepada 'ulu al-amri'. Pengertian 'ulu al-amri'
yang seringkali disalahpahami sebagai konsep mengenai 'pemimpin' (waliyu
amri), justru dipahami sebagai konsep mengenai 'perwakilan kepemimpinan'
atau 'para pemimpin yang mewakili rakyat (ulu al-amri). Karena itu,
konsep parlemen dalam pengertian modern dapat diterima dalam kerangka pemikiran
Hukum Islam, melalui mana norma-norma hukum Islam itu diberlakukan dengan
dukungan otoritas kekuasaan umum, yaitu melalui pelembagaannya menjadi 'qanun'
atau peraturan perundang-undangan negara.
Berdasarkan hal
tersebut, dapat dikatakan bahwa eksistensi hukum Islam dalam kerangka Sistem
Hukum Nasional Indonesia sangat kuat kedudukannya, baik secara filosofis,
sosiologis, politis, maupun yuridis. Meluasnya kesadaran mengenai reformasi
hukum nasional dewasa ini justru memberikan peluang yang makin luas bagi sistem
hukum Islam untuk berkembang makin luas dalam upaya memberikan sumbangan
terhadap perwujudan cita-cita menegakkan supremasi sistem hukum sesuai amanat
reformasi.
Sehubungan
dengan itu, maka pengakuan dan penerimaan negara terhadap keberadaan subsistem
hukum syariat Islam di Indonesia, memerlukan format atau bentuk hukum tertentu
yang disepakati bersama. Dalam pasal 2 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan, disebutkan adanya tata urutan
yang mencakup: UUD, Ketetapan MPR, Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah.
Keputusan Presiden, dan Peraturan Daerah.
Dalam Pasal 2
ayat (7) Ketetapan MPR tersebut ditegaskan bahwa Peraturan Daerah merupakan
peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya, dan menampung kondisi
khusus dari daerah yang bersangkutan. Memang benar, berdasarkan prinsip 'lex
superiore derogat lex infiriore' maka secara hirarkis peraturan
perundang-undangan yang tingkatannya di bawah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang tingkatannya lebih tinggi. Akan tetapi, dalam hukum juga berlaku
prinsip 'lex specialis derogat lex generalis' yang berarti bahwa
peraturan yang khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang
bersifat umum. Karena itu, meskipun sudah ada peraturan yang tingkatannya lebih
tinggi mengatur suatu hal, tetapi jikalau misalnya kondisi khusus daerah
istimewa Aceh menghendaki ketentuan yang khusus dan berbeda, maka kekhususan
itu dapat ditampung pengaturannya dalam bentuk Peraturan Daerah.
Berkenaan dengan
pemberlakuan syariat Islam Aceh telah pula ditetapkan undang-undang yang
bersifat khusus yan memungkinkan hal itu dilaksanakan segera. Karena itu, sejak
berlakunya kebijakan otonomi daerah dan undang-undang khusus tersebut,
pembentukan Peraturan Daerah yang berisi materi hukum syariat Islam sudah dapat
segera dilakukan di Aceh. Tinggal lagi tugas para pakar membantu Gubernur dan
para anggota DPRD di Aceh untuk menyusun agenda perancangan yang berkenaan
dengan pembentukan Peraturan Daerah tersebut. Idealnya, Peraturan Daerah itu
tidak lagi mengatur hukum syariat Islam dalam judul besarnya melainkan sudah
mengatur hal-hal yang rinci dan spesifik.
2.
Otonomi Khusus Aceh dalam tinjauan Politik Hukum.
Dengan pemberlakuan syariat Islam dan dibentuknya
lembaga Mahkamah Syar’iyah tampaknya ide tentang satu kesatuan hukum
(unfikasi) itu lama-kelamaan akan kehilangan relevansinya atau runtuh dengan
sendirinya. Hal tersebut dapat dilihat pada adanya pluralisme dalam politik hukum nasional adalah
pernyataan pada butir ke-2 TAP MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara tentang Arah Kebijakan Bidang Hukum yaitu :
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan
terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta
memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang
diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan
tuntutan reformasi melalui program legislasi.
Menurut penulis, redaksi “menata sistem hukum nasional yang
menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum
adat” dalam TAP MPR No. IV/MPR/1999 tidak bisa lagi dipahami seperti
pemahaman-pemahaman sebelumnya bahwa hukum agama dan hukum adat merupakan bahan
baku pembentukan hukum nasional. Namun, lebih dari sekedar itu, kedua sistem
hukum itu diakui keberadaannya dan dapat saja diberlakukan secara positif bila
masyarakat menghendakinya. Sehingga pemahaman terhadap pengertian unifikasi pun
dengan sendirinya mengalami pergeseran pula. Apalagi bila fenomena itu
dikaitkan dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
Sebagaimana diketahui, undang-undang tersebut secara
konseptual telah memberikan suasana yang dalam beberapa hal berbeda dengan era
sebelumnya. Hal itu dikarenakan dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah itu mengamanatkan untuk memberikan
kesempatan yang luas kepada daerah untuk mengembangkan berbagai potensinya dan
mengubah paradigma pemerintahan yang sangat sentralistik dan serba terpusat.
Dijelaskan dalam kedua UU tentang Otonomi Daerah tersebut, hanya bidang-bidang
yang berkaitan dengan politik luar negeri, hankam, moneter, fiskal, peradilan,
dan agama menjadi wewenang pusat, sisanya dikelola di daerah.
Kendati bidang peradilan dan agama menjadi kewenangan
pusat, tetapi realitas berbicara sebaliknya. Pemahaman tentang peradilan
hanyalah sebatas hierarki proses peradilan semata-mata bukan materi hukumnya.
Artinya, konsep otonomi daerah mengisyaratkan dan memberi wewenang kepada
daerah untuk mencari penyelesaian-penyelesaian sengketa hukum alternatif yang
diharapkan lebih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Inilah yang secara
nyata tergambarkan dalam kasus Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam.
Artinya, pemberlakuan syariah Islam di Aceh melalui pemberian status otonomi khusus,
terlepas adanya unsur-unsur politis di dalamnya, adalah gambaran nyata bahwa
era pluralisme hukum akan bergulir terus dan merupakan keniscayaan dari
diberlakukannya otonomi daerah.
Dengan demikian, bila unifikasi selama ini diasumsikan
sebagai adanya satu kesatuan hukum di seluruh wilayah Nusantara, maka setelah
berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah itu, unifikasi lebih
dipahami sebagai satu kesatuan wilayah hukum nasional, terutama dikaitkan
dengan aspek pembinaan aparatur dan hierarki kekuasaanya. Artinya, kendati
Mahkamah Syar’iyah berhak untuk mengadakan sistem peradilan tersendiri tetapi
muaranya tetap ke Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta.
Berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan
pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu
karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang mempunyai budaya Islam
yang kuat. penerapan
dan pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan salah satu bentuk kontrak sosial
yang diciptkan dari keinginan masyarakat luas yang kemudian didukung dan
dikembangkan dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan atas syariat Islam
sebagai imam yang mengendalikan pelaksanaan tersebut.
Implementasi syariat Islam
di Aceh merupakan sebuah upaya solusi konflik sosial. Konflik sosial dan pergolakan masyarakat Aceh untuk
menentang pemerintah pusat dengan tujuan untuk merdeka tersebut
diimplementasikan melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Untuk mengatasi
permasalahan tersebut pemerintahan pusat mengeluarkan UU No. 18 tahun 2001
tentang otonomi khusus sebagai solusi politik. Tindak lanjut kesepakatan damai
antara pemerintah pusat dengan Aceh adalah dengan dikeluarkannya UU No. 11
tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pemberian hak
melaksanakan syariat Islam di Aceh, secara yuridis merupakan perwujudan dari UU
No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan keistimewaan atau Otonomi Khusus
Aceh.
Berdasarkan hal-hal
tersebut, konfigurasi politik di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah
sebuah upaya pemerintah pusat untuk meredam pemberontakan dari masyarakat
Aceh/GAM yang ingin melepaskan diri dari negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apabila melihat prospek qanun jinayat ini ke depannya, penulis berpendapat
seperti diraikan terdahulu pada bab-bab sebelumnya bahwa secara filosofis,
sosiologis syariat Islam merupakan nilai-nilai dan kebiasaan yang sudah lama
tertanam dalam tradisi masyarakat Aceh yang berakar kuat, kemudian secara
yuridis telah dilindungi oleh UU NO. 44 tahun 1999, perda No. 5 tahun 2000,
kemudian UU No. 18 tahun 2001, selanjutnya UU No. 11 tahun 2006, untuk
materi-materinya diatur dalam qanun-qanun. Kembali kepada sebuah pernyataan
dari aliran Sociological Jurisprudence yang mengatakan:
“Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal akan bertahan hidup. Unsur kekal dari hukum adalah pernyataan akal yang berdasar pengalaman dan
diuji oleh pengalaman juga. Pengalaman dikembangkan oleh akal, akal diuji oleh
pengalaman. Sehingga hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, kemudian diumumkan dengan wibawa oleh badan pembentuk undang-undang dalam masyarakat
yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat.
Inti ajarannya adalah Living law in live.
Penulis
memahami bahwa Hukum positif
yang baik dan karenanya efektif, adalah hukum positif yang sesuai dengan
living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan
nilai-nilai yang hidup didalamnya, agar hukum positif yang berlaku di Indonesia
tetap efektif dalam menghadapi perubahan dan perkembangan dinamika masyarakat
haruslah menjadi hukum yang hidup di masyarakat dengan menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi di Aceh saat ini.
Jadi, menurut penulis prospek qanun jinayat ini ke
depannya akan bertahan dan berkembang karena sesuai dengan nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 serta undang-undang
lainnya, juga didukung dengan hukum yang hidup dalam masyarakat Aceh.
Lihat Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Lihat
juga Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade
Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta,
Rajawali Pers: 2009), h. 52-53.
Hatta mengusulkan pengubahan rancangan Pembukaan UUD
1945. Hal ini dilakukan karena menerima keberatan dari kalangan rakyat
Indonesia timur, tentang rumusan kalimat dalam Piagam Jakarta “dengan
Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Sehingga pada
pertemuan bersejarah tersebut kemudian disetujui dengan melalui suatu
kesepakatan yang luhur menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Al-Yasa’ Abu Bakar, Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Aceh: Dinas
Syariat Islam, 2005), h. 84.
LIPI, Studi
Kritis terhadap Pemberlakuan Syariat Islam sebagai Hukum Materiil dan Pembentukan
Mahkamah Syar’iyah sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh
Darussalam, makalah dibuat sebagai bentuk partisiapasi dalam kegiatan
pemilihan peneliti remaja VI tahun 2007, h. 1.
Lihat Penjelasan
Umum Undang-Undang Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Asas lex specialis derogaat lex generalis mempunyai arti bahwa peraturan
yang khusus mengenyampingkan yang umum. Perlu dipikirkan kembali sejauh mana
atau batasan-batasan dari suatu qanun sehingga dapat mengenyampingkan peraturan
perundang-undangan lain.
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Problem,
Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam, (Jakarta: Logos, 2003), Cet. I, h. 152.
Indonesia, Tap MPR RI, Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999 beserta
Perubahan Pertama atas UUD Negara RI Tahun 1945, (Jakarta: BP Panca Usaha.
1999) hal. 64.
Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam
Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang Kusut), (Jakarta : Yayasan
Al-Hikmah, 1999), h. 5 dan 11.
Reza Fikri Febriansyah, makalah, “Eksistensi Hukum Islam dalam Struktur Hukum Nasional
Indonesia”, http// www.legalitas.org/2011/01/20.
Secara Hierarki Produk hukum di bawah konstitusi (UUD
1945) dapat berupa: Undang-Undang (UU), PP Pengganti Undang-undang (Perppu),
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah
(perda). Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10. Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Tim Peneliti
Universitas Hasanuddin, hasil penelitian, Esensi dan urgensitas peraturan
daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia dan Universitas Hasanuddin, 2009, h. 31.
Konferensi pers
kementrian kehakiman tahun 1950 dalam makalah, “Studi Kritis Terhadap
Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah
Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah
Dibuat sebagai Bentuk Partisiapasi dalam Kegiatan Pemilihan Peneliti Remaja VI
Tahun 2007 yang Diselenggarakan oleh LIPI, h. 8.
Lihat selengkapnya pada klausul penjelasan Umum UU No. 18 tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.